MELINTASI bekas puncak gedung Istana Plaza, pesawat DC10 Garuda, yang membawa 354 orang jemaah haji kelompok terbang (kloter) pertama, pekan lalu, mendarat dengan mulus di Pelabuhan Udara Polonia Medan. Sebelum meninggalkan pesawat rombongan baru itu sempat memanjatkan doa syukur atas keselamatan mereka di perjalanan. Selain gembira bertemu kembali dengan keluarga, jemaah haji itu pantas bersyukur karena tidak perlu lagi melalui Halim Perdanakusuma, Jakarta, seperti ketika bertolak Juli lalu. Gedung berlantai 4 setinggi 23,5 meter, Istana Plaza, yang semula dianggap membahayakan penerbangan pesawat berbadan besar, kini sudah dipotong menjadi hanya 13,9 meter. Tapi di balik puji syukur jemaah itu, sebanyak 23 orang pedagang yang menyewa kios di Istana Plaza yang menjadi korban pemotongan, tentu saja masygul. Apalagi pemilik Istana Plaza, Direktur PT Sukaraja Indah, Elson. Sebab itu, pekan-pekan ini, ke-23 pedagang yang merasa dirugikan tadi menuntut Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perhubungan agar membayar ganti rugi sebesar hampir Rp 10 milyar. Kedua instansi itu mereka anggap telah mengeluarkan serangkaian keputusan yang bertentangan sehingga usaha mereka hancur. Keputusan kedua instansi itu memang membingungkan. Semula Istana Plaza yang dibangun dengan biaya Rp 5 milyar sudah mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Wali Kota Medan. Adpel Polonia pun telah memberikan toleransi ketinggian gedung itu boleh mencapai 23,5 meter. Karena itu, tanpa gangguan apa pun, Wali Kota Medan Agus Salim Rangkuty meresmikan gedung itu sebagai salah satu pusat perbelanjaan untuk Kota Medan, tahun lalu. Tapi setelah pedagang-pedagang mulai menempati kiosnya, Kanwil Perhubungan Wilayah I Medan memprotes gedung itu karena dianggap mengganggu keselamatan penerbangan. Bahkan Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin sempat memperingatkan semua perusahaan penerbangan internasional agar berhati-hati bila menggunakan Polonia. Setelah itu menyusul perintah Mendagri agar Istana Plaza dipotong menjadi 15,14 meter. Tapi setelah itu, ketentuan pemenggalan yang juga dikeluarkan Kanwil Perhubungan membingungkan. Semula ditetapkan tinggi bangunan harus 14,37 meter, kemudian menjadi 15,836 meter, lalu diralat lagi menjadi 12,82 meter, dan seterusnya menjadi 12,93 meter, sebelum akhirnya disepakati kembali menjadi 15,836 meter. Setelah angka itu disetujui semua pihak, Pemda Kota Madya Medan dibantu anggota Zeni Tempur Kodam I memangkas Istana Plaza sesuai dengan jadwal, yang ditentukan Menteri Perhubungan, Juni lalu. Ternyata, setelah dipangkas, terjadi perbedaan penafsiran: Pemda melaksanakan pemotongan itu dengan ketinggian gedung dihitung dari permukaan jalan raya di samping gedung, sementara Menteri Perhubungan menghendaki dari permukaan pelataran parkir sedalam 1,9 meter di bawah jalan. Karena itu, Juli lalu, sesuai dengan ancaman Menteri Roesmin, jemaah haji terpaksa diberangkatkan melalui pelabuhan Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta. Karena itu, sejak Juli lalu, kembali 100 anggota Zeni Tempur Kodam I menggempur Istana Plaza. Hasilnya, awal Agustus lalu, Panglima Kodam I Bukit Barisan Ali Geno mengumumkan ketinggian gedung itu sudah menjadi 13,9 meter dari permukaan tanah. Dan jemaah haji bisa langsung pulang ke Medan, tanpa harus melalui Jakarta. Tapi akibatnya, kata Pengacara Muthalib Sembiring, pedagang yang menjadi kliennya dirugikan sekitar Rp 9 milyar. Sebab, kesemua klienya itu, telah telanjur menanam modal dengan membeli kios serta lantai-lantai di gedung itu dari harga Rp 18 juta sampai Rp 2,4 milyar. Kecuali kerugian ketika investasi gedung, kliennya juga menderita akibat pekerjaan pemotongan itu. "Tiap hari jumlah pembeli berkurang, padahal tiap pedagang itu rata-rata mempunyai omset sekitar Rp 4 juta, dan 10% dari itu adalah keuntungan," kata Muthalib. Kerugian-kerugian itu berantai akibatnya karena pengusaha-pengusaha tadi harus membayar pula gaji karyawan, bunga bank, dan utang kepada pedagang lain -- hingga setiap bulan pukul rata masing-masing rugi Rp 20 juta. Mahyudanil, yang menjadi kuasa pengusaha bioskop PT Istana Theater, yang menempati lantai IV gedung itu, hari menuntut ganti rugi Rp 860 juta. Menurut Mahyudanil, kliennya telanjur telah membayar Rp 320 juta dari harga lantai untuk bioskop senilai Rp 400 juta. Dan tentu saja akibat pemotongan itu, bioskop yang direncanakan klien Mahyudanil tinggal angan-angan. Gugatan kedua pengacara, yang sudah masuk beberapa waktu lalu itu, ternyata baru pertengahan Agustus ini bisa diperiksa majelis hakim yang menangani kasus itu. Sebab, kata ketua majelis Hasan G. Sahab, pihak Departemen Perhubungan sebagai tergugat sangat lama menentukan pengacara mereka sebelum akhirnya meminta kejaksaan membela kepentingan instansi itu. Barulah setelah kejaksaan menunjuk Panangin Silalahi, sebagai kuasa Menteri Perhubungan, persidangan bisa diteruskan. "Jaksa memang juga bertugas sebagai kuasa negara atau pemerintahan, tapi selama ini agak jarang instansi pemerintah memakai jaksa," kata Sahab. Yang menarik, pihak Departemen Dalam Negeri ternyata memilih pengacara swasta, Syarif Siregar sebagai kuasanya. Konon, seperti dikatakan sebuah sumber di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, pihak kejaksaan enggan membela Departemen Dalam Negeri. "Dari berkas yang ada, kami perkirakan Departemen Dalam Negeri akan kalah, padahal kejaksaan pada prinsipnya harus menang bila membela perkara. Buat apa menumpang kapal karam?" kata sumber itu. Tapi yang lebih aneh tentulah sikap pemilik Istana Plaza, Elson, yang sampai kini, walau masuk sebagai tergugat, tidak hendak menggugat kerugiannya kepada Instansi-instansi yang membuat gedungnya dipangkas. Ia, katanya, hanya mengharapkan bantuan pemerintah untuk merapikan kembali gedungnya yang sudah gundul itu. "Saya perlu biaya Rp 1 milyar," kata Elson yang menolak menjelaskan alasannya tidak mengajukan gugatan. Mungkin cara di luar peradilan lebih ampuh? Karni Ilyas Laporan Monaris Simangunsong (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini