BANYAK orang percaya - tidak terkecuali Madonna, penyanyi rock kenamaan - bahwa lari itu sehat dan merupakan terapi paling baik untuk menjaga tubuh tetap sehat. Setiap bangun tidur mereka langsung mengarungi jalan raya, sampai berkilo-kilometer Madonna kabarnya lari 10 km tiap hari. Begitu pula berjuta-juta lainnya yang tergolong penganut kepercayaan pada khasiat lari-berlari. Bagi mereka, hanya olah raga itu bisa membuat badan merasa segar bugar, jauh dari segala macam penyakit. Lari juga yang menumbuhkan rasa percaya diri. Dan setiba di kantor, jago-jago lari itu akan segera mengimbau anak buah yang kelihatan loyo, agar ikut lari pagi atau jenis aerobik lainnya. Tampaknya, lari sudah jadi bagian dari sarapan pagi. Tapi kalau suatu saat para jagoan harus menggantung sepatu lari lantaran datangnya musim hujan atau pergelangan kaki cedera, kemudian merasa ada yang tidak beres pada kondisi emosional, nah, waspadalah. Sebaiknya, orang ini segera berkonsultasi dengan ahli jiwa. Tak mustahil ia terserang kecanduan lari, yang bisa berakibat buruk bagi kesehatan dan keseimbangan jiwa. Berbagai penelitian, baik kedokteran maupun psikologis, telah banyak membuktikan bagaimana pecandu lari umumnya suka memaksa diri untuk terus berlari, kendati mengalami cedera. Tak sedikit yang akhirnya mengalami kerusakan seumur hidup di salah satu organ kakinya. Bahkan pada tahun 1979, Psikolog William Morgan, dalam penelitiannya di Amerika, menemukan bahwa para pecandu akan terus berlari, meski harus mempertaruhkan kebahagiaan rumah tangga, pekerjaan, dan kesehatannya. Bagaimana kalau mereka dipaksa untuk tidak lari? Di sini eksperimen Psikolog Connie Chan dan Hildy Y. Grossman dari Universitas Massachusetts menemukan jawabannya. Kedua psikolog itu mengamati dua kelompok pecandu, masing-masing terdiri atas 30 orang yang sama-sama mengalami cedera. Bedanya, kelompok pertama masih bisa lari, meski dengan porsi lebih kecil. Ternyata, kelompok kedua - yang tidak boleh lari - menunjukkan gejala depresi mental, kecemasan, dan kebingungan hebat. Setelah eksperimen itu digabung dengan pengamatan terhadap beberapa lusin pecandu lari, kedua psikolog menarik kesimpulan: para pecandu merasa harus terus lari, supaya merasa dirinya berfungsi normal. Jika beberapa hari dilewatkan tanpa lari, mereka akan merasa terganggu, tegang, dan cemas. Sedangkan dalam jangka lebih panjang, mereka akan mengalami depresi, loyo, kehilangan nafsu makan dan seks. Chan, psikolog itu, punya pengalaman pribadi dalam hal ini. Ketika 8 tahun lalu ia harus menghentikan lari, dirinya uring-uringan. "Saya merasa seperti terpecah. Saya selalu dihantui pikiran untuk berlari dan berlomba, yang tak mungkin lagi saya lakukan. Saya merasa kehilangan daya saing," ujarnya. Psikolog ini ingat betul bagaimana ia saat itu merasa cemas dan tak mampu berkonsentrasi. Lucunya, mereka yang punya potensi tertinggi dihinggapi penyakit itu justru bukan atlet profesional - termasuk yang sudah kelas dunia - tapi malah mereka yang berlari demi rekreasi. Mereka ini berlari setelah masuk usia dewasa, dengan maksud menjaga bentuk badan atau supaya merasa lebih rileks dan lebih mudah mengatasi stres. Maklum dalam usia itu orang biasanya sudah punya penghasilan tetap, hingga bisa leluasa menggunakan uang. Tapi pada usia itu pula mereka digayuti berbagai persoalan, yang mengusik ketenangan jiwa. Mereka biasanya adalah pekerja "jempolan" yang hasil pekerjaannya tak bisa diukur secara kuantitatif. Dan dengan berlari mereka merasa menghasilkan sesuatu yang bisa diukur. Dengan kata lain, mereka ingin memperoleh kepastian tentang kemampuan diri, yang diharapkan bisa mengatasi kecemasan terselubung selama ini. Adapun rasa cemas ini meruyak, karena ketidakberdayaan atau kelemahan pribadi. Bisa dimaklumi kalau mereka nekat berolah raga, dengan tujuan agar segala persoalan psikis yang disandangnya bisa tuntas disingkirkan. Tapi ada juga kecenderungan bahwa tenaga profesional yang masih bujangan juga gampang terserang penyakit itu. Pasalnya, setelah Jam kantor, mereka lebih suka lari menyusuri jalan raya daripada harus menghadapi rumah kosong. Alasan lainnya, dengan berlari mereka bisa meningkatkan kontak sosial atau mengisi kekosongan pikiran. Faktor-faktor itulah yang punya andil terbesar, hingga sang pelaku makin bergantung pada olah raga seperti lari. Ketika sudah benar-benar ketagihan, mereka pun jadi tak rasional. "Hanya ada satu hal yang mereka inginkan. Yaitu mencari dokter yang bisa membuat resep ajaib supaya mereka bisa tetap berlari," ujar Edward Colt, bekas Direktur Medis Perkumpulan Maraton Kota New York. Yang tak kalah menarik adalah hasil kajian Alayne Yates dan kawan-kawan dari Universitas Arizona. Ia menemukan kesamaan antara sifat kaum pria pecandu lari dan kaum wanita anorexic - mereka kebanyakan muda, yang mengalami kacaunya selera makan dan obsesi pada berat badan. Nah, pecandu lari dan anorexic sama-sama sangat introvert - lebih suka menyendiri - dan sangat sulit meledakkan kemarahan. Selain itu, mereka umumnya berasal dari keluarga cukup makmur, yang berorientasi pada kemampuan berkarya dan punya tuntutan sangat tinggi terhadap dirinya sendiri. Misalnya, obsesi untuk menjadi ilmuwan kelas wahid, kendati tingkat kecerdasannya sedang-sedang saja. Kedua penderita gangguan emosi ini selalu terdorong untuk mengukur kemampuan pribadi, dan dengan itu mencoba mengatasi rasa cemas yang timbul. Untuk mengobati, "Ada dua pendekatan," ujar Joo Rumeser, psikolog untuk para atlet PSSI dan PBSI. Pertama lewat pendekatan psikoterapi yang bertolak pada unsur-unsur konflik dalam diri penderita. Dalam arti unsur-unsur itu diutak-atik agar berubah dari konflik ke harmoni. Pendekatan lain adalah lewat terapi peri laku, berdasar pada keyakinan bahwa setiap tingkah laku yang berakibat positif cenderung terus diulang. Jadi, masalahnya adalah bagaimana mengubah peri laku penderita tanpa mengubah keyakinan pada hasil yang akan diperoleh. Praginanto, Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini