DUA pekan silam seorang wartawan, yang rupanya gemar
menterjemah, menulis surat terbuka dalam sebuah suratkabar Ibu
kota. Ia bertanya: apakah Indonesia masih ikut dalam Konvensi
Bern, sehingga untuk menterjemahkan sebuah karya asing kita
harus minta izin lebih dahulu kepada pengarangnya? Soalnya ada
pengumuman, juga dalam harian yang sama, bahwa PT Gramedia telah
"mendapatkan hak cipta/pengindonesiaan buku-buku" yang jumlahnya
37 buah.
Dalam pengumuman yang disiarkan berkali-kali itu, Gramedia
mendasarkan hak tersebut pada "perjanjian hukum dengan pemilik
copyright karya asli yang bersangkutan". Dengan demikian, kata
pengumuman Gramedia,"barang siapa mencetak, menerbitkan,
menjual, mengedarkan terjemahan Indonesia atau gubahan buku-buku
tersebut tanpa izin dari Penerbit PT Gramedia, berarti ia
melanggar pasal 380/le KUHP jo. UU Hak Cipta 1912".
Pasal KUHP yang disebut itu memang mengatur tentang perbuatan
penipuan yang berkenaan dengan masalah hak cipta. Sedang UU Hak
Cipta 1912 pun, secara formil, masih berlaku. Dikatakan formil
karena ada kontroversi mengenai ada-tidaknya suatu undang-undang
hak cipta nasional.
Bagi kalangan penerbit ataupun penterjemah, seperti dikatakan
Ali Audah Ketua Himpunan Penterjemah Indonesia (HPI) kepada
TEMPO, permakluman melalui iklan koran seperti yang dilakukan
Gramedia ini agak janggal. Walaupun Ali Audah sendiri sebagai
pengelola sebuah penerbitan memang selalu meminta izin pengarang
asli buku yang diterjemahkan dan diterbitkan. Sebagai suatu
organisasi, IPI memang tidak menganut satu keyakinan: apakah
setiap penterjemah atau penerbit harus minta izin untuk
penterjemahan karya asing. Toh organisasinya akan menguruskan
bilamana ada anggota yang memerlukan bantuan berkenaan soal
perizinan itu.
Begitupun Ajip Rosidi. Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
ini, yang juga memimpin Penerbit Dunia Pustaka Jaya, juga selalu
berusaha mendapat izin sebelum dia menerbitkan sesuatu karya.
Tapi izin-izin ini, menurut Ali dan Ajip, bukan karena kita
terikat pada sesuatu konvensi. Tapi dorongan etis semata-mata.
Kejanggalan pengumuman Gramedia seperti dikatakan Ali Audah
adalah karena Indonesia memang telah keluar dari Konvensi Bern
-- yang mengatur perlindungan hak cipta secara internasional.
Salah satu alasan keluar Konvensi adalah: Indonesia sebagai
negara muda masih membutuhkan karya-karya luar negeri. Sehingga
harus dibuka pintu penterjemahan selebar-lebarnya. Kalau ikut
Konvensi, maka kewajiban untuk minta izin lebih dulu kepada
pemegang karya asli itu bisa menjerat. Imbalan (royalty) yang
dituntut pihak sana biasanya dirasakan mencekik, setidaknya bagi
yang kecil-kecil. Maklum, tak jarang orang sana itu mengira
bahwa usaha menerbitkan buku di sini merupakan bisnis
besar-besaran -- seperti mereka. Walaupun Adisubrata dari
Gramedia mengatakan kepada TEMPO, bahwa pembayaran itu meliputi
3 sampai 6 persen dari nilai buku yang terjual.
Kemudian bila dibanding kepentingan perlindungan hak cipta
Indonesia di luarnegeri, dan kepentingan hak cipta asing di
Indonesia, maka yang teraknir ini yang jauh lebih besar (sebab
kitalah yang menterjemahkan buku-buku mereka, dan bukan
sebaliknya, bukan?). Dan, tak kalah penting, tak pantaslah kita
menjadi anggota sesuatu konvensi hak cipta sebelum kita memiliki
suatu undang-undang hak cipta nasional.
Tetapi alasan terakhir itu kembali menunjukkan kontroversi
sekitar Undang-Undang Hak Cipta 1912 -- yang telah menimbulkan
pembahasan luas sekitar masalah ini. Di antaranya
penyelenggaraan sebuah seminar oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional di Bali, 195, serta pembuatan Rancangan UU Hak Cipta
oleh lKAPI dan BPHN.
Coba-Coba
Yang pro Konvensi memang tak kurang. Sebagai anggota keluarga
bangsa-bangsa beradab, kata mereka, Indonesia sudah selayaknya
menyokong usaha-usaha internasional, termasuk upaya perlindungan
hak cipta. Apa lagi sekarang ini banyak orang lagi
mempercakapkan masalah hak azasi - yang sifatnya universil.
Artinya, tidak minta izin dari yang berhak sebenarnya melanggar
hak azasi orang. Coba kalau kita sendiri diperlakukan begitu di
luar negeri! (meskipun kenyataannya tidak, atau sedikit sekali).
Dengan begitu, sudah sepantas nya bila hak cipta orang Indonesia
mendapat perlindungan pula di negara-negara lain.
Walhasil hak cipta sebenarnya persoalan yang sudah lama. Banyak
usah sudah dicanangkan bagi pencapaian hasil yang final.
Tindakan Gramedia mengumumkan dirinya sebagai pemegang hak
pengindonesiaan beberapa buku asin paling tidak telah tambah
mengingatkan orang lagi - bahwa masalah hak cipta, masih belum
selesai. Dengan pengumuan tersebut, penerbit itu berarti
berkeyakinan bahwa mendapat izin dari pemegang hak cipta asli
secara yuridis adalah keharusan. Padahal pada peni laian Ajip
Rosidi, permintaan izin tersebut semata-mata bersifat etis -
nampaknya kita menikmati hak orang.
Karena itu, Ajip tak menilai bahwa, perjanjian hukum antara
pemegang hak cipta asli dan Gramedia itu merupakan petunjuk,
bahwa hak penterjemahan telah betul-betul dipegang sepenuhnya
oleh penerbit Indonesia itu.
Tampaknya memang demikian. Dan wartawan penterjemah yang menulis
surat terbuka di koran tersebut barangkali tak usah ragu --
kalau mau coba-coba. Toh pada lapisan terakhir masih ada
pengadilan yang menentukan mana yang benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini