Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Giliran Hankam Digugat Naro

H.j. naro menggugat hankam untuk menguasai kembali tanah miliknya di kampung sawah jakarta. riwayat tanah itu sarat perkara. masih ada lagi yang mengaku memiliki. tanah tersebut semula milik nu.

2 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUAT bekas bos Partai Persatuan Pembangunan (PPP), H. John Naro, 60 tahun, urusan tanah ternyata sama "beratnya" dengan soal kursi Ketua Umum PPP. Coba saja. kendati sudah mengupayakan segala cara, Naro tak kunjung bisa bali tanah miliknya seluas 2,6 ha di Kampung Sawah, Kelurahan Palmerah, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Padahal, Wakil Ketua DPR/MPR yang mantan calon wapres itu sudah mengantungi sertifikat HGB untuk tanah itu sejak 25 Juli 1979. Tanah perkara itu memang strategis, terletak di sudut persimpangan jalan tol Jakarta-Tangerang-Merak dengan Jalan Letjen. S. Parman. Hingga kini, di lokasi itu tampak permukiman setingkat RW, dengan sekitar 800 rumah milik 1.500 kepala keluarga (kk). Menurut Naro, mereka ini cuma berstatus penggarap, yang tak mau juga meninggalkan tanahnya. Memang, Naro pernah memperkarakan tujuh orang -- yang dianggap sebagai ketua kelompok penggarap -- itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Mereka dituding telah menyerobot tanahnya dan menguasai tanah itu secara tidak sah. Tapi, pada April lalu, tuduhan ini ditolak Hakim Marly Ilyas, yang menganggap dakwaan jaksa kabur dan batal demi hukum. Toh Naro belum putus asa. Pekan-pekan ini, melalui Pengacara Gunadi Ramelan di pengadilan yang sama, Naro menggugat Departemen Pertahanan dan Keamanan c.q. Oditurat Jenderal Tinggi ABRI dan ahli waris almarhum Letkol. (Pol.) Markono Tisnawidjaja. Pasalnya, dalam kasus korupsi dengan terdakwa Markono, tanah -- yang dibeli Markono dari uang hasil korupsi -- itu disita Oditur ABRI. Setelah itu, 21 Mei 1985, Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa tanah itu dirampas untuk negara. Rupa-rupanya Naro menganggap, gara-gara kedua tergugat, rencananya membangun hotel berbintang lima "Crown Plaza" di atas tanah itu berantakan. Karena tanah itu disita negara, calon investor yang akan membangun hotel itu -- kini mundur. Padahal Naro mencanangkan, pada awal 1992 hotel berkamar 254 dan bernilai sekitar Rp 116 milyar itu sudah berdiri. Sebab itu, dalam gugatan yang dibacakan Gunadi Ramelan pada Rabu pekan lalu, Naro menuntut agar pengadilan membatalkan keputusan MA itu. Ia juga menuntut ganti rugi Rp 5 milyar secara tanggung renteng dari para tergugat. Baik Oditurat Jenderal Tinggi maupun ahli waris Markono tak bersedia mengomentari kasus itu. Tapi beberapa sumber TEMPO tak habis pikir terhadap tuntutan Naro atas tanah itu. "Merupakan kejanggalan, kenapa Naro dapat memperoleh sertifikat HGB itu, padahal sejak 1975 tanah itu sudah disita oditur ABRI?" kata sumber itu. Kecuali itu, pada Januari lalu, masih menurut sumber di atas, sebetulnya Naro sudah mengajukan bantahan (verzet) terhadap putusan MA tadi. Ternyata, pengadilan menolak verzet itu. Dalam keputusan ini, Naro dianggap seperti juga 1.500 kk itu, sama-sama berstatus penggarap. Di luar semua itu, ternyata riwayat tanah Naro sendiri cukup ruwet. Tanah itu, yang semula rawa dan berasal dari eigendom (hak milik Barat), sebetulnya bagian dari tanah seluas 9,6 ha di lokasi yang sama. Pada 1966, tanah itu dihibahkan Bung Karno kepada Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PB NU) -- untuk dibangun gedung Universitas NU. Entah kenapa, belakangan, sebagian tanah itu -- yang diakui milik Naro -- beralih terus ke pihak lain. Seseorang bernama Eddy Tandyowidjojo, misalnya, membeli tanah itu pada 1971 dari Ketua PB NU Kiai Achmad Sjaichu. Herannya, Almarhum Markono juga membeli tanah yang sama dari Ketua PB NU berikutnya, Kiai Idham Chalid. Bahkan Naro pun membeli tanah itu dari Idham Chalid -- tapi Naro, konon, tak pernah membereskan pembayarannya. Ketua PB NU Abdurrahman Wahid mengaku tak tahu-menahu kasus tanah itu. " Itu kan terjadi di masa kepengurusan yang lalu-lalu," ujar Gus Dur. Hanya saja, Wakil Sekjen PB NU Musthafa Zuhad menyatakan bahwa pihaknya akan merapatkan masalah tersebut pada Juni nanti. "Kami akan menginventarisir: mana tanah yang memang sudah dibeli sah, mana yang bisa diambil kembali. Bagaimanapun, tanah itu kan milik organisasi," kata Musthafa. Happy S., Tommy Tamtomo, Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus