Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ramai-ramai memusuhi aids

Orang AS amat terguncang menghadapi penyakit AIDS. Mengubah mereka jadi pengecut dan bengis. Penderita AIDS dimusuhi. Kekerasan yang ditujukan kepada mereka mengancam nilai-nilai moral bangsa.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIDS bukan hanya ujian buat pakar kedokteran. Dia juga cobaan terhadap perilaku suatu bangsa. Orang Amerika yang biasanya tak segan berkorban untuk meringankan penderitaan orang lain kini amat terguncang menghadapi penyakit yang mematikan ini. AIDS yang jahat itu mengubah mereka jadi pengecut dan bengis. Lihatlah betapa menderitanya Danny Joe Ware. Dalam pergulatan menunggu maut, penderita AIDS yang baru berusia 24 tahun dan beranak tiga itu saban hari berdoa agar orang-orang tidak berlaku kejam terhadap anak-anaknya, sebagaimana mereka berbuat terhadap dirinya. Ware, yang berasal dari Texas itu, sering ditimpuki batu. Pernah tiga orang mengeroyoknya, menghantamkan botol bir ke kepalanya. Mereka menghajar hidungnya sampai bocor dan meremukkan tulang rusuknya. "Apa yang kalian lakukan?" tanyanya kelu. "Membunuh AIDS," tukas salah seorang tukang keroyok itu. "Sesudah ini, kami Juga akan membunuh istri dan anak-anakmu, kalau mereka juga kena AIDS." Di mana-mana di Amerika, penderita AIDS dimusuhi. Kekerasan yang ditujukan kepada mereka sudah jadi semacam penyakit menular baru yang mengancam nilai-nilai moral bangsa ini. Sikap tak terpuji - mengingatkan pada kekejaman Ku Klux Klan - muncul dari rasa benci dan ketakutan terhadap penyakit yang belum diketahui obatnya ini. Hampir tiap hari di negeri yang penderita AIDS-nya paling banyak itu (1,5 juta orang diperkirakan sudah terkena AIDS) terbetik berita tentang melonjaknya reaksi keras terhadap AIDS. Di Florida, misalnya, ada pendeta yang mengusir anak penderita hemofilla (mereka rupanya mengidap AIDS) dari gereja. Atau seorang laki-laki membunuh keponakannya, karena ia yakin anak itu menderita AIDS. Yang mencemaskan bukan hanya bagaimana kekerasan telah menyebar. Yang paling mengganggu adalah bahwa kepanikan dan prasangka telah menulari orang-orang yang selama ini jadi panutan, seperti guru, dokter, dan para pendeta. "Tahulah saya kini bagaimana penderitaan orang lepra itu," kata Ware, si penderita AIDS. "Ia diperlakukan lebih buruk daripada sampah. Dokter menolak membersihkan giginya. Dan ketika terbaring di rumah sakit, para perawat tak mau membawa masuk makanannya. Mereka hanya meletakkannya didepan pintu." Tapi keluhan Ware tak seluruhnya cocok dengan kenyataan. Hanya saja, usaha-usaha kemanusiaan yang ditujukan bagi penderita AIDS masih sangat terbatas ketimbang rasa benci yang menyebar di masyarakat. Penyakit-penyakit menular yang menyerang sebelumnya, seperti cacar, kolera, TBC, dan polio, juga telah menguji karakter orang Amerika. Namun, wabah AIDS sekarang ini menghantam lebih dahsyat. Allan Brandt, seorang ahli sejarah kedokteran dari Harvard University, AS, teringat bagaimana guncangnya masyarakat Amerika semasa berkecamuknya polio tahun 1950an. Para orangtua, yang takut ketularan dan tak tahu apa yang harus diperbuat, menjauhkan anak-anaknya dari kolam renang, dan tidak membiarkan mereka bermain dengan anak lain. "Tetapi, walaupun dalam ketakutan, orang masih menunjukkan rasa simpati yang besar terhadap korban," katanya. Untuk AIDS sebaliknya, hampir-hampir tak ada simpati. Mengapa jadi begini? Apakah karena korban sebagian besar adalah laki-laki homoseks dan para pemakai obat bius yang umumnya orang-orang kulit hitam, Hispanis, dan miskin? "Dari awal mereka yang kena AIDS memang berasal dari kelompok yang terbuang - homoseks, berkulit hitam, dan pecandu obat bius. Orang-orang lebih suka jika kelompok yang terbuang ini tak ada di sini," kata Mathilde Krim, ketua American Foundation of AIDS Research. Mereka yang berjuang untuk hak-hak kaum homo mencatat bahwa serangan fisik terhadap orang-orang homoseks telah meningkat dengan tajam sejak AIDS pertama kali ditemukan, tahun 1981. Sekitar 65% dari perlakuan semacam itu terjadi karena emosi yang terbakar lantaran AIDS. "Di Boston, misalnya, tiga orang mengeroyok seorang laki-laki yang mereka anggap homoseks, dan menghajar rahangnya. "Coba-coba menyebarkan AIDS, ya?" begitu mereka mengejek. Penderita AIDS sebenarnya tidak hanya terbatas pada homoseks. Dari 40.000 kasus penderita yang dilaporkan, 65% adalah homoseks atau biseks, 17% pemakai obat bius yang disuntikkan. Selebihnya orang-orang normal yang terjangkit melalui hubungan seks, penderita hemofilia, dan mereka yang kena melalui transfusi darah. Sementara itu, pada laporan Center for Disease Control, ada 595 kasus melibat anak-anak di bawah 13 tahun. Lebih gawat lagi, satu dari 61 bayi yang dilahirkan di New York Desember lalu bisa dipastikan tersusupi virus AIDS, yang berasal dari darah ibunya. "Ini berita buruk," kata Dr. Stephen C. Joseph, pejabat kesehatan Kota New York. Dia tidak mau mengatakan bahwa jumlah ibu hamil yang positif menderita AIDS kian banyak saja. Dan ini tidak segera bisa dicegah. Kenyataan seperti ini menyebabkan publik susut kepercayaannya kepada pemerintah. Seorang sersan, polisi patroli jalan raya, menangkap seorang penderita AIDS dan membawanya kepada seorang penyuluh kesehatan. Ia mengusulkan supaya orang yang menderita AIDS diberi tanda silang di jidatnya. Ketika petugas kesehatan menjelaskan bahwa AIDS tidaklah begitu menular, polisi itu balik memekik, "Itu cuma omong kosong birokratis! " Ternyata, sulit memulihkan kepercayaan publik, yang sudah beberapa kali terkecoh oleh keterangan pemerintah. Tentang ini, Lester Lave, seorang ahli ekonomi yang mengkhususkan diri dalam analisa risiko dari Carnegie-Mellon University di Pittsburgh, berkomentar agak panjang. "Pemerintah mengatakan kepada kita bahwa tak ada yang harus dikhawatirkan mengenai tenaga nuklir. Nyatanya, kita mengalami malapetaka Three Mile Island. Pemerintah mencatat kehebatan NASA, tapi Anda menyaksikan bencana pesawat ulang-alik Challenger. Dan sekarang ... para peneliti dan petugas kesehatan ketularan virus AIDS. Rakyat tertanya-tanya, sejauh mana sebenarnya pengetahuan pemerintah tentang AIDS." Pemerintah mungkin banyak tahu. Tetapi sikapnya yang terlalu birokratis telah memperburuk keadaan. Malah para aktivis penanggulangan AIDS menganggap bahwa kelambanan kerja pemerintah akan membuat korban jatuh lebih banyak. Batas waktu Juni tahun ini bagi satuan tugas yang menyusun laporan mengenai gawatnya penyakit dianggap terlalu lama. "Setengah dari kami sudah mati lebih dulu, baru laporan itu selesai," begitu sindiran seorang penderita AIDS. Dalam suasana panik dan ketakutan seperti itu, seseorang yang melakukan tugas-tugas kemanusiaan bisa dianggap luar biasa. Dan orang-orang yang bersemangat menolong korban AIDS sebenarnya bukan tak ada. Daniel Foster, seorang dokter dari Dallas, tak lupa pada seorang penjaga pompa bensin yang menyampaikan salam kepada penderita AIDS berusia 17 tahun. "Katakan kepadanya bahwa Tuhan mencintainya." Dan ketika jantung anak muda itu berhenti, seorang pemuda dan seorang penghuni rumah sakit menemuinya. Dengan susah payah keduanya mencoba menghidupkan jantung itu kembali, tanpa menghiraukan darah yang berlumuran di tangan mereka. "Mereka adalah pahlawan-pahlawan sejati," kata Foster. Tetapi sang pahlawan rupanya musti sanggup menangkis berbagai tantangan. Terryl Moore, seorang yang menaruh perhatian terhadap masalah pendidikan, bertarung melawan birokrasi dalam usahanya mendirikan rumah penampungan korban AIDS. Mula-mula, tukang pos menolak menyampaikan surat ke rumah penampungan itu. Ketika mereka putuskan mau menyampaikan surat ke situ, mereka lantas mengenakan sarung tangan karet dan diperintah lekas-lekas pulang untuk disucihamakan. Pejabat perumahan mengatakan atap rumah itu harus dicat, sementara rumah di dekatnya tidak diapa-apakan. Manakala Moore menyelenggarkan seminar pendidikan AIDS, ada 100 orang yang hadir. Tapi tak satu pun yang sudi masuk ke rumah penampungan itu. Akhirnya, Moore menjejer kursi di pekarangan, dan di situlah seminar berlangsung. "Kalau masuk ke dalam rumah saja orang sudah takut terserang AIDS, Anda akan sadar betapa beratnya pekerjaan yang dihadapi," ucap Moore. "Berada di persimpangan jalan," kata ahli sejarah kedokteran Allan Brandt, "kita bisa membiarkan AIDS memperburuk kesenjangan sosial yang parah. Atau kita bersatu untuk memerangi krisis sosial dan krisis kedokteran yang besar ini." Ahli-ahli teologi yang optimistis berpendapat, semangat Amerika untuk mengulurkan tangan kepada para penderita AIDS bagaimanapun akan tumbuh. Tanpa harus menunggu lebih banyak lagi korban di antara orang-orang yang mereka kasihi dan kagumi. Itu jualah yang menjadi harapan Danny Joe Ware, yang sedang bergulat dengan penyakit jahanam itu. "Saya menginginkan dunia yang lebih baik untuk anak-anak saya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus