Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Fitnah ganja dari bivak

Kepala desa Bivak, Lhokseumawe, Abdullah Salem, difitnah menanam ganja, untuk menjatuhkan citranya. ia terlanjur ditahan. tiga pefitnah, Yusuf, Ilyas, dan Rahman divonis penjara.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIVAK bukan perkampungan serdadu Belanda, tapi desa terpencil yang baru tumbuh - 25 kilometer di selatan Kota Lhokseumawe. Tahun 1974 masih berupa hutan negara. Tahun berikutnya belukar itu menjadi perkampungan. Itu semua berkat rintisan Abdullah Salem, jebolan SMAN Lhokseumawe. Karena jasanya itu, ia kemudian dipilih sebagai kepala desa dengan jumlah warga 400. Tapi malam itu sebuah pikap tiba-tiba berhenti di depan rumah Abdullah Salem. Ada empat lelaki kekar turun dari mobil itu. Seorang di antaranya memperkenalkan namanya Letnan Satu M. Saman Kepala Polisi Sektor Banda Sakti, Lhokseumawe. Tujuan kedatangan, katanya, hendak menangkap penduduk yang menurut info menanam ganja. Abdullah, sebagai gecik alias kepala desa, diminta menemani penangkapan itu. Ia pun bersemangat. Maklum, lelaki bertubuh gempal itu paling getol mengajak pemuda-pemuda di situ memberantas ganja. Sebab, ia tahu bahayanya. Setelah berkeliling beberapa saat, penanam ganja yang dicari belum ketemu. Abdullah mulai tak enak hati. "Siapa orang yang mau ditangkap itu, Pak?" tanya Abdullah Salem. Kapolsek M. Saman lalu berterus terang bahwa ia mau melacak tanaman ganja di kebun Kepala Desa Bivak. Jawaban itu mengagetkan. "Di kebun saya tak ada tanaman ganja," bantah Abdullah. Walau sudah bilang begitu, ia tetap akan digiring ke kebunnya. Ternyata, di situ sudah ada polisi yang berjaga-jaga. Di bawah pohon duriannya benar-benar tumbuh sebatang pohon ganja setinggi 30 cm serta 4 batang bibit ganja setinggi 5 cm, yang ditanam dalam bungkusan plastik. Abdullah tak bisa berkutik. Borgol langsung singgah ke tangannya. "Jangan borgol tangan saya. Saya tak pernah menanam ganja ini. Saya malu, Pak. Saya tak akan lari," pinta Abdullah memelas. Tapi polisi tak mau tahu. Ganja, barang terkutuk itu, harus lenyap - juga terhadap penanamnya, tak ada ampun. Abdullah Salem, 42 tahun, bapak enam anak ini, hanya sempat menukar sarung yang dikenakan. Ia lalu diboyong dengan tangan terborgol, disaksikan lstrinya yang berurai air mata. Di tahanan Polsek Banda Sakti, warganya berduyun-duyun menjenguk. Mereka tak percaya, geuchik yang jadi panutan selama ini menanam ganja. Apa benar begitu? Nurdin Yusuf, Camat Kutamakmur, kagetnya luar biasa mendengar Abdullah ditahan karena menanam ganja. Kemudian pada 3 September tahun lalu Abdullah beralih ke tahanan Polres. Nurdin segera menghadap Kapolres Aceh Utara. "Ini pasti fitnah yang dilakukan orang-orang yang tak senang kepada Abdullah Salem," kata Nurdin Yusuf. Setelah secara teknis penanaman ganja itu tak terbukti benar, barulah pada 12 September Abdullah dipulangkan ke desanya. Kalau begitu, lalu siapa pula penanamnya? Abdullah juga heran, siapa yang telah memfitnahnya. Setiap hari ia merenung. Kesal, malu, dan keinginan untuk membekuk pemfitnahnya berkecamuk jadi satu. Karena itu, satu per satu warganya diamati. Ada tiga warga yang aneh tingkahnya. Rahman bin Kasem dan Ilyas bin Usman, yang selama ini amat ramah terhadap dirinya, setelah