Seorang nenek terusir dari rumah mendiang anaknya setelah bersengketa dengan mantunya. Adat Batak kembali mendamaikan mereka. ZAMAN boleh berubah, tapi adat "tak lapuk karena hujan". Pepatah inilah yang mendorong delegasi Parsadaan Sonak Malela (PSM) Jakarta terbang ke Medan. Tujuan mereka, dan ini yang menarik: mencampuri putusan peradilan yang eksekusinya telah dilakukan. Adalah eksekusi rumah yang dihuni Juliana boru Hutahaean di Jalan Pintu Air, S.M. Raja, Medan, pada 7 Maret lalu, muasal intervensi adat itu. Pada eksekusi nenek 12 cucu ini memprotes seraya berguling-guling di depan rumah tersebut. Ia menuduh menantunya -- lawannya -- Sinur Mala boru Hutahaean, "tak tahu membalas budi". Eksekusi ini segera membangkitkan keprihatinan lembaga yang menghimpun empat marga serumpun, yakni marga Simangunsong, Napitupulu, Marpaung, dan Pardede. Sebab, baik sang mertua maupun menantu memang sama-sama bersuamikan marga Napitupulu. Raja Bius Binsar Simangunsong, dari PSM, menilai pengusiran itu memukul wibawa Sonak Malela. Begitu tiba di Medan, 25 April lalu pengurus PSM langsung menemui Juliana. Mereka menghibur duka-lara nenek ubanan ini dengan janji akan melaksanakan pangupa-upaon, yakni sebuah upacara adat agar batin Juliana pulih. Ketika Sopar Napitupulu, suami Sinur atau putra Juliana, meningggal lima tahun lalu, percekcokan tumbuh antara si menantu dan mertuanya. Sinur menggugat mertuanya atas harta peninggalan mendiang suaminya yang ditaksir senilai Rp 300 juta. Nasib buruk bagi mertua, ia kalah. Padahal, menurut Kolonel (Purn.) Drs. Matias Napitupulu, rekan Raja Bius, eksekusi terhadap rumah yang didiami Juliana, khususnya, tak perlu dilakukan. Karena secara hukum toh rumah itu sudah milik putra Sinur Nove Bahara Napitupulu. Artinya, kedati mantu menang, si mertua tak perlu diusir. Sebaliknya Sinur mengaku sebenarnya tak tega dan tak berniat mengusir mertuanya. Tapi karena mendengar rumah itu hendak dialihkan kepada orang lain, "dengan berat hati saya minta pelaksana eksekutor mengusirnya." Belakangan, ketika sang mertua memasuki rumah itu dengan "cara paksa", Sinur cuma melaporkan ke polisi. Hanya saja, Sinur tak mau ditemui tim Sonak Malela dari Jakarta itu. "Soalnya, mereka terlalu memihak pada mertuaku," kata Sinur kepada TEMPO. Apalagi upacara adat yang direncanakan hanya untuk Juliana. Toh upacara "perdamaian" itu berlangsung juga. Rumah sengketa yang kini kembali dihuni Juliana di Jalan Pintu Air Medan, Senin pekan lalu, dipenuhi sekitar 300 undangan. Selain keluarga besar PSM, tampak hadir lurah, camat, dan utusan Pemda Medan. Bahkan juga dari LBH dan Pengadilan Negeri Medan. Krans bunga juga bertebaran dan diselipi kalimat Pir ma tondim Inang Ompu Bahara: kuatkan hatimu, Nenek Bahara. Keluarga Hutahaean, yakni hula-hula Sonak Malela dari marga asal Juliana dan Sinur, pun datang membawa ulos (kain Batak) dan dengke (ikan untuk upa-upa). Karena baik Juliana dan Sinur dikawini marga Sonak Malela, marga Hutahaean sangat mereka hormati. Ritual itu pun lengkap sesuai dengan perangkat Dalihan Natolu. Seperti disebut Matias, dengan ritual itu Juliana bisa kembali akrab dengan Sinur. Meskipun Sinur tak hadir -- hanya diwakili marga Hutahaean -- Juliana tak urung menangis haru. "Aku sudah melupakan semua peristiwa itu," katanya kepada TEMPO. Hadirin pun menyantap lembu sitio-tio, artinya semua kekisruhan jernih sudah. Bersihar Lubis dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini