Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana tegang mewarnai pemungutan suara di Kota Diyarbakir, Turki, Ahad pekan lalu. Warga mendapat penjagaan ketat polisi. Di sejumlah sudut kota, polisi tampak berjaga lengkap dengan truk lapis baja. Mengenakan masker dengan senapan tersampir di bahu, mereka memindai kerumunan pemilih yang mengantre untuk memberikan suara.
Pemerintah Turki sengaja memperketat pengamanan di Diyarbakir. Mereka beralasan daerah itu masih rawan, menyusul rentetan bentrokan antara tentara dan milisi pemberontak Kurdi (PKK) sejak Juli lalu. Gelombang pertempuran di kawasan Turki tenggara itu telah menewaskan ratusan orang.
Di Distrik Sur, misalnya, jejak adu tembak dua kubu yang bersitegang sejak 1984 itu membekas di sekolah Suleyman Nazif, yang menjadi salah satu tempat pemungutan suara. Tembok yang mengelilingi bangunan sekolah itu bopeng-bopeng dengan lubang peluru.
Namun penjagaan ketat sekitar 11 ribu polisi di kota itu tak menghentikan antusiasme orang yang berbaris menunggu tempat pemungutan suara dibuka pada pukul 04.00 waktu setempat. Hari itu warga Diyarbakir, dan seluruh penduduk Turki, mengikuti pemilihan umum parlemen kedua dalam lima bulan.
"Saya hanya menginginkan perdamaian dan persaudaraan di Turki. Kami terlalu banyak menderita akhir-akhir ini," kata seorang pemilih, Mahmut Kiziltoprak, 43 tahun, seperti dikutip Daily Mail. Kiziltoprak adalah bagian dari sekitar 16 juta warga Kurdi di Turki, yang menyumbang 20 persen dari total populasi negara itu.
Dari beberapa kota besar di Turki, Diyarbakir merupakan basis populasi Kurdi sekaligus kantong pendukung PKK. Kota ini banyak menyisakan bekas pertempuran antara tentara dan kelompok separatis itu. Gedung-gedung hangus, jendela dan pintu rumah hancur, serta parit-parit bekas tempat berlindung masih menganga.
Di kota itu pula, lima bulan lalu, partai penyokong Presiden Recep Tayyip Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), dibikin ketar-ketir setelah mengetahui hasil penghitungan suara. Saat itu AKP, partai berbasis Islam yang ingin kembali berkuasa, mendapat perlawanan dari partai oposisi pro-Kurdi, Partai Rakyat Demokratik (HDP).
Dalam pemilihan pertama, HDP secara mengejutkan meraup 13 persen suara nasional. Partai berbasis etnis sektarian ini mendominasi perolehan suara di Diyarbakir, bahkan meluas hingga ke basis pemilih liberal di beberapa daerah lain. "Keberhasilan ini mengganjal upaya AKP untuk menguasai parlemen," demikian dituliskan The Guardian.
Untuk mengendalikan mayoritas kursi, AKP harus berkoalisi dengan partai lain. Namun hal itu tak terwujud. Erdogan, dengan dalih koalisi belum terbentuk, memerintahkan pemungutan suara ulang. Keputusan Erdogan ini sempat menuai protes, terutama dari partai-partai oposisi. Mereka menuding Erdogan sengaja mengulur waktu agar AKP dapat menyedot suara mayoritas dalam pemilu susulan.
Kekhawatiran oposisi benar-benar terjadi. Dalam lima bulan, AKP membalik keadaan. Dalam pemilihan Ahad pekan lalu, AKP meraup 49 persen suara nasional, menguasai 317 dari 550 kursi parlemen. Perolehan ini menjadikan AKP partai penguasa tunggal. Sebaliknya, partai-partai oposisi, seperti HDP, kehilangan suara di banyak tempat, termasuk di Diyarbakir. HDP, yang dalam pemilu pertama meraih 80 kursi, bahkan hampir gagal masuk parlemen.
Huseyin Oturmak, 65 tahun, seorang pengamat untuk HDP, meyakini kemenangan telak AKP tak lepas dari strategi "mencuri" suara warga Kurdi dengan cara intimidasi. Ia mencontohkan pengamanan polisi yang berlebihan di Diyarbakir. "Polisi memasuki setiap rumah, memperlakukan semua orang seperti penjahat," katanya.
Dugaan Oturmak ada benarnya. Seperti diberitakan Middle East Eye, hasil penghitungan suara menunjukkan AKP meraup tambahan kursi dari beberapa tempat yang dulu dikuasai HDP. Sekitar 1,2 juta pemilih yang sebelumnya mendukung HDP beralih memberikan suara kepada partai yang berkuasa di Turki sejak 2012 itu.
Galip Dalay, peneliti senior dari Al Jazeera Centre for Studies, yang mendalami studi tentang Turki dan etnis Kurdi, mengatakan HDP telah kehilangan 21 kursi. Sebanyak 18 kursi kini dikuasai AKP, sementara tiga lainnya diambil partai sayap kiri-tengah, Partai Rakyat Republik (CHP). "Sebagian besar pemilih HDP telah memberikan suara untuk AKP," katanya.