kejadian itu mereka sering menghindar. Bahkan suka membuang muka. Sedangkan Yusuf bin Itam belakangan sering menyandang golok. Entah karena bayangan ketakutan yang menghantui terus-menerus, Rahman bin Kasem, 25 tahun, menyerahkan diri ke hadapan Abdullah pada 18 Desember 1986. Dia langsung bertutur: kejadian 3 September 1986 lalu dia yang melakukan. Dan itu atas suruhan Yusuf bin Itam, setelah bersedia meminjami Rp 250 ribu kepadanya. Syaratnya ringan: tanam pohon ganja di kebun Abdullah. Untuk memperlicin siasat ini, demikian penuturan Rahman, setelah penanaman selesai, Ilyas bin Usman, 27 tahun, diminta melaporkan ke polisi. Berdasar laporan itulah polisi menggerebek Abdullah di rumahnya. Kelicikan Yusuf ini memang agak mengagetkan Abdullah. Sebab, Yusuf adalah kawan baiknya, dan pernah diangkat sebagai penasihat kepala desa. Anak Yusuf, Hamid namanya, diangkat pula sebagai penjaga sekolah di SD Inpres Bivak - antara lain juga atas usaha Abdullah. Sayang, jerih payah Abdullah malah ditohok dari belakang. Hamid menghasut warga Bivak agar tak mempercayai kepemimpinan Abdullah. Ulah ini kemudian dilaporkan ke atasannya. Hamid dipindahkan. Karena kejadian itu, untuk memulihkan kepercayaan warga terhadap kepala desanya, dilakukanlah pemilihan ulang. Dari 84 pemilih, 52 mendukung Abdullah, sisanya tak setuju. Sejak kejadian pemilihan kepala desa pada 5 Agustus 1986 itu, Hamid, juga Yusuf, kehabisan akal. Buntutnya, ya, memfitnah Abdullah lewat tanaman pohon ganja. Tetapi kepada TEMPO Yusuf membantah seperti yang dituduhkan itu. "Saya tak bermaksud menjatuhkan Kepala Desa, dan tidak pernah menyuruh orang lain menanam ganja," kata Yusuf, 60 tahun. Ocehan ini langsung dipotong Ilyas dan Rahman. "Memang benar, kami disuruhnya menanam ganja itu, supaya Kepala Desa ditangkap polisi dan jatuh dari jabatannya," kata mereka. Bantahan itu diucapkan di hadapan Yusuf. Apa pun kata mereka, Jaksa Badrani Rasyid pada pertengahan Desember lalu menuntut 7 tahun penjara untuk Yusuf bin Itam, dan 6 tahun penjara untuk Rahman dan Ilyas. Jika tak diberikan hukuman yang setimpal, kata Jaksa Badrani Rasyid, tidak mustahil perbuatan itu akan ditiru orang lain, dan tentu saja membikin masyarakat tak tenang. M. Kasim, famili Yusuf yang kini jadi komandan hansip Desa Bivak menyesalkan langkah Yusuf. "Cara Yusuf itu curang," katanya. "Harga diri saya yang tercemar tak bisa dinilai dengan duit," ujar Abdullah, sengit. Soal kerugian yang bisa dinilai dengan duit lalu Abdullah merincinya: sawah seluas 3.200 m2 yang ditanami kacang tanah digasak babi labtaran tak ada yang ngurusi. Juga bibit pohon kelapanya. Belum lagi transpor bolak-balik ke rumah tahanan untuk menjenguknya. Jadi, kerugian itu mininal Rp 2 juta. Itu sebabnya, selesai kasus pidana ini, ia akan menuntut perdatanya. Tapi begitu palu Hakim terketok pada 20 Januari lalu, Abdullah luluh hatinya. Ia tak memperdatakan pemfitnahnya. Hakim mengganjar Yusuf dan Ilyas masing-masing 3 tahun. Sedang Rahman, yang telah melaporkan perbuatan fitnah itu mendapat keringanan: cukup 2 tahun 6 bulan. "Sudahlah, hukuman itu cukup. Biar jadi pelajaran untuk mereka," kata Abdullah Salem lirih. Ia plong dari rasa dendam. Widi Yarmanto (Jakarta) & Makmun Al Mujahid (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus