BAGAIKAN jatuh dihimpit tangga: Setelah - akhir Desember - Departemen Penerangan melarang majalah Kartininya terbit, sebagai tandingan Kartini Willy Risakota, awal bulan ini nama Lukman Umar dicoret sebagai wakil pimpinan umum dan wakil pimpinan perusahaan di majalah Sarinah. Menurut sumber TEMPO di Sarinah, pekan lalu, pimpinan Sarinah - kecuali Lukman Umar - dipanggil Deppen, menyusul peristiwa terbitnya dua majalah Kartini dengan izin terbit (STT) yang sama, penerbit sama, tapi pimpinan berbeda. Dalam pertemuan itu, Deppen meminta agar pimpinan Sarinah mengimbau Lukman Umar untuk mengundurkan diri. Seandainya imbauan itu tidak dipatuhi,kata sumber itu, Sarinah akan dilarang terbit. Imbauan itu, tutur sumber tadi, disampaikan kepada Lukman. "Kami meminta agar beliau berjiwa besar dan lebih mementingkan nasib 500 orang karyawan. Ternyata, beliau setuju," kata sumber tadi. Sebab itu, tambahnya, Sarinah nomor 87 yang ketika itu sudah dicetak 100.000 eksemplar, terpaksa dicetak ulang setelah nama Lukman Umar dihapus dari daftar pengurus penerbitan. Bagaimana kepastian nasib Lukman Umar di Sarinah ? Menurut pemimpin umum majalah itu, Sugiarso, bergantung pada keputusan Deppen yang direncanakan keluar pekan ini. "Semuanya itu akan tergantung Deppen. Kalau nanti keputusan Deppen kami tidak boleh lagi bekerja sama dengan Lukman Umar, ya, apa boleh buat. Itu 'kan perintah Deppen," ujar Sugiarso. Menurut Sugiarso, pemanggilan dari Deppen itu terjadi gara-gara sengketa Lukman di Kartini. "Karena nama Lukman tercantum di Sarinah, akhirnya kami terseret juga. Padahal, urusan mereka 'kan di luar Sarinah," tutur Sugiarso. Menurut Sugiarso, sebelumnya pihaknya telah mengimbau Lukman agar tidak menerbitkan majalah Kartini tandingan itu. "Tapi, karena beliau merasa benar, ia tetap nekat. Akibatnya, kami ikut menjadi resah," ujar Sugiarso,.yang memperkirakan - selain pencoretan nama Lukman - majalahnya akan terkena pembekuan SIT sementara oleh Deppen akibat pelanggaran yang dilakukan Lukman itu. Tindakan Lukman akhir bulan lalu memang mengagetkan. Ia menerbitkan majalah Kartini tandingan karena merasa berhak atas SIT majalah itu setelah sengketanya melawan grup Willy Risakota dimenangkannya sampai ke Mahkamah Agung. Pada keputusan kasasi, selain mendapat ganti rugi Rp 50 juta, ia juga diakui Mahkamah Agung berhak atas kedudukannya di Yayasan Pratama Sari - penerbit Kartini - dan di majalah Kartini. Ternyata, eksekusi keputusan itu berlarut-larut, walau Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) sudah menegaskan bahwa untuk keputusan yang bersifat declaratoir (pernyataan) - Lukman kembali ke Yayasan Pratama Sari dan majalah Kartini tidak perlu melalui pengadilan. Sebab, pihak Willy Risakota, yang kini menguasai Kartini, tidak berniat menerima Lukman kembali. "Kami memang kalah dari segi hukum, tapi yang berhak mengatur hidup majalah ini adalah Departemen Penerangan," ujar Willy, ketika itu. Sementara itu, Dirjen PPG Sukarno menganggap persoalan belum tuntas. Sebab, pihak Willy meminta peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung. "Sebagai Deppen, kami mengimbau agar mereka menunggu keputusan Mahkamah Agung. Sebab, bisa-bisa putusan berubah," ujar Sukarno, ketika itu. Ternyata, Lukman tidak sabaran. Ia, yang merasa berhak menerbitkan Kartini, akhir tahun lalu nekat menerbitkan Kartini tandingan. Untuk itu, katanya kepada TEMPO, ia siap menghadapi risiko apa pun. "Saya sudah siap untuk menjadi kere sekalipun," uiar Lukman (TEMPO, 22 Desember). Tapi, baru dua hari majalah itu beredar, 29 Desember, Dirjen PPG Sukarno, atas nama Menteri Penerangan, melarang majalah itu terbit dan beredar. Dalam surat keputusan Menteri Penerangan itu, disebutkan bahwa majalah Kartini pimpinan Lukman telah melanggar ketentuan perundang-undangan, di antaranya menerbitkan penerbitan baru yang nama, bentuk, dan SIT-nya sama dengan penerbitan yang telah ada. Lukman, menurut Menpen, juga melanggar ketentuan yang melarang seseorang mengasuh lebih dari dua penerbitan. Sebab, selain di Kartini itu, menurut catatan Menpen, Lukman juga menjadi pimpinan Sarinah dan Ananda. "Masa ada satu SIT untuk dua penerbitan?" ujar Sukarno kepada TEMPO. Menurut Sukarno, sebenarnya, persoalan sengketa antara Lukman dan Willy merupakan sengketa di dalam tubuh Yayasan Pratama Sari. Begitu pula persoalan keluarnya Lukman dari majalah Sarinah. "Departemen Penerangan menghormati aturan-aturan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga masing-masing perusahaan itu," katanya. Dirjen Sukarno mengakui bahwa Lukman memenangkan sengketanya secara hukum. Tapi, tindakan Lukman menerbitkan Kartini tandingan itu dianggap Sukarno tergesa-gesa. "Sebab, upaya peninjauan kembali keputusan itu belum diputus Mahkamah Agung. Jadi, masih dalam proses. Kepastian perkara itu perlu untuk prosedur SIUPP pengganti SIT," ujar Sukarno. Ketua Mahkamah Agung Ali Said, seperti dikutip Kompas, membenarkan bahwa keputusan perkara Kartini belum final karena ada upaya peninjauan kembali dari pihak Willy. Tapi, sejauh mana prosesnya, ia mengatakan tidak mengetahui. Hanya saja, kata Ali Said, secara hukum Kartini Lukman Umar bisa saja terus terbit. Sebab, ia yang memenangkan perkara itu, katanya, walau Willy menempuh upaya peninjauan kembali. Lukman sendiri, yang mendapat musibah ganda, ternyata tidak ingin berkomentar banyak. "Memang nama saya tidak lagi dicantumkan di Sarinah. Tapi, sekarang saya lebih baik diam saja," kata Lukman, yang tidak setuju ia disebutkan menerbitkan Kartini tandingan. "Majalah itu sah sesuai dengan SIT yang ada," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini