Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gaya Swalayan Medan

Sejumlah supermarket di Medan memajang foto-foto yang di kategorikan pencuri atau pencopet. Satpam Olympia Plaza main hakim sendiri menggebuki orang-orang tak berdosa. Pihak DPRD turun tangan.

11 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUPERMARKET-supermarket di Medan, di akhir tahun lalu, memperagakan pertunjukan yang tidak enak: Di pintu-pintu masuknya dipajang puluhan foto berwarna dari anak-anak sekolah - lengkap dengan seragamnya - sampai pria dan wanita dewasa yang masing-masing di bawahnya ditulis kata-kata "maling" dan "pencuri". Ada juga sebuah peringatan bagi pengunjung untuk tidak memotret pertunjukan itu. Peragaan tanpa izin itu, tentu saja, membuat heboh masyarakat Medan. Sampai-sampai DPRD kota itu menurunkan timnya ke salah satu supermarket di Jalan Nusantara, Olympia Plaza, sehari setelah Natal lalu. Hari ini tim memergoki 41 foto warganya yang dipajang di pintu masuk toko swalayan itu. Hanya saja, usaha tim untuk bertemu para pimpinan supermarket tidak berhasil pada kunjungan pertama. Baru keesokan harinya, tim itu diterima Manajer Olympia, Hardi. Dalam pertemuan itu Hardi mengatakan, tidak mengerti soal hukum, dan karena itu pula ia tidak tahu pemajangan foto-foto itu melanggar hukum. Yang jelas, setelah kunjungan DPRD di supermarket itu, tidak terlihat lagi pemajangan foto. Dari kunjungan itu, kata seorang anggota tim, Yusuf Pardamean, terungkap bahwa pihak Olympia telah membikin hukum sendiri di perusahaannya. Sebab, selain dari pemajangan foto-foto itu, diketahui pula bahwa pihak satpam toko itu memeriksa dan memukuli orang-orang yang mereka curigai sebagai pencuri di tempat itu. "Mereka seenaknya saja membikin aturan. seakan-akan mereka jadikan tokonya negara sendiri," ujar Yusuf Pardamean. Para anggota DPRD yang mengusut menduga, banyak korban "hukum rimba" toko swalayan iu yang tidak bersalah sama sekali. Di antara korban, kata Yusuf, adalah orang-orang yang tidak tahu tata cara berbelanja di supermarket. Misalnya, ada pengunjung yang sudah mengambil barang, tapi tidak tahu di mana harus membayarnya. Ketika mereka sudah melewati meja kasir, kontan dituduh mencuri. Kendati begitu, para anggota DPRD tidak membantah bahwa ada juga yang di antara mereka yang benar-benar pencuri. "Tapi 'kan ada aturan menindak mereka. Apalagi untuk anak-anak yang berstatus pelajar," tambah anggota tim yang lain, Buttu R. Hutapea. Dugaan anggota DPRD itu memang ada buktinya. Dua orang penduduk Labuhan Deli, Muhammad Taib, 35, dan Ahmad, 35, pekan lalu melapor ke LBH Medan tentang nasib buruk yang dialaminya di Olympia Plaza. Pada 22 Desember lalu, nelayan itu ingin melihat-lihat keindahan Medan, ditemani Taib, seorang sopir bis. Seharian penuh, Taib dan Ahmad mencuci mata di Olympia Plaza. Mereka tidak membeli apa-apa, walau di kantung Ahmad terselip uang Rp 11 ribu. Sekitar pukul 17, mereka berniat pulang. Tapi, ketika itulah keduanya ditarik oleh lima orang petugas satpam berpakaian preman, dan diboyong ke markas keamanan di lantai dua. Menurut Ahmad, sesampai di dalam ruangan, ia langsung dibentak petugas yang menangkapnya. "Mengaku sajalah kalian di hadapan komandan kami," kata Ahmad menirukan ucapan petugas itu. Mereka berdua tentu saja tidak mengerti apa yang harus diakui. Tuduhan untuk mereka baru jelas setelah seorang petugas, katanya, menyambung, "Kalian 'kan pencuri! Setiap ruangan di sini dipasangi kamera, dari itu kami lihat kalian memasukkan tangan ke kantung pengunjung. Kalian pencopet!" tuduh petugas itu. Tentu saja kedua penduduk kampung itu menyangkal. Akibatnya, tutur Ahmad dan Taib, mereka digebuki. Karena tidak tahan dipukuli, mereka mengaku sesuai dengan kehendak yang memeriksanya. Setelah itu, barulah mereka dipotret dan disuruh membeli kertas meterai untuk membuat pernyataan bahwa mereka benar-benar melakukan pencopetan di supermarket itu. SAMPAI saat ini laporan Ahmad dan Taib melalui LBH masih diusut polisi. Komandan Satpam Olympia Plaza Harun, tidak bersedia menjelaskan peristiwa-peristiwa di kantornya itu. "Saya tidak punya wewenang memberi keterangan. Saudara harusnya maklum, bos Olympia pergaulannya luas," ujar Harun. Dirut Olympia, Suwandi, sayangnya juga tidak bersedia diwawancarai. Namun, seorang sumber di perusahaan itu membenarkan bahwa di toko swalayan itu rata-rata setiap bulan terjadi dua sampai tiga kali pencurian. "Tapi yang dicuri itu barang-barang kecil, harganya hanya berkisar ratusan rupiah," katanya. Sebagian besar kasus itu, kata sumber tadi, memang diselesaikan pihak satpam, dan hanya beberapa yang diteruskan kepolisian. Persoalannya, hukum rimba itu bukan hanya di Olympia. Di supermarket-supermarket lain, kabarnya, foto-foto semacam itu juga dipajang. "Kami tidak sempat tahu. Ketika kami datang ke sana, foto-foto itu tidak dipajang lagi," kata anggota tim DPRD, Buttu Hutapea.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus