Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai pekan lalu, iklan-iklan seperti itu bisa dilihat di kolom iklan baris beberapa surat kabar. Diam-diam obat antiimpotensi yang menggemparkan dunia itu memang telah dijual di Jakarta. Ini tentu ilegal. Pemerintah hingga sekarang belum memberikan izin bagi peredaran obat bernama generik sildenafil citrate yang mestinya hanya bisa diperoleh dengan resep dokter itu.
Enam bulan lalu perusahaan yang berhasil menciptakan obat antiimpotensi pertama di dunia itu, Pfizer, secara resmi sebenarnya telah mengajukan permohonan pendaftaran Viagra. Namun hingga sekarang Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM), Departemen Kesehatan, belum memutuskan apakah Viagra boleh beredar di Indonesia. "Sekarang ini kami tengah mengevaluasi. Evaluasi dilakukan oleh tim dari Pusat Farmakologi UGM (Universitas Gadjah Mada) dan UI (Universitas Indonesia). Nanti kami akan mengadakan sidang-sidangnya, tapi kami belum tahu kapan kami akan mengambil keputusan", kata Dirjen POM, Sampurno.
Sementara Sampurno memberi perkiraan baru sekitar akhir tahun keputusan final akan diambil, pil Viagra sudah dijual "bebas". Awal September lalu, Sampurno memang sudah mengingatkan media massa untuk tak memuat iklan-iklan yang menawarkan Viagra, tapi ternyata iklannya tetap nongol dan transaksi tetap jalan terus.
"Anda bisa hubungi saya di nomor yang saya cantumkan di iklan. Sistemnya delivery and cash. Kalau sudah oke, bisa diantar ke alamat Anda dalam waktu satu jam dan saat itu langsung Anda bayar", kata seorang warga Amerika penjual Viagra yang mengaku bernama Christ kepada TEMPO.
Christ menuturkan, obat yang dijualnya itu asli dan sengaja ia bawa dari Amerika. Menurut pengakuannya, semula ia tidak bermaksud menenteng Viagra untuk dijual. Karena ada beberapa temannya sesama orang asing yang membutuhkan obat itu, akhirnya obat itu ia jual juga, dan keterusan. Kini ia menjual juga untuk orang Indonesia.
Dalam satu minggu ia bisa menjual lima sampai sepuluh botol yang setiap botolnya berisi tiga puluh butir pil. Setiap pil berharga US$20. Tapi, Christ tidak menjual ketengan. Ia hanya melayani pembelian dengan order minimal satu botol, seharga US$500. "Kalau dalam rupiah, saya jual enam juta", kata Christ dengan bahasa Indonesia yang masih terpatah-patah. Mahal? Nyatanya, Christ yang mengaku baru dua-tiga minggu terakhir ini berdagang Viagra, sudah kehabisan stok. "Saya tidak punya barangnya lagi", katanya.
Tampaknya Viagra memang cukup laris. "Telepon seluler saya tidak pernah berhenti berdering. Saya sampai harus mematikan telepon setelah pukul sepuluh malam supaya saya punya waktu untuk tidur", kata seorang penjual Viagra kepada The Jakarta Post. Tak seperti Christ, penjual Viagra ini bersedia melayani pembeli yang hanya mau membeli satu butir saja yang ia jual seharga Rp250 ribu. Mungkin itu sebabnya setiap hari ia dapat menjaring 40 - 50 pembeli yang bukan hanya dari Jakarta, tapi juga dari Irian Jaya, Maluku, Malaysia dan Singapura.
Bukan Obat Perangsang
Sejak disetujui oleh Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika (FDA) 27 Maret silam, pil warna biru ini memang segera diserbu orang. Di Amerika, dalam dua minggu pertama saja, menurut Time edisi 11 Mei 1998, resep Viagra yang diterima apotik mencapai 36.809. Angka ini mengalahkan resep untuk obat-obat laris yang sudah ada di pasar sebelumnya seperti Propecia (untuk mengatasi kebotakan) yang hanya 5.500 resep, Lipitor (antikegemukan) 2.203, dan Evista (obat osteoporosis) 1.624 resep.
Para analis bursa saham Wall Street memperkirakan dalam tempo setahun, obat ini akan mencapai angka penjualan US$5 miliar. Sebagian analis malah lebih optimis dengan mematok angka fantastis: US$11 miliar. Faktanya, sampai Juli silam, Viagra sudah mencatat rekor pembelian sebesar US$260 juta di Amerika. Jumlah resep yang ditulis untuk Viagra mencapai 2,9 juta.
Di negara-negara yang sudah mengizinkan peredarannya, Viagra hanya bisa diperoleh dengan resep dokter. Obat ini tidak bisa diminum sembarangan. "Kalau obat itu diminum bersamaan dengan nitrat atau nitrit yang banyak terdapat pada obat untuk jantung, efeknya akan lebih tinggi, yaitu akan terjadi pelebaran pemburuh darah di jantung dan penis", kata Prof. Iwan Dharmansyah, Kepala Pusat Uji Klinik Obat Fakultas Kedokteran UI/RS Ciptomangunkusumo, yang juga menjadi koordinator penelitian Viagra atas biaya Pfizer.
Menurut doktor ahli urologi yang juga terlibat dalam penelitian itu, Akmal Taher, jika kelak Viagra diizinkan beredar di Indonesia, mutlak harus dengan resep dokter. "Obat ini bukan obat bebas. Obat sakitlah", kata Akmal tentang obat yang telah ia buktikan mencapai tingkat keberhasilan hingga tujuh puluh persen itu.
Obat yang ditemukan secara kebetulani ini -- semula dimaksudkan untuk menyembuhkan hipertensi -- sebenarnya memang bukan untuk memperkuat kemampuan seksual, tapi obat antiimpotensi. Viagra juga bukan obat perangsang. Walau sudah meminumnya, orang tak bisa seketika perkasa. Harus tetap ada ketertarikan, hasrat atau rangsangan fisik untuk membuat pria berereksi.
Jadi, kalau Anda memang tidak sakit, kenapa harus minta pertolongan Viagra?
Wicaksono, laporan Agus S Riyanto, Dwi Wiyana, Hardy R Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo