Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Yudisial melayangkan sepucuk surat ke Mahkamah Agung, 31 Oktober lalu. Isinya, menanyakan kelanjutan nasib rekomendasinya terhadap lima hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah Depok. ”Sudah terlalu lama belum ada tindak lanjut,” kata anggota Komisi Yudisial, Iraway Joenoes.
Dalam rekomendasi tersebut, Komisi meminta kepada MA agar ketua majelis hakim sengketa pemilihan kepala daerah Depok, Nana Juwana, diberhentikan sementara. Empat hakim lainnya, Hadi Lelana, Rata Kembaren, Sopyan Royan, dan Ginalita Silitonga, diberi teguran tertulis sebab kelimanya dinilai bertindak tidak profesional saat menganulir kemenangan Nurhamudi Ismail sebagai pemenang dalam pemilihan kepala daerah Depok.
Mahkamah Agung memang belum merespons rekomendasi itu. Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan beralasan, rekomendasi itu akan dibahas setelah majelis hakim peninjauan kembali memutuskan perkara sengketa pemilihannya. ”Kita utamakan perkara pokoknya, baru yang lain,” kata Bagir.
Komisi Yudisial, tentu saja, tak bisa memaksa Mahkamah Agung, sebab kewenangan Komisi Yudisial sebatas memberi rekomendasi; tidak lebih. Pasal 13 Undang-Undang Komisi Yudisial memang menyebut dengan tegas bahwa tugas Komisi adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Untuk melaksanakan tugas nomor dua, Komisi Yudisial hanya sebatas memberi rekomendasi. Sanksi yang bisa diberikan Komisi juga hanya satu yang bersifat mengikat, yaitu teguran tertulis. Dua sanksi lebih berat lainnya, ”pemberhentian sementara” dan ”pemberhentian”, itu terserah Mahkamah Agung. Inilah yang membuat Komisi merasa tak bergigi.
Menurut mantan Ketua Badan Legislasi DPR, Zain Badjeber, memang sebatas itulah kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Komisi. Mengenai soal sifat sanksi pemecatan yang tak mengikat, misalnya, menurut dia, mekanisme pemecatan hakim juga terikat pada Undang-Undang Kehakiman dan Undang-Undang Kepegawaian. ”Karena itulah, kewenangan pemecatan itu tetap di tangan Mahkamah Agung,” kata dia.
Komisi Yudisial menyadari kelemahan itu dan sudah berancang-ancang untuk mengajukan amendemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Selain soal obyek pemeriksaan yang diajukan untuk diamendemen, juga soal kewenangan mengeksekusi rekomendasi yang dihasilkan (lihat Kami Memulai dengan Komitmen Moral).
Mantan anggota Panitia Khusus Komisi Yudisial, Akil Mochtar, mengakui bahwa pembatasan kewenangan Komisi Yudisial ini untuk menghindari tumpang tindih dengan peran yang dimiliki Mahkamah Agung. Yang jadi soal kemudian adalah bagaimana jika ada perbedaan pendapat kedua lembaga tersebut? Menurut Akil, tentu suara Komisi Yudisial yang harus dipakai. Kalau rekomendasi itu diabaikan akan memperburuk citra Mahkamah Agung di masyarakat. ”Itu posisi yang harus dipikirkan juga oleh MA.” kata anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Akil Mochtar mempersilakan jika Komisi mengajukan perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial. ”Tapi mereka jalan dulu. Jangan sama dengan DPD, belum apa-apa minta kewenangan tambahan. Kerja dulu dengan kewenangan yang ada,” ucapnya.
Jalan menuju amendemen Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial agaknya masih panjang. Perdebatan untuk memberi otoritas kelembagaan institusi ini juga akan alot. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Dian Rositawati, mengatakan, undang-undang memang memberi kewenangan terbatas kepada Komisi Yudisial. Selain itu, kata dia, ini juga harus dipahami sebagai produk politik yang tentu saja penuh dengan tarik-menarik kepentingan. ”Pasti ada lobi-lobi juga di DPR dengan MA,” kata dia. Dari suasana perdebatan dalam pembahasan itu, ada kesan bahwa wewenang Komisi dibatasi agar tak terlalu jauh.
Apalagi kini muncul suara-suara yang menyatakan pelaksanaan kewenangan Komisi Yudisial dianggap telah melampaui undang-undang, terutama dalam rekomendasi mereka atas kasus pemilihan kepala daerah Depok. Sebelas hari setelah Komisi memberi rekomendasinya, Nana Juwana dan kawan-kawan secara terbuka menilai Komisi Yudisial telah melampaui kewenangannya. Mereka menilai Komisi memasuki substansi perkara yang bukan wewenangnya.
Protes senada disampaikan Ikatan Hakim Indonesia. Pernyataan sikap organisasi hakim ini disampaikan ketuanya, Abdul Kadir Mappong. Dalam pernyataan sikap 7 Oktober lalu, Pengurus Pusat Ikatan Hakim menilai Komisi telah melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang. ”Kita berharap tugas Komisi Yudisial tidak akan bersinggungan dengan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara,” kata Mappong.
Ikahi menghargai dan menjunjung tinggi kemandirian dan mendukung upaya pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial sesuai dengan undang-undang. Namun, kata Ikahi, tidak tertutup kemungkinan Komisi Yudisial dimanfaatkan pencari keadilan yang tidak puas terhadap putusan pengadilan untuk menempuh jalan pintas tanpa melalui upaya hukum.
Busyro Muqoddas menampik tudingan itu. Menurut dia, itu kekhawatiran yang berlebihan. ”Komisi Yudisial tidak akan menggantikan tugas pengadilan,” katanya. Kalaupun Komisi melihat putusan hakim, hal itu untuk menilai ada-tidaknya kejanggalan dalam produk yang dihasilkan.
Abdul Manan
Agar Komisi Tidak Ompong
OBYEK PEMERIKSAAN
Undang-Undang Komisi Yudisial: Pasal 22 menyebutkan, untuk melaksanakan tugas pengawasan, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim, meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim, melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim.
Rancangan usulan perubahan: Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk memeriksa elemen peradilan selain hakim, seperti panitera dan karyawan. Dalam kasus mafia peradilan, elemen selain hakim juga memiliki peran sehingga Komisi Yudisial perlu diberi kewenangan memeriksa.
KEWENANGAN
Undang-Undang Komisi Yudisial: Pasal 23 memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk memberi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran. Jenis sanksi meliputi teguran tertulis; pemberhentian sementara; atau pemberhentian. Usul penjatuhan sanksi teguran tertulis yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat. Untuk usulan sanksi ”pemberhentian sementara” dan atau ”pemberhentian” diserahkan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi.
Rancangan usulan perubahan: Komisi Yudisial meminta kewenangan untuk melaksanakan eksekusi. Jika kewenangannya hanya mengusulkan, bisa saja rekomendasi itu diabaikan.
Sumber: diolah dari UU Komisi Yudisial dan wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo