Habibie, di depan sejumlah universitas IBT, mengecam sistem pendidikan nasional. Banyak sarjana menganggur. Fuad-Habibie akhirnya berdamai di depan wartawan. HABIBIE, selama dua minggu sempat menjadi "menteri pendidikan" di Indonesia Bagian Timur (IBT). Ia mengunjungi tujuh perguruan tinggi dan memberikan ceramah berapi-api mengenai masalah pendidikan dan teknologi. Di Universitas Mataram, misalnya, Menteri B.J. Habibie berbicara di depan ratusan mahasiswa mengenai pembangunan sumber daya manusia dan teknologi. Kelemahannya, sumber daya manusia di IBT belum bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. "Supaya, di tahun 2000, setidaknya 1% rakyat Indonesia menguasai teknologi canggih," ujar Ketua BPPT ini dengan gaya khasnya, mata melotot dan telunjuk berseliweran di depan wajahnya. Di tempat lain, dalam kunjungan sejak 26 April itu, materi utama ceramahnya tampak hampir sama. Namun, ketika di Manado, ia sempat terkesiap mendengar laporan Gubernur Sulawesi Utara, C.J. Rantung, bahwa jumlah sarjana yang menganggur sampai 4.100 orang. "Saya jadi sedih. Sarjana kok menganggur," kata Habibie. Di hadapan civitas academica Universitas Samratulangi itu Habibie pun lalu mulai mengkritik sistem pendidikan. "Kalau sudah dididik, tapi tak laku di pasar, itu berarti pendidikannya yang ngawur," kata Habibie. Dari sebab itu, katanya, Pemerintah harus berani mengkaji sistem pendidikan. Di Jerman dan Jepang, katanya, mayoritas penduduknya juga bukan tamatan S-1 atau-S-2, tetapi rata-rata mereka adalah karyawan terampil. Mereka punya kualitas kerja dengan harga tinggi. Ia setuju agar dihentikan saja penambahan perguruan tinggi. "Dan, perbanyak sekolah kejuruan," katanya pada TEMPO yang mengikuti perjalanannya di IBT. Kritik Habibie mungkin benar. Pemerintah sejak 1976 justru membubarkan semua sekolah kejuruan -- terutama SMTP -- dan berakhir 1995 nanti. Sekitar 800 sekolah kejuruan sudah ditutup dan kini tinggal 258 buah (TEMPO, 30 Maret 1991, Pendidikan). Sekolah kejuruan tingkat atas hanya 627 buah, setelah SPG, SGO, dan beberapa sekolah kejuruan lainnya juga dibubarkan. Untuk menambah keterampilan dan agar siswa siap masuk lapangan kerja, mereka akan digiring ke tempat kursus (TEMPO, 27 April 1991, Pendidikan). Menteri P dan K Fuad Hassan menganggap pernyataan Habibie selama keliling kampus di IBT itu juga ngawur. Ia kemudian memanggil sejumlah wartawan, Sabtu pekan lalu, untuk menanggapi rekannya. Ia berkutat pada UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). "Sebab, sudah ada kesepakatan bersama bahwa segala pembicaraan tentang sistem pendidikan harus mengacu pada buku ini," katanya mengacungkan buku kecil warna biru tentang UUSPN. Salah satu tujuan pendidikan, kata Fuad, untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja. Tapi tak boleh dipandang remeh bagi mereka yang mampu menciptakan lapangan kerja. "Orang-orang yang jualan tanaman di Senayan itu, misalnya, merupakan self employment," katanya. Jadi, "jangan pukul rata, bahwa antara pendidikan dan pengangguran seolah-olah ada hubungan." Ia bahkan menilai, adalah naif orang yang mengatakan bahwa penyebab pengangguran itu pendidikan. "Pengangguran bukan gejala yang berdiri sendiri. Ini erat kaitannya dengan prospek ekonomi." Soal menjamurnya perguruan tinggi dan "jurusan yang tak laku" di pasaran, dijelaskan Fuad, sudah diatasi sejak 1987. Sekitar 200 jurusan yang sudah jenuh dibubarkan. Repotnya, katanya, beberapa PTS justru membuka jurusan-jurusan yang sudah dibuang itu. Juga, setiap provinsi berlomba-lomba membuat universitas negeri. Kiranya pantas bila sekarang produksi sarjana tak berimbang dengan lapangan kerja yang tersedia. Satu jam setelah Fuad menjawab pernyataan Menteri Riset dan Teknologi kepada wartawan, telepon dari Habibie pun berdering. Seusai keduanya berbicara di telepon, Fuad memberi tahu wartawan bahwa Habibie akan bergabung untuk memberikan penjelasan kepada pers. Dua puluh menit kemudian, Habibie sudah muncul di Departemen P dan K. Dengan riang ia menggamit lengan Fuad dan langsung duduk berdampingan. Habibie segera memegang kemudi pembicaraan. Di Mataram, katanya, ia mengaku mendapat laporan sebagian sarjana hukum dan sosial menganggur. Belum lagi yang tamatan SMA. Situasi ini hampir merata di IBT. Ia lalu menambah, banyak sarjananya yang bekerja di lingkungan BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis) dibajak perusahaan lain. Juga mereka yang hanya lulusan STM. "Lapangan kerja sebenarnya ada. Namun, pendidikan yang kita siapkan tak sesuai dengan pasar," katanya sambil melirik Fuad yang langsung memotong. "Nah, jadi kesannya pengelolaan pendidikan oleh Departemen P dan K itu ngawur." Dan Habibie dengan sigap menyambut, "Maksud saya hasilnya tak bisa saya manfaatkan. Tidak well planned, well coordinated dengan kebutuhan pasar." Itu pun dijawab Fuad dengan -- sekali lagi menunjuk UUSPN -- bahwa pendidikan punya orientasi praktis, misalnya politeknik, akademi, atau sekolah kedinasan. "Malah Pak Habibie ngijon (pesan sebelum lulus) anak-anak teknik penerbangan," kata Fuad. Habibie mengaku benar dan keduanya tertawa lebar. Fuad pun sempat mengungkapkan data yang disodorkan anak buahnya dalam rakernas departemennya 1989, bahwa jumlah sarjana yang menganggur sekitar 40 ribu orang. Repotnya, orang tak bisa digiring harus belajar sesuatu karena masing-masing punya hak dan kebebasan memilih pendidikan. Acara debat dua menteri selama hampir dua jam itu berakhir dengan "tahu sama tahu". Fuad kemudian memperlihatkan tiga foto berpigura ukuran 40 X 40 cm bergambar Fuad Hassan bersama Habibie. Gatot Triyanto, Sri Pudyastuti, dan Sri Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini