INI memang bukan sembarang sulap. Bayangkan, uang tunai Rp 51,1 juta bisa susut menjadi Rp 4,29 juta -- sisanya berubah menjadi tumpukan kertas tersusun rapi. Karena yang disulap itu barang bukti, kasus ini, Senin pekan lalu, terpaksa disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Si penyulap, tuduh Jaksa Iswahyudi, tak lain dari bekas bendahara rutin Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sendiri, Rahmat Hasan, 47 tahun. Bersama Jaksa Maringan Siagian, tuduh Iswahyudi, Rahmat menggelapkan uang bukti Rp 46,84 juta. "Penyulapan" barang bukti itu terungkap dalam kasus judi liar A Luk dan kawan-kawan di restoran Eka Ria, Jalan Batuceper. Pada persidangan, Mei 1989, jaksa mengajukan barang bukti berupa uang, yang terdiri dari lima bundel dan uang asing, US$ 4.750. Ketika bundel bukti, yang bersegel Kejaksaan Tinggi DKI itu. dibuka penuntut umum Jaksa Oldy Wotulo, majelis hakim terperanjat. Ternyata, setiap ikatan hanya lapisan teratas dan terbawah saja yang benar-benar uang sepuluh ribuan, berjumlah Rp 4,29 juta. Selebihnya, hanya potongan kertas HVS. Cuma uang dolar yang masih utuh. Kejaksaan Tinggi Jakarta dalam waktu singkat mengusut kasus yang memalukan itu. Tiga orang Jaksa yang menangani perkara A Luk dan rekan-rekannya, yaitu Jaksa Maringan Siagian Suriansyah, dan Oldy -- dengan barang bukti sama -- diperiksa. Selain itu diseret juga Rahmat dan seorang pesuruh bernama Djaenun. Buntutnya, Rahmat dan Maringan -- sebelumnya sudah punya catatan buruk Juni tahun lalu dipecat Jaksa Agung Sukarton dan bahkan diseret ke pengadilan. Sedangkan jaksa yang lain, Oldy dan Suriansyah, dianggap "bersih". Begitu juga Djaenun. Ternyata, persidangan Rahmat didahulukan daripada Maringan. "Itu memang strategi untuk mengungkapkan peranan Maringan," kata sumber di kejaksaan. Maringan akan diajukan dalam sidang tersendiri. Menurut dakwaan Iswahyudi, Rahmat diserahi tanggung jawab menyimpan barang bukti uang tunai perjudian yang dibungkus dan disegel, 3 Maret 1988. Setelah itulah barang bukti itu beberapa kali keluar dari brankas atas permintaan Maringan Siagian. Pertama, 24 Maret 1988, uang itu dipinjam oleh Maringan untuk keperluan penuntutan."Ternyata, Maringan meminjamnya berhari-hari," tuduh Iswahyudi. Parahnya, peminjaman itu tanpa diikuti prosedur sebagaimana mestinya. "Tanpa tanda penerimaan dan peminjaman barang bukti." Pada Mei dan Juni, uang itu kembali dipinjam Maringan. Hanya, saja kali ini, melalui tangan Djaenun. "Peminjaman ini berlangsung selama dua bulan dan ternyata tidak digunakan untuk keperluan persidangan," ujar Jaksa Iswahyudi. Waktu bungkusan itu dikembalikan, tanpa mengecek lagi, Rahmat langsung memasukkan kembali ke dalam brankas. Anehnya, pada awal Agustus, Maringan yang sudah tidak lagi menangani kasus judi itu, mau meminjam lagi. Alasannya kali ini karena barang bukti itu telah berkurang Rp 20 juta, dan "Maringan berjanji untuk melengkapinya." Sebetulnya ketika itu, kata jaksa, Rahmat sudah mengetahui ada yang tidak beres. "Warna kertas bungkusannya telah berubah dan laknya tidak bersegel Kejati DKI," katanya. Tapi itulah, Rahmat yang sudah 25 tahun mengabdi untuk kejaksaan -- tidak melaporkan kejanggalan itu kepada atasannya. Malah ia melepaskan lagi barang bukti itu. Pada 7 Agustus, bungkusan itu dikembalikan Maringan, sambil mengatakan bahwa jumlah uang bukti itu telah lengkap Janggalnya, tanpa berusaha mengecek Rahmat langsung menyimpan kembali semuanya dalam brankas. "Padahal, Rahmat mengetahui kemungkinan isi barang bukti itu telah berubah dan sebagian uang yang ada di dalamnya telah hilang atau berkurang sewaktu di tangan Maringan," kata jaksa. Konon, Rahmat memang tak berani mempersoalkan Maringan karena Rahmat pernah menjadi perantara pamannya untuk meminjam uang Rp 7 juta dari Maringan. Dan, sampai akhir 1987 sang paman belum melunasi utangnya. Raibnya barang bukti itu akhirnya terbongkar di depan umum di persidangan A Luk yang dipimpin Hakim Soengkono. "Hilangnya barang bukti itu terjadi selama barang bukti berada di bawah kekuasaan dan tanggung jawab terdakwa Rahmat asan," begitu dakwaan jaksa. Rahmat sendiri menganggap pinjam-meminjam barang bukti itu sudah lazim terjadi di kejaksaan. "Jaksa selalu bilang untuk keperluan sidang. Tapi kan bukan tugas saya mengecek langsung. Kerjaan rutin saya kan banyak," kata Rahmat. Bahkan baginya tak ada masalah apakah jaksa mengembalikan barang bukti atau tidak. "Karena itu kan tanggung jawab jaksa sepenuhnya," tambah Rahmat, di rumahnya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Bapak enam anak yang mengaku kerja sampingan sebagai makelar tanah itu mengaku tak berani menegur Maringan. "Dia itu kan termasuk atasan saya," katanya. Ia juga merasa tak berhak mengecek kebenaran isi barang bukti itu. "Saya cuma lihat dari luar saja, ada segel dan labelnya. Kalau sudah disegel, mana saya berani buka?" ujar Rahmat. Namun, Maringan -- yang telah bekerja di kejaksaan selama 18 tahun -- membantah semuanya. "Saya tidak pernah meminjam barang bukti kepada Rahmat," kata bapak dua anak itu ketika diperiksa polisi. Pembela Rahmat, Mauliate Situmeang, menganggap, "Dakwaan jaksa itu kabur." Alasannya, tuduhan itu dikaitkan dengan jabatan Rahmat. Padahal, menurut Mauliate, penitipan bukti tak termasuk uraian tugas bendahara kejaksaan itu. Karena itu, Rahmat tidak terlalu berkonsentrasi pada barang bukti itu. Maka, pengambalian penitipan itu bisa tanpa atau dengan tanda terima. "Terkadang malah jaksanya mengambil sendiri barang bukti," ujar Mauliate. Anehnya, menurut Mauliate, dalam KUHAP sudah diatur perihal rumah penyimpanan benda sitaan negara (rupbasan), kenyataannya tidak ada. "Sehingga, barang bukti sering tak punya tempat yang aman," katanya. Lha, kalau di kantor kejaksaan saja barang bukti itu tak aman, apalagi di tempat lain. Bunga S. dan Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini