Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin, 3 April 2023. Keduanya didakwa telah melakukan pencemaran nama baik dan melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terhadap Menteri Koordinator Kemaririman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengatakan bahwa kasus Haris dan Fatia menambah panjang daftar kasus kriminalisasi berdalih pelanggaran UU ITE. "Pasal 27 ayat 3 UU ITE kerap digunakan untuk mengkriminalisasi mereka yang lantang berpendapat tanpa melihat melihat apakah memang ada usur penghinaan atau tidak," kata Fajri dalam diskusi yang diselenggarakan oleh STH Jentera Indonesia, Kamis, 6 April 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal, menurut Fajri, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, dan Kapolri telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang bertujuan untuk membatasi implementasi penggunaan 3 UU ITE. "Kalau berdasarkan sebuah studi dan memang ada pertanggungjawaban ilmiah, itu seharusnya tidak diloloskan atau dijerat menggunakan pasal 27 ayat 3 ini," kata Fajri
Dakwaan Haris dan Fatia menggunakan UU ITE, menurut Fajri, menandakan mundurnya komitmen untuk membatasi implementasi UU ITE. "Komitmennya sangat lemah dan bahkan perlu diragukan apakah ke depan komitmen ini akan terus berjalan", kata Fajri.
Padahal, menurut Fajri, ada kecenderungan untuk menghapus pasal 27 ayat 3 melalui KUHP baru. Fajri menyatakan KUHP baru memuat pasal 622 ayat 1 yang menghapus delik tersebut. "Dinyatakan tidak berlaku, walaupun di pasal 624 disebutkan kalau KUHP baru ini mulai berlaku setelah 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan," kata Fajri.
Fajri mendorong hakim untuk menggunakan interpretasi futuristik, yaitu metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif, yakni menjelaskan peraturan perundangan-undangan yang berlaku sekarang dengan berpedoman pada ketentuan perundangan-undangan yang akan datang. "Ketika hakim menggunakan interpretasi ini, harapannya adalah hakim bisa menyatakan dakwaan batal demi hukum, kata Fajri.
Fajri memandang masa transisi yang ada ke hari ini seharusnya digunakan untuk memperkuat komitmen bahwa sudah ada kesepakatan pencemaran nama baik di Pasal 27 ayat 3 itu sudah tidak seharusnya digunakan lagi. "Betapa pun ada potensi hukuman yang diberikan kepada terdakwa hari ini, itu bisa jadi melebihi keberlakuan dari KUHP baru 3 tahun mendatang," kata Fajri.
Pilihan Editor: Kriminalisasi Haris - Fatia, Dosen Fisipol UGM: Bukti Nyata Turunnya Kualitas Demokrasi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.