Menurut Dalay, pemilihan pada 7 Juni lalu sebenarnya menggambarkan puncak kekecewaan etnis Kurdi terhadap AKP. Kekecewaan dipicu oleh keengganan pemerintah Turki memberikan bantuan militer kepada milisi Kurdi Suriah yang sedang bertempur melawan kelompok radikal Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) di Kota Kobane beberapa waktu sebelumnya. "Kebijakan AKP dalam kasus Kobane adalah faktor utama yang membuat pemilih Kurdi berpaling dari pemerintah," ujarnya.
Erdogan paham betul keberpihakan warga Kurdi ibarat kartu truf. Karena itu, sejak kekalahan yang memalukan, ia memasang strategi baru. Selama lima bulan, seperti ditulis The Independent, Erdogan dan AKP membenturkan pemilih Kurdi dan menjatuhkan citra HDP, dengan mengesankan partai itu berafiliasi dengan PKK—kelompok yang telah lama membangkang kepada pemerintah.
Strategi ini diperkuat dengan "konfrontasi" langsung dengan HDP. Memanfaatkan kekuasaannya, Erdogan menangkap banyak politikus dan aktivis partai tersebut. Pria 61 tahun ini, melalui otoritas pemerintah lokal, melarang peredaran selebaran HDP yang mempromosikan paltform partai. Hampir semua pergerakan media oposisi, termasuk HDP dan Kurdi, diblokir oleh pemerintah.
Konfrontasi juga dilakukan terhadap PKK, tatkala Erdogan mengakhiri dua tahun gencatan senjata dengan kelompok yang memiliki ribuan milisi tersebut. Dengan dalih menggelar operasi "kontraterorisme", Ankara melancarkan serangkaian serangan udara untuk menggempur kantong-kantong pemberontak. Milisi PKK dihadapkan pada dua musuh sekaligus: ISIS dan tentara Turki.
"Pemilih Kurdi yang konservatif dan religius meninggalkan HDP karena menganggap partai itu dinodai oleh hubungannya dengan kelompok 'teroris'," demikian dituliskan The Independent.
Erdogan dengan cermat memakai isu keamanan selama masa kampanye. Ia menemukan momentum saat terjadi dua serangan bom pada Juli dan Oktober. Dalam insiden di ibu kota, Ankara, pemerintah Erdogan menyalahkan ISIS sebagai dalang serangan yang menewaskan lebih dari 100 aktivis sayap kiri pro-Kurdi itu. HDP, yang mendukung aksi damai, membatalkan semua kampanye pemilu sebagai bentuk keprihatinan.
Strategi konfrontasi dengan Kurdi terbukti ampuh. Erdogan dan AKP mampu memainkan "kartu nasionalis", jargon yang selama ini mereka usung untuk memperluas dukungan selain dari pemilih konservatif Islam. AKP tidak hanya sukses mempereteli HDP dan CHP, yang merupakan partai oposisi terbesar. Mereka juga mencuri banyak suara dari pendukung partai sayap kanan anti-Kurdi, Partai Gerakan Nasional (MHP).
Di Diyarbakir, kekecewaan menggelayuti warga Kurdi, yang seusai pencoblosan hari itu berkerumun menyaksikan penghitungan suara. "Ini bukan hasil pemilu yang kami harapkan," kata Mehmet Alacag, 38 tahun, seorang guru. "Tapi, mengingat semua tekanan yang dihadapi HDP dan hal-hal buruk yang terjadi, ini terbilang sukses bagi kami."
Erdogan mengaku puas atas penyelenggaraan pemilu ulang ini. Ia mengatakan hasil pemilu menggambarkan keinginan sebenarnya rakyat Turki. Dalam pernyataan di Istanbul, Erdogan menyerang balik pihak yang selalu mengkritiknya sebagai pemimpin otoriter. "Kini ada partai yang berkuasa tunggal di Turki. Seluruh dunia harus menghormatinya."
Mahardika Satria Hadi (Daily Mail, The Guardian, Reuters, Middle East Eye, The Independent)
Kemenangan Besar Erdogan
Partai pengusung Presiden Recep Tayyip Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), menang telak dalam pemilihan umum parlemen Turki, Ahad pekan lalu. AKP mencengkeram kembali suara yang sempat terlepas dalam pemilu Juni lalu. Kemenangan AKP membuat Erdogan memperoleh dukungan yang solid di parlemen.
Parlemen Turki: 550 kursi
275 kursi diperlukan untuk menjadi partai mayoritas
1. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) ==> konservatif, Islam
Juni 2015: 40,87 persen | 258 kursi
November 2015: 49,48 persen | 317 kursi
2. Partai Rakyat Republik (CHP) ==> sayap kiri-tengah, sekuler
Juni 2015: 24,95 persen | 132 kursi
November 2015: 25,32 persen, 134 kursi
3. Partai Gerakan Nasional (MHP) ==> ekstrem sayap kanan
Juni 2015: 16,29 persen | 80 kursi
November 2015: 11,90 persen | 40 kursi
4. Partai Rakyat Demokratik (HDP) ==> sayap kiri, pro-Kurdi
Juni 2015: 13,12 persen | 80 kursi
November 2015: 10,75 persen | 59 kursi
Saling 'Mencuri' Kursi
AKP mendapat tambahan 37 kursi dari MHP, 18 kursi dari HDP, dan 4 kursi dari CHP.
MHP kehilangan 40 kursi. Sebanyak 37 kursi beralih ke AKP, dan 3 kursi ke CHP.
HDP kehilangan 21 kursi. Sebanyak 18 kursi beralih ke AKP, dan 3 kursi ke CHP.
Sumber: GRAPHICNEWS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo