Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Etis atau yuridis

Gramedia mengumumkan di sinar harapan beberapa judul buku yang hak ciptanya berada pada penerbit tersebutb. itu hanyalah etis semata karena kita tidak terikat suatu konvensi. (hk)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan silam seorang wartawan, yang rupanya gemar menterjemah, menulis surat terbuka dalam sebuah suratkabar Ibu kota. Ia bertanya: apakah Indonesia masih ikut dalam Konvensi Bern, sehingga untuk menterjemahkan sebuah karya asing kita harus minta izin lebih dahulu kepada pengarangnya? Soalnya ada pengumuman, juga dalam harian yang sama, bahwa PT Gramedia telah "mendapatkan hak cipta/pengindonesiaan buku-buku" yang jumlahnya 37 buah. Dalam pengumuman yang disiarkan berkali-kali itu, Gramedia mendasarkan hak tersebut pada "perjanjian hukum dengan pemilik copyright karya asli yang bersangkutan". Dengan demikian, kata pengumuman Gramedia,"barang siapa mencetak, menerbitkan, menjual, mengedarkan terjemahan Indonesia atau gubahan buku-buku tersebut tanpa izin dari Penerbit PT Gramedia, berarti ia melanggar pasal 380/le KUHP jo. UU Hak Cipta 1912". Pasal KUHP yang disebut itu memang mengatur tentang perbuatan penipuan yang berkenaan dengan masalah hak cipta. Sedang UU Hak Cipta 1912 pun, secara formil, masih berlaku. Dikatakan formil karena ada kontroversi mengenai ada-tidaknya suatu undang-undang hak cipta nasional. Bagi kalangan penerbit ataupun penterjemah, seperti dikatakan Ali Audah Ketua Himpunan Penterjemah Indonesia (HPI) kepada TEMPO, permakluman melalui iklan koran seperti yang dilakukan Gramedia ini agak janggal. Walaupun Ali Audah sendiri sebagai pengelola sebuah penerbitan memang selalu meminta izin pengarang asli buku yang diterjemahkan dan diterbitkan. Sebagai suatu organisasi, IPI memang tidak menganut satu keyakinan: apakah setiap penterjemah atau penerbit harus minta izin untuk penterjemahan karya asing. Toh organisasinya akan menguruskan bilamana ada anggota yang memerlukan bantuan berkenaan soal perizinan itu. Begitupun Ajip Rosidi. Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) ini, yang juga memimpin Penerbit Dunia Pustaka Jaya, juga selalu berusaha mendapat izin sebelum dia menerbitkan sesuatu karya. Tapi izin-izin ini, menurut Ali dan Ajip, bukan karena kita terikat pada sesuatu konvensi. Tapi dorongan etis semata-mata. Kejanggalan pengumuman Gramedia seperti dikatakan Ali Audah adalah karena Indonesia memang telah keluar dari Konvensi Bern -- yang mengatur perlindungan hak cipta secara internasional. Salah satu alasan keluar Konvensi adalah: Indonesia sebagai negara muda masih membutuhkan karya-karya luar negeri. Sehingga harus dibuka pintu penterjemahan selebar-lebarnya. Kalau ikut Konvensi, maka kewajiban untuk minta izin lebih dulu kepada pemegang karya asli itu bisa menjerat. Imbalan (royalty) yang dituntut pihak sana biasanya dirasakan mencekik, setidaknya bagi yang kecil-kecil. Maklum, tak jarang orang sana itu mengira bahwa usaha menerbitkan buku di sini merupakan bisnis besar-besaran -- seperti mereka. Walaupun Adisubrata dari Gramedia mengatakan kepada TEMPO, bahwa pembayaran itu meliputi 3 sampai 6 persen dari nilai buku yang terjual. Kemudian bila dibanding kepentingan perlindungan hak cipta Indonesia di luarnegeri, dan kepentingan hak cipta asing di Indonesia, maka yang teraknir ini yang jauh lebih besar (sebab kitalah yang menterjemahkan buku-buku mereka, dan bukan sebaliknya, bukan?). Dan, tak kalah penting, tak pantaslah kita menjadi anggota sesuatu konvensi hak cipta sebelum kita memiliki suatu undang-undang hak cipta nasional. Tetapi alasan terakhir itu kembali menunjukkan kontroversi sekitar Undang-Undang Hak Cipta 1912 -- yang telah menimbulkan pembahasan luas sekitar masalah ini. Di antaranya penyelenggaraan sebuah seminar oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional di Bali, 195, serta pembuatan Rancangan UU Hak Cipta oleh lKAPI dan BPHN. Coba-Coba Yang pro Konvensi memang tak kurang. Sebagai anggota keluarga bangsa-bangsa beradab, kata mereka, Indonesia sudah selayaknya menyokong usaha-usaha internasional, termasuk upaya perlindungan hak cipta. Apa lagi sekarang ini banyak orang lagi mempercakapkan masalah hak azasi - yang sifatnya universil. Artinya, tidak minta izin dari yang berhak sebenarnya melanggar hak azasi orang. Coba kalau kita sendiri diperlakukan begitu di luar negeri! (meskipun kenyataannya tidak, atau sedikit sekali). Dengan begitu, sudah sepantas nya bila hak cipta orang Indonesia mendapat perlindungan pula di negara-negara lain. Walhasil hak cipta sebenarnya persoalan yang sudah lama. Banyak usah sudah dicanangkan bagi pencapaian hasil yang final. Tindakan Gramedia mengumumkan dirinya sebagai pemegang hak pengindonesiaan beberapa buku asin paling tidak telah tambah mengingatkan orang lagi - bahwa masalah hak cipta, masih belum selesai. Dengan pengumuan tersebut, penerbit itu berarti berkeyakinan bahwa mendapat izin dari pemegang hak cipta asli secara yuridis adalah keharusan. Padahal pada peni laian Ajip Rosidi, permintaan izin tersebut semata-mata bersifat etis - nampaknya kita menikmati hak orang. Karena itu, Ajip tak menilai bahwa, perjanjian hukum antara pemegang hak cipta asli dan Gramedia itu merupakan petunjuk, bahwa hak penterjemahan telah betul-betul dipegang sepenuhnya oleh penerbit Indonesia itu. Tampaknya memang demikian. Dan wartawan penterjemah yang menulis surat terbuka di koran tersebut barangkali tak usah ragu -- kalau mau coba-coba. Toh pada lapisan terakhir masih ada pengadilan yang menentukan mana yang benar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus