DEWI keadilan rupanya sedang berpihhak kepada Nur Usman. Hukuman bekas pejabat Pertamina itu baru-baru ini diperingan Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 5 tahun penjara. Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Nur dengan hukuman 7 tahun penjara karena keterlibatannya dalam kasus pembunuhan anak tirinya Roy Bharya. Roy, 22, mahasiswa Universitas California, AS, diculik oleh Jhoni Ayal dan kawan-kawan di depan ayah kandungnya Mikhail Bharya di Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta, 10 Agustus 1984. Pada hari itu juga Roy dihabisi komplotan itu dengan tusukan senjata tajam. Penyidikan polisi, setelah berbulan-bulan lamanya, akhirnya mengarah ke Nur Usman, ayah tiri korban, sebagai orang di belakang kasus itu. Nur, yang memang sudah retak dengan ibu korban, Nyonya Thea Kirana, akhirnya diadili dan divonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti menyuruh Jhoni menganiaya anak tirinya. Tapi majelis hakim banding dipimpin Bambang Soemedhy bersama Nyonya Aslamiah Sulaiman dan Parman Soeparman menilai hukuman yang dijatuhkan dalam persidangan pertama itu terlalu berat buat Nur Usman. Karena dalam kasus itu Nur hanya menganjurkan agar Roy "diberi pelajaran" oleh Jhoni Ayal dan kawan-kawannya. PT juga yakin, terdakwa sama sekali tak menghendaki kematian Roy. Pun hakim percaya, Nur menyayangi anak tirinya, sehingga mau membiayai sekolahnya di negeri Paman Sam. Selain hal-hal yang dianggap meringankan itu, putusan PT juga bertolak pada kesimpulan Lokakarya Masalah Pemidanaan, yang diselenggarakan Munas VIII Ikahi Jakarta, tahun 1984, yang berbunyi: Dalam hal hakim menjatuhkan hukuman, maka yang diambil sebagai tolok ukur sebaiknya berkisar setengah dari ancaman hukuman terberat. Dalam pasal 351 KUHP memang disebutkan ancaman hukuman terberat 6 tahun bagi orang yang menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan, yang mengakibatkan orangnya mati. "Nur Usman memang terbukti bersalah, tapi vonis 7 tahun terlalu berat untuk peranan dia. Dalam menjatuhkan putusan, kita harus memperhatikan rasa keadilan," Hakim Anggota Parman Soeparman, S.H., menegaskan kepada TEMPO. Nur Usman memang belum perlu menjalani hukuman itu. Sebab, sebelum ketua majelis hakim, Oemar Sanusi, mengetukkan palunya, ayah enam anak ini sudah menghirup udara bebas, setelah beberapa bulan sempat mendekam di LP Salemba. Waktu itu, Nur Usman harus dibebaskan demi hukum karena masa penahanannya telah habis, walau masa sidangnya belum rampung. Persidangannya berlarut-larut karena tidak kurang dari 13 kali sidang ia tidak hadir dengan alasan sakit. Hakim terpaksa menunda sidang, karena dokter LP Salemba, Wunardi, yangmenangani Nur di tahanan, membenarkan pasiennya sakit. Tapi setelah majelis memerintahkan terdakwa diperiksa di RSCM dan RSPAD, Nur Usman ternyata sehat. Karena itu, kejaksaan menuduhnya sengaja memperlambat sidang, dan Menteri Kehakiman terpaksa membebastugaskan dokter Wunardi dari LP Salemba. Peradilan pun sempat dianggap "berbaik hati" kepada Nur. Sebab, ketika Nur terpaksa dilepaskan, Pengadilan Tinggi konon sempat berjanji akan menahan terdakwa sesampainya perkara di tingkat banding kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, ketika itu, Bob Nasution. Ternyata, janji itu tidak ditepati. Ketua Pengadilan Tinggi Bambang Soemedhy membenarkan janji itu. "Tapi itu 'kan perjanjian lisan, enggak resmi. Soal dilaksanakan atau tidak, itu tergantung masalahnya," kata Bambang Soemedhy sambil tertawa. Nur memang tak ditahan lagi, sebab PT menganggap hal itu tak perlu. "Pemeriksaan sudah tak perlu, semua sudah cukup. PT menganggap terdakwa tak akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti," sambung Parman pada kesempatan terpisah. Mengenai janji ini, Jaksa T. Simanjuntak, yang menuntut hukuman 20 tahun penjara, mengaku tak tahu-menahu. Karena itu, pihaknya tak pernah "menagih" janji itu kepada PT. Simanjuntak juga belum tahu apakah perkara ini akan berlanjut ke tingkat kasasi atau tidak. "Sebab, harus saya pelajari dulu pertimbangan PT yang meringankan vonis Nur Usman itu," kata Simanjuntak, yang juga mengaku belum menerima putusan itu. Akan halnya Nur Usman sendiri, meski hukumannya telah dikurangi 2 tahun, tetap tak bisa menerima hukuman 5 tahun itu. Bersama penasihat hukumnya, Minang Warman, ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. "Saya tak terima putusan itu, karena saya tak bersalah. Saya tak pernah menyuruh Jhoni Ayal menganiaya atau membunuh Roy. Saya percaya Mahkamah Agung akan menjatuhkan putusan seadil-adilnya," tutur Nur, yang mengaku kini rajin puasa Senin Kamis dan salat tahajud. Adalah Mikhail Bharya, ayah kandung Roy, yang paling berang mendengar vonis Nur Usman diperingan. Ahli jiwa ini amat kecewa dengan putusan PT itu. "Susah, deh, mengomentari vonis itu. Erlina Soekarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini