HUJAN deras malam itu mengguyur Kota Magelang. Kendati air bagai dicurahkan dari langit, Suparman, 38 tahun, warga Paten Jurang, Rejowinangun, tetap mengayuh becaknya. Memang hanya itulah sumber nafkahnya sehari-hari. Lalu seperti biasa, ayah lima anak itu mangkal di Jalan Prawirotaman, menunggu penumpang. Tak lama kemudian datang Usman, rekannya sesama penarik becak. Mereka tenggelam dalam lamunan di becak masing-masing, sampai seekor katak hijau meloncat-loncat tak jauh dari becak Mantuk - panggilan akrab Suparman. Ini berarti rezeki. Ia mencoba menangkap. Belakangan Usman turut pula memburu, dan beruntung menubruk duluan. Mantuk mengklaim bahwa kodok itu miliknya, karena ia yang melihat lebih dulu. Mantuk berhasil merebut dari tangan temannya. Usman penasaran, karena merasa dialah yang berhak. Cekcok mulut kemudian berubah ngotot. "Kalau kamu ingin memiliki kodok ini, kalahkan dulu aku. Mari kita berkelahi," teriak Mantuk. Tantangan tersebut tak digubris Usman, karena ia melihat Mantuk yang berbadan tegap itu memegang sepotong besi. "Tapi kalau kamu berani, tunggu sebentar," kata Usman sembari mendorong becaknya.. Malam semakin larut. Hujan belum reda. Hanya dingin malam tak mampu memadamkan hati Usman yang mulai membara. Dari rumahnya, di Kampung Jaranan, Usman kini membawa "bekal" - sebilah parang. Becaknya ditinggal. Mantuk, yang sedang asyik dengan temuannya, tak menyadari datangnya bahaya. Tahu-tahu sebuah sabetan hinggap di leher belakangnya. Tanpa sempat bersuara, Mantuk roboh. Hih, kepalanya nyaris putus. Lalu sepi, dan tak ada saksi mata. Darah mengalir terbawa air hujan. Kemudian Usman ketakutan sendiri, setelah melihat temannya meregang nyawa. Buru-buru ia angkat kaki. Berbekal Rp 1.000, Usman kabur ke Yogyakarta. "Selama empat hari hidup saya tak menentu," ujarnya. Lelaki berkulit hitam itu secara maraton menyusur dari Semarang terus ke Jakarta. Di Kota Metropolitan itu ia sempat jadi penjual rokok. Tapi di sini pula petualangannya berakhir. Dalam suatu razia gelandangan yang dilakukan petugas Polda Metro Jaya, Minggu dua pekan lalu, Usman terjaring. Kemudian ia dibawa ke Magelang. Di depan aparat keamanan, ia mengaku terus terang telah membunuh temannya sendiri di kota itu. "Selama ini saya dihantui wajah Mantuk," ucapnya di tahanan. Ia sengaja menggelandang untuk menghindari balas dendam rekan-rekan Mantuk. "Teman-teman sesama tukang becak tahu bahwa saya dan Mantuk sering cekcok," kata Usman. "Karena itu daripada dikeroyok, lebih baik saya lari." Latar belakang pembunuhan yang terjadi akhir November tahun lalu itu, menurut keluarga Mantuk, kemungkinan karena rebutan rezeki. Selain memperoleh penghasilan dari menarik becak, ada kalanya Mantuk dapat tambahan dari sopir-sopir truk. "Setiap malamnya minimal ada uang Rp 3.000 di kantungnya," ucap Suratin, adik Mantuk. Bisa jadi, ini yang membuat Usman iri hati. Sebuah sumber yang enggan disebutkan namanya punya dugaan lain. "Pacar Usman direbut Mantuk," katanya. Sudah bukan rahasia lagi bagi masyarakat Magelang bahwa di kawasan Prawirotaman sering berkeliaran kupu-kupu malam mencari mangsa pria iseng. Mereka umumnya akrab dengan para tukang becak. "Saya sering melihat Mantuk bergaul dengan para WTS," tambahnya. Lain dengan sumber di Polresta Magelang, yang membantah perkiraan-perkiraan itu. "Sampai sekarang belum ditemukan adanya motif lain, kecuali rebutan kodok ijo itu," ujar seorang petugas. Memang baru soal kodok ijo itulah yang "dinyanyikan" Usman. Waktu itu ia mengaku sangat emosi. "Kodok itu saya yang menangkap, lalu diambil Mantuk," kata pemuda berusia 22 tahun itu, tercenung. Y.H. & Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini