MUNGKIN masih banyak yang kaget melihat kenyataan RAPBN mendatang itu benar-benar turun 7% -- sekalipun Kepala Negara sudah menyiratkan kemungkinan tadi ketika menyampaikan pidato tahun baru 1986: keadaan ekonomi Indonesia sepanjang 1985 lalu memang tidak terlalu menggembirakan, karena terkena perkembangan ekonomi dunia yang tidak menentu. Hampir seluruh ekspor komoditi nonmigas jatuh, dan mendapat saingan. Harga minyak juga mendapat tekanan. Nah, para pengusaha boleh jadi kini sedang sibuk menghitung arti ildato Kepala Negara, pekan ini, mengantar nota keuangan dan RAPBN 1986--87 bagi bisnis mereka. Soalnya, baru kali ini terjadi, selama pemerintahan Orde Baru, volume rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara menurun cukup besar. Tahun berjalan ini volumenya masih Rp 23.046 milyar, tapi tahun fiskal mendatang anggarannya hanya Rp 21.421,6 milyar, atau turun hampir Rp 1.625 milyar (lihat Grafik 1). Pengaruh tekanan terhadap harga minyak itu diduga memang akan terus berlanjut hingga tahun ini. Karena alasan itu, di dalam memperkirakan penerimaan Pajak Perseroan (PPs) minyak dan LNG (gas alam), untuk tahun 1986--87 kelak, pemerintah hanya memproyeksikan Rp 9.738,2 milyar, atau lebih rendah Rp 1.421,5 milyar (12,7%) dibandingkan tahun anggaran berjalan. Cukup realistis agaknya, bahkan sasaran penerimaan pa)aK LNG dianggarkan turun Rp 87,4 milyar dari Rp 1.680,1 milyar pada tahun berjalan jadi Rp 1.592,7 milyar - sekalipun mulai Juni nanti ada tambahan ekspor LNG ke Korea. Jika ditilik dari sasaran penerimaan pajak LNG, yang harganya dikaitkan dengan minyak itu, mudah ditebak RAPBN 1986-87 disusun dengan perkiraan harga minyak di bawah USX 28 per barel. Sekali ini, tampaknya, pemerintah mengambil ancang-ancang cukup jauh dengan membuat skenario harga minyak terendah. Yang belum diketahui di situ adalah, pada tingkat produksi berapa juta barel dan kurs berapa rupiah untuk setiap dolar, sasaran penerimaan pajak minyak dan LNG anggaran 1986-87 itu dibuat. (Lihat: . . Lap-Ut. 11). Menurut Hadi Soesastro, ekonom dari CSIS, Jakarta, perkiraan sasaran penerimaan pajak migas itu dibuat berdasarkan asumsi harga minyak ekspor pukul rata US$ 25 per barel, kurs dolar Rp 1.153, dan tingkat produksi 1,3 juta barel per hari. Kalau harga minyak OPEC turun sampai US$ 23--US$ 24 per barel nantinya, ia tetap yakin rencana penerimaan itu masih bisa dijangkau pemerintah. "Ada cara-cara untuk menutup pemerintah punya semacam tabungan dalam soal minyak ini," katanya. Yang agak di luar dugaan, menurunnya sasaran pajak migas itu akan dikompensasikan dengan penerimaan pajak di luar migas. Tahun anggaran 1986-87 itu, penerimaan pajak di luar migas diperkirakan akan masuk Rp 8.094,3 milyar, atau naik Rp 576 milyar lebih dibandingkan tahun anggaran berjalan. Sumbangan terbesar diharapkan datang dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa, dan Pajak Penjualan (PPn) barang mewah, yang dianggarkan bakal mencapai Rp 2.143,3 milyar (termasuk PPN BBM Rp 558,2 milyar), atau sekitar Rp 477 milyar (29%) di atas sasaran tahun fiskal sekarang. Banyak pengamat agak merasa waswas melihat besarnya sasaran PPN dan PPn di tengah suasana suram kehidupan sektor usaha. Jika inflasi selama 1986-87 diduga hanya akan sekitar 10%, maka sasaran kenaikan pajak efektif itu masih sekitar 19%. "Ini agak sulit diterima," kata Prof. Arsjad Anwar dari FE UI dalam diskusi dengan TEMPO, "karena asumsinya penjualan pengusaha dianggap akan naik, ini sangat rawan." Bagi Dirjen Pajak Salamun A.T., yang bertanggung jawab mengumpulkan uang sebesar itu, kenaikan rencana penerimaan PPn tadi dianggapnya cukup realistis. Alasannya: di dalam upaya mempertahankan diri seperti sekarang, banyak pengusaha akan tetap berikhtiar melakukan transaksi, sekalipun hanya akan mencapai titik impas. "Yang penting buat mereka, dari hasil penjualan itu mereka bisa membiayai pegawai dan menutup biaya administrasi," katanya. "Omset besar, tapi untung tidak ada." Sikap optimistis itu tampaknya beralasan karena realisasi penerimaan PPN dan PPn sampai Desember lalu saja sudah sekitar Rp 1,5 trilyun. Padahal, pengusaha kena pajak (PKP) yang patuh menyetor kedua jenis pajak itu tiap bulan rata-rata baru 36% dari 51 ribu PKP terdaftar. Nah, dalam upaya menegakkan disiplin para pengusaha itu, Januari ini, aparat pajak akan mendatangi para PKP untuk melaksanakan pemeriksaan setempat guna mengecek kebenaran pembukuan pembehan dan penjualan mereka. Karena alasan itu, sebuah sumber menyebut sasaran penerimaan PPN dan PPn tahun anggaran berjalan yang Rp 1.666 milyar (termasuk PPN BBM Rp 531,4 milyar) akan mudah terlampaui. "Realisasi penerimaan kedua pajak itu diperkirakan akan mendekati angka Rp 2 trilyun," ujar sumber tadi. Sumber ini tidak merinci apakah kenaikan cukup besar itu akan berasal dari pajak barang umum atau justru dari pajak BBM. Tentu saja tidak semua pengusaha bisa sependapat dengan sikap optimistis pemerintah itu. Subagio Wirjoatmodjo, Direktur Keuangan PT Astra International Inc., misalnya, menganggap sasaran PPN dan PPn 1986-87 itu terlalu tinggi. "Kecuali kalau pemerintah berbuat sesuatu dengan, misalnya, mencairkan sisa anggaran pembangunan (Siap), melakukan pembelian dengan kredit, atau memperlonggar suplai uang, yang bisa menaikkan permintaan," katanya. Subagio menduga, dengan jatuhnya harga beberapa komoditi ekspor, seperti karet, kayu lapis, dan minyak, transaksi para pengusaha dalam volume maupun rupiah akan menurun, karena permintaan akan melemah. Yang bisa menambah permintaan, antara lain, adalah belanja pemerintah. Usaha industri otomotif menambah permintaan, dengan misalnya mengganti model-model mobil ternyata hanya menambah permintaan sesaat (seasonal). "Memang kami akan berusaha bertahan, tapi yang paling menentukan akhirnya permintaan pasar," katanya. Suara pengusaha semacam Astra, yang bergerak di bidang industri otomotif, komputer, kayu lapis, dan agribisnis, ini tampaknya cukup menggambarkan keadaan para pengusaha kini. Pada umumnya, para pengusaha, yang sampai sekarang masih banyak menggunakan bahan baku dan penolong impor itu, masih bisa hidup dengan marjin yang sangat mepet. "Tahun ini kami harus bisa terus bekerja dengan volume yang lebih rendah, berusaha menjaga hubungan baik dengan pemegang merk, pihak bank, maupun perusahaan dagang," kata Subagio. Kesulitan pengusaha itu rupanya cukup dipahami pemerintah. Buktinya, rencana penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) untuk 1986-87 nanti dianggarkan Rp 2.881 milyar, atau lebih rendah Rp 193 milyar (6,3%) dibandingkan tahun anggaran berjalan. Artinya, pemerintah beranggapan laba banyak perusahaan yang bisa dipajaki, untuk tahun fiskal mendatang, diduga bakal mengecil - sekalipun transaksi masih bisa dilakukan. Diakui Dirjen Salamun, sasaran PPh 1985-86 yang dibuat Rp 3.074 milyar terlalu besar. "Kami kurang memperhatikan dunia usaha ketika itu," katanya. Menurut Dirjen Salamun, sasaran Rp 3 trilyun itu dibuat dengan asumsi, ekonomi Amerika pada tahun anggaran 'berjalan ini sudah membaik.Yang terjadi ternyata malah sebaliknya. "Akibatnya, efek berantainya tidak terasa di sini," katanya. Jadi, realisasi penerimaan PPh 1985-86 ini diperkirakannya hanya akan berada di sekitar angka Rp 2,6 trilyun, atau Rp 474 milyar lebih (hampir 16%) di bawah sasaran. Banyaknya kendala di dalam dan luar negeri itu, pada akhirnya, menyebabkan pemerintah membuat perkiraan penerimaan rupiah dari dalam negeri untuk tahun anggaran mendatang, berjumlah sekitar Rp 17.832 milyar, atau 4,5% di bawah sasaran tahun berjalan. Dalam kata-kata Prof. Arsjad Anwar, sasaran penerimaan sebesar itu menggambarkan sikap pemerintah yang tidak terlalu pesimistis, tapi cukup realistis. Karena itu, agaknya, rencana penerimaan pembangunannya (sebagian besar berupa pinjaman dolar), dianggarkan Rp 3.589,1 milyar, atau hampir 18% di bawah tahun sekarang. Penerimaan pembangunan ini hakikatnya merupakan lawan pembiayaan dan rupiah. Dana dalam mata uang asing itu baru bisa ditarik jika anggaran dalam rupiahnya untuk membiayai suatu proyek cukup tersedia. Tak jelas benar apakah menurunnya rencana penerimaan pembangunan sebesar hampir Rp 780 milyar itu berkaitan dengan makin mengecilnya penerimaan rupiah pemerintah. Prof. Arsjad sendiri hanya berani menduga, penurunan itu terjadi, "Karena pembiayaan dari rupiahnya tidak ada." Bisa dipahami jika kemudian pemerintah berusaha menyesuaikan anggaran pengeluaran dengan mengecilnya sasaran penerimaan. Untuk kedua kalinya, yang dikorbankan adalah pengeluaran pembangunan (lihat Awas Banting Setir). Tahun anggaran mendatang itu, pengeluaran pembangunan dari dana rupiah hanya dianggarkan Rp 4.788,3 milyar, atau Rp 1.561,5 milyar (hampir 25%) di bawah rencana anggaran tahun berjalan (lihat Grafik II). Hampir semua sektor yang dibiayai dengan rupiah di situ turun mencolok rencana anggarannya. Kata Arsjad Anwar, turunnya alokasi pembiayaan rupiah itu menunjukkan indikasi bahwa pemerintah akan berusaha mengurangi campur tangannya dalam menangani pembangunan. "Swasta, dengan kata lain, diminta berperan lebih banyak," katanya. Yang sudah terjadi misalnya dalam usaha membiayai pembangunan sejumlah jalan bebas hambatan. Swasta dan masyarakat berperan di situ dengan ikut membeli obligasi PT Jasa Marga, penyelenggara sekaligus pengelola Jalan bebas hambatan. Penurunan pengeluaran pembangunan dalam rupiah itu dilihat beberap pengamat bisa dianggap sebagai upaya pemerintah mempertajam prioritas. Sayangnya, menurut Dr. Iwan Jaya Azis usaha menajamkan prioritas pembangunan itu "sasarannya keliru". Ekonom darl UI berusia 33 tahun itu lalu menunjuk ang garan untuk subsektor prasarana jalan dan perhubungan darat, yang bisa digolongkan sebagai pekerjaan umum, yang turun dari Rp 433,6 milyar jadi Rp 297 milyar. Kalau pembangunan jalan berkurang, "Mana ada orang yang mau menanamkan uangnya di daerah?" katanya. "Penajaman prioritas ini kurang melihat kepentingan jangka panjang," tambah ahli ekonomi regional itu. Makin kecilnya pembiayaan rupiah untuk pengeluaran pembangunan di tahun anggaran mendatang itu, tentu saja, menyebabkan departemen dan instansi pemerintah harus membuang rencana sejumlah proyek tidak penting. Kata Meneri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ketua Bappenas Dr. J.B. Sumarlin, bentuk seminar, rapat kerja, tim proyek, dan tim pembentukan peraturan serta perundangan harus dihapus juga. "Pembangunan gedung kantor yang belum dimulai, tapi sudah ditenderkan, sebaiknya dinegosiasi untuk dibatalkan," ujar Menteri Sumarlin dalam briefing dengan pers. Isyarat Menteri Sumarlin itu, tentu saja bisa dianggap merupakan berita buruk bagi para kontraktor dan pelaksana proyek, apalagi dana untuk proyek baru praktis hampir tidak ada kecuali untuk proyek Inpres. Karena itu, bisa dipahami jika Asosiasi Semen Indonesia (ASI) memperkirakan konsumsi semen lokal dan kebutuhan semen ekspor akan berada pada angka 9.550 ribu ton, atau 1.070 ribu ton di bawah tahun 1985. Padahal, kapasitas terpasang 10 pabrik semen kini 17.410 ribu ton setahun. Tahun lalu, dengan tingkat produksi mencapai 13,5 juta ton, para juragan semen itu sampai pontang-panting berusaha menjual semennya. Empat tahun lalu, mereka masih bisa mengekspor semen dengan harga US$ 52 per ton. "Tapi sekarang transaksi US$ 28 per ton pun masih ditawar. Untung saja, semen yang diekspor hanya berjumlah 800 ribu ton tahun lalu. Jika ekspor merupakan bagian terbesar dari penjualan, dari dulu kami sudah gulung tikar," kata seorang pejabat di ASI. Situasi runyam pasar ekspor itu rupanya cukup berat harus dipikul Indocement, yang tahun lalu bisa melego 320 ribu ton semen ke Muangthai, Sri Lanka, Singapura Arab Saudi, Pakistan, Brunei, Bangladesh, dan India. "Semen itu terpaksa kami jual dengan harga US$ 28 - US$ 29 per ton. Itu rugi, tapi daripada tidak jual?" ujar Peter Tanuwidjaja, Manajer Pemasaran Indocement. Bisa saja Tiga Roda tidak menjual semen itu ke luar negeri, hanya risikonya pasarnya bakal diisi penjual lain. "Sayang, kalau pasar yang sudah terbina ditinggalkan begitu saja," katanya. Usaha memperluas pasar ekspor, jika tidak dibantu dengan Sertifikat Ekspor (SE) yang bakal dihapus April depan, diperkirakan akan bertambah sulit saja - apalagi saingan bisa menghasilkan semen lebih murah dengan bahan bakar batu bara. Sementara itu, pembangunan proyek-proyek besar di dalam negeri, seperti pembangunan bandar udara, proyek Jalan bebas hambatan, dan pembangkit listrik, sudah selesai semua. Bertolak dari kenyataan itu, untuk 1986 ini, Indocement memperkirakan hanya mampu menjual 3.365 ribu ton atau hanya 45% dari kapasitas terpasang yang 7,5 juta ton. "Kalau pemerintah mengetatkan ikat pinggang, swasta biasanya ikut terkena," ujar Peter. Ternyata, tidak semua industri penghasil bahan baku konstruksi mau menghadapi kekonyolan. Produsen besi beton seperti PT Krakatau Steel malah berharap bisa menghasilkan bahan baku itu sebanyak-banyaknya memasuki 1986 ini. Tahun lalu, dari delapan jenis produksi baja sebesar 2,5 juta ton, persero ini bisa mengekspor 116 ribu ton senilai US$ 32 juta. Padahal, sebelumnya, dari produksi 1,75 juta ton, ekspornya baru 25 ribu ton. Tahun ini, sasaran ekspornya US$ 50 juta. "Saya yakin sasaran itu bisa tercapai, sebab produk kita bersaing," kata T. Ariwibowo, Dirut KS. Pasar Jepang kini terbuka lebar, gara-gara mata uang yen menguat terhadap dolar. Sekarang setiap pembeli di Jepang hanya perlu mengeluarkan 199 yen untuk memperoleh satu dolar Amerika - sementara Mei 1985 lalu, mereka harus mengeluarkan 259 yen. Karena itu, harga besi beton KS jadi murah di Jepang. Kalau pemerintah memperkecil anggaran? "Mudah saja: kami tinggal melemparnya ke pasar ekspor," katanya. Mungkin tidak banyak sektor usaha yang bisa memanfaatkan perubahan moneter di luar negeri itu untuk menangkis penciutan pembangunan di dalam negeri. Yang sudah pasti, pada tahun fiskal mendatang itu, akan banyak pihak berkorban demi menjaga pengeluaran rutin untuk gaji pegawai negeri, belanja barang, dan cicilan utang luar negeri tidak berkurang. Bahkan, untuk 1986-87 kelak, pengeluaran rutin itu berjumlah Rp 13.125,6 milyar, atau Rp 726 milyar (5,9%) di atas sasaran tahun sekarang. Memang pemerintah sudah berusaha mengurangi belanja barang dan susidi BBM, tapi menunda cicilan utang yang untuk 1986-87 berjumlah Rp 4.223,2 milyar, atau naik Rp 664,1 milyar di atas yang sekarang, tidak bisa dilakukannya. Sumbangan cukup besar dari pengeluaran rutin kali ini akan berasal dari pos pengeluaran baru yang bernama Pembiayaan Cadangan Pangan. Dananya disediakan Rp 417,4 milyar. Pos baru ini nongol gara-gara produksi beras naik di luar perkiraan, dari 25,8 juta ton di 1984 jadi 26,3 juta ton tahun lalu. Mestinya, dengan surplus beras itu, pemerintah memperoleh penghasilan. Tapi, apa lacur, Bulog tak bisa menjual persediaannya karena harga beras dunia jatuh, sementara beras petani tetap antre masuk gudang-gudangnya. Stok beras dan gabah Bulog sekarang 3,5 juta ton, yang hampir seluruhnya dibiayai dengan kredit Bank Rakyat Indonesia Rp 1,9 trilyun, dengan bunga 6%. Dari stok sebesar itu, persediaan beras untuk ABRI dan pegawai negeri 1.5 juta ton masih bisa dikelola tanpa merugi. Sisanya, 2 juta ton, yang harus tetap dipelihara sebagai stok surplus (1 juta ton) dan iron stock (1 juta ton), ternyata cukup mahal biayanya karena tiap bulan Bulog harus membayar bunganya Rp 6 milyar. Belum termasuk sewa gudang. "Kalau toh Bulog mendapat pinjaman tanpa bunga, maka sewa gudang dan perawatan harus tetap dibayar," kata Kepala Bulog Bustanil Arifin kepada wartawan TEMPO Suhardjo Hs. Sementara stok tidak berputar, Bulog diwajibkan terus membeli beras petani. "Kalau Bulog beli beras dengan kredit terus, bisa payah," katanya. Karena itulah sebagian pembelian untuk cadangan pangan itu akan dilakukan dengan dana APBN yang tanpa bunga itu. Dengan cara begitu, biaya dana Bulog bisa ditekan, sekalipun akibatnya kurang mengenakkan karena mendongkrak pengeluaran rutin. Untuk mengurangi tekanan terhadap RAPBN itu, Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro, guru besar sosiologi pedesaan IPB, menganjurkan agar pemerintah menciptakan proyek padat karya di daerah yang belum mampu swasembada dengan memberi imbalan beras. Atau mengaktifkan lumbung-lumbung desa di samping KUD. "Tapi kalau ingin gudang cepat kosong, sumbangkan saja berasnya ke Afrika," katanya setengah berseloroh. Di tengah situasi sulit menekan pengeluaran rutin itu, banvak pihak kemudian menyarankan agar pemerintah mau membiayai pembangunan dengan mencetak uang baru. Artinya, anggaran berimbang, yang dianut sejak Orde Baru, diubah menjadi anggaran dengan pembiayaan defisit seperti dianut pemerintah Amerika sekarang. "Bisa saja anggaran defisit dilakukan asal untuk investasi jangka panjang, aman," kata Willem A. Van den Wall Bake, Wakil Presiden Morgan Guaranty Truse Bank di Jakarta. Yang menyulitkan, pencetakan uang baru itu akan mendorong naiknya permintaan devisa. Situasi jadi tidak klop dengan beleid pemerintah mengendalikan pemakaian devisa mengingat harga minyak masih tidak menentu. Salah menggunakan uang, bukan mustahil, defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran bisa meledak, dan cadangan devisa bisa terkuras pula. Yang dikhawatirkan pemerintah, seperti disebut Prof. Arsjad Anwar, sekali disiplin anggaran dilanggar, maka untuk seterusnya akan kendur. "Inflasi akan meroket seperti sebelum Orde Baru," katanya. Mahal harganya. Jadi, untuk sementara, tetap kencangkan ikat pinggang: ramping itu sehat. Edi Herwanto Laporan biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini