Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA puluh satu petugas mengenakan rompi krem bersama empat pegawai teknologi informasi datang ke kantor Mahkamah Agung. Para penyidik KPK itu, Kamis 27 Oktober lalu, turun dari lima mobil Toyota Kijang sembari membawa tas koper, kantong plastik, dan kotak kardus. Seusai menyerahkan surat penggeledahan, mereka menyebar ke berbagai penjuru.
Sejumlah dokumen ditelisik dan digandakan (dikopi), termasuk data di hard disk komputer. Ruang kerja Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan beserta dua hakim agung yang menangani kasus Probosutedjo, Parman Soeparman dan Usman Karim, menjadi sasaran penggeledahan. Di sini para penyidik KPK juga memfotokopi pendapat hukum para hakim agung (adviesblad).
Pengacara senior Adnan Buyung Nasution menyambut positif penggeledahan ini. ”Ini dahsyat dampaknya. Itu berarti MA bukan kebal hukum,” kata Buyung. Dia mendukung niat baik Bagir Manan yang memberikan akses seluas-luasnya kepada KPK untuk membongkar kasus mafia peradilan di benteng terakhir pencari keadilan tersebut. Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, menyatakan pihaknya sudah memperhitungkan risiko yang bakal muncul dari tindakan KPK ini. ”Kami mempunyai alasan kuat untuk itu. Tapi maaf, saya tak akan menjelaskannya,” ujarnya.
Tak semua mengacungkan jempol, memang, terhadap langkah KPK itu. Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) menilai penggeledahan ini melanggar hukum karena tak mengindahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. ”Dalam Pasal 33 KUHAP disebutkan bahwa penggeledahan harus seizin ketua pengadilan negeri setempat,” kata Ketua Ikahi, Abdul Kadir Mappong.
Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Advokat Indonesia Cabang Yogyakarta, Kamal Firdaus, berpendapat sama. Izin dari pengadilan memang bisa menyusul. ”Kalau ternyata pengadilan negeri tak mengizinkan? Berarti KPK kan melawan hukum,” kata dia. Yang lebih berbahaya, kata Kamal, terobosan KPK ini akan menyulitkan pembongkaran mafia peradilan jika kelak cara ini menjadi preseden.
Tapi dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, mempunyai pendapat berbeda. Menurut dia, penggeledahan itu merupakan kewenangan KPK yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. ”Penggeledahan serupa juga pernah dilakukan di KPU, dan itu tak masalah,” katanya.
Kalaupun ini dipersoalkan, kata Denny, itu karena bersinggungan dengan prinsip independensi hakim dan kerahasiaan pendapat hakim. Dua soal ini pun, ujarnya, bukan sesuatu yang tak bisa digugat. Independensi bisa diterobos jika tak diimbangi dengan akuntabilitas. Begitu juga dengan kerahasiaan adviesblad. ”Ini kan sama dengan kerahasiaan bank, yang bisa dibuka KPK jika ditemukan ada indikasi korupsi,” kata Denny.
Direktur Indonesian Court Monitoring ini setuju adanya kepatuhan pada prosedur. Hanya, kata Denny, ”Jangan terbelenggu olehnya.” Dalam banyak kasus, kata Denny, prosedur inilah yang kerap menghambat percepatan pembongkaran kasus korupsi atau mafia peradilan. ”Prosedur memang penting, tapi yang lebih penting esensi,” ia menandaskan. Khusus reaksi keras Ikahi, Deny punya pandangan tersendiri. Menurut dia, komunitas hakim itu merupakan pemain mayoritas mafia peradilan. ”Sehingga komentarnya untuk mengamankan posisinya sebagai pemain,” katanya.
A. Manan, Thoso P., Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo