Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Maaf Berbalas Label Tersangka

Polisi menjerat Pemimpin Redaksi The Jakarta Post dengan pasal penghinaan agama. Dewan Pers berpendapat kasus pemuatan kartun ISIS itu sudah selesai di forum kode etik.

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat panggilan itu mengejutkan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Sur­yodiningrat. Berkop Kepolisian Daerah Metro Jaya, layang tersebut diterima Meidyatama setelah memimpin rapat, Selasa dua pekan lalu. Isinya: meminta Meidyatama menghadap penyidik polisi. Di situ ditetapkan pula statusnya, yakni tersangka. "Saya langsung bilang, 'Kok bisa begini?'" ujar Meidyatama menceritakan kembali kekagetannya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Polisi menjadikan Dimas—sapaan Meidyatama—sebagai tersangka dalam kasus penghinaan agama. Penyebabnya: pemuatan karikatur tentang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di harian berbahasa Inggris itu pada 3 Juli lalu. Dua hari setelah pemuatan kartun tersebut, juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, mengumumkan status Dimas. Menurut Rikwanto, Meidyatama dijerat dengan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman "pasal penista agama" tersebut maksimal hukuman lima tahun penjara.

Keterkejutan Dimas dua pekan lalu bukan tanpa alasan. Sebelumnya, dia mengira kasus ini sudah selesai setelah Dewan Pers menyatakan pemuatan karikatur itu melanggar kode etik jurnalistik pada 16 Juli lalu. Sebelum "diadili" Dewan Pers, pada 7 dan 8 Juli lalu, The Jakarta Post meminta maaf secara terbuka di situs dan koran cetak mereka.

Dimas terakhir kali "berurusan" dengan polisi dalam kasus ini tiga bulan lalu. Waktu itu penyidik Polda meminta keterangan Dimas sebagai saksi. "Awalnya saya sudah tenang karena tiga bulan tidak ada kabar," katanya.

Reaksi atas penetapan Dimas sebagai tersangka pun bermunculan. Anggota Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, menyebutkan polisi salah langkah karena tidak menerapkan Undang-Undang Pers. Menurut Yosep, Pasal 8 Undang-Undang Pers menyatakan, dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.

Yosep juga menunjuk adanya nota kesepahaman antara Dewan Pers dan polisi pada 2012. Nota itu membahas koordinasi penegakan hukum dan perlindungan kemerdekaan pers. Dalam pasal 3 nota kesepahaman itu tertulis: Dewan Pers akan menyelesaikan sengketa melalui pemeriksaan kode etik jurnalistik jika ada laporan terkait dengan dugaan pelanggaran kode etik. "Penyelesaian kode etik itu bersifat final dan tak bisa dibawa lagi ke ranah pidana," ujar Stanley—sapaan Yosep.

Menurut Stanley, Dewan Pers sudah mengirimkan surat ke Markas Besar Kepolisian RI pada Juli lalu. Surat tersebut menyatakan kasus The Jakarta Post sudah selesai dengan adanya penilaian Dewan Pers dan permohonan maaf dari media itu. Untuk menegaskan pandangannya, Dewan Pers pun sudah mengirimkan saksi ahli ke Polda Metro Jaya pada September lalu. "Kami juga kaget begitu tahu kasusnya masih berlanjut," ucap Stanley.

l l l

Kasus yang "membelit" Dimas bermula dari pemuatan kartun di The Jakarta Post pada 3 Juli lalu. Kartun itu bergambar lima orang dengan mata tertutup kain hitam berlutut di sebuah gurun pasir. Bertetes keringat, mereka seperti pasrah di bawah todongan senjata tentara bersorban.

Karikatur itu juga menggambarkan seorang tentara bersorban lainnya sibuk mengerek bendera hitam bergambar tengkorak dengan tulisan—dalam bahasa Arab—"Allah, Rasul, dan Muhammad" di bagian mulutnya. Lafal "La Ilaha illallah" terletak di atas tengkorak dengan dua tulang bersilang khas bajak laut.

Menurut Dimas, kartun itu merupakan gambaran kekejaman sekelompok orang yang menggunakan simbol agama sebagai pembenaran. Karikatur itu mengkritik gerakan ISIS.

Bendera yang ditampilkan memang mirip dengan bendera milik ISIS. Hanya, dalam bendera ISIS tak ada gambar tengkorak. Yang ada hanya sebuah bulatan putih-hitam. "Tengkorak itu hanya untuk menunjukkan bahwa ISIS sebenarnya penjahat," kata Dimas.

The Jakarta Post bukan media pertama yang menerbitkan karikatur itu. Sebelumnya, karikatur yang sama diterbitkan media berbahasa Arab di Palestina, Al-Quds, dan media di Korea Selatan, The Korean Times. "Tidak ada niat kami menghina umat Islam secara menyeluruh," ucap Dimas, lulusan Universitas Dalhousie, Halifax, Kanada.

Penerbitan kartun itu pun awalnya tak langsung menimbulkan reaksi. Saat itu, redaksi The Jakarta Post justru lebih disibukkan oleh reaksi atas tajuk mereka yang mendeklarasikan dukungan media ini kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tajuk tersebut terbit sehari setelah kartun itu muncul.

Reaksi terhadap kartun itu baru muncul empat hari kemudian, bertepatan dengan permintaan maaf dan penarikan kartun yang muncul di situs web The Jakarta Post. Keesokan harinya, The Jakarta Post pun menerbitkan pernyataan yang sama di korannya.

Pada hari yang sama, dua kelompok organisasi kemasyarakatan Islam menyambangi kantor redaksi The Jakarta Post di kawasan Palmerah, Jakarta. Kelompok itu dipimpin Edy Mulyadi dari Korps Muballigh Jakarta, yang mengajak serta delapan rekannya dari Jamaah Ansharut Tauhid.

Dalam pertemuan yang berjalan damai itu, Dimas kembali menyatakan permintaan maaf. Rupanya, Edy dan kawan-kawan tak menerima permohonan maaf yang disampaikan Dimas.

Sebaliknya, Edy malah mengancam akan melaporkan The Jakarta Post ke polisi. Alasannya, dia tidak percaya pihak The Jakarta Post tak memiliki kesengajaan untuk menghina umat Islam. Mantan wartawan yang banting setir menjadi mubalig sekaligus konsultan komunikasi itu langsung melaporkan The Jakarta Post ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri pada 15 Juli lalu. Edy dan kawan-kawan tak mengadukan lebih dulu kasus itu ke Dewan Pers.

Meski sudah menerima surat dari Dewan Pers soal penyelesaian kasus ini, pada 7 Agustus lalu, Mabes Polri justru melimpahkannya ke Polda Metro Jaya. Pelimpahan itu hanya tiga hari setelah pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan paham ISIS dilarang berkembang di Indonesia.

Kepala Biro Penerangan Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan perkara itu "lolos" dan menggelinding ke Polda Metro karena masalah teknis di lingkup internal kepolisian. Menurut Boy, secara internal, laporan itu ditangani Biro Operasional Bareskrim. Biro itulah yang kemudian memutuskan apakah sebuah kasus akan ditangani Bareskrim langsung atau dilimpahkan ke kepolisian daerah. "Mungkin di antara kami ada yang lupa soal MOU antara Polri dan Dewan Pers," ujar Boy kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Boy menambahkan, Markas Besar Polri akan berupaya agar penyidikan kasus itu dihentikan. Namun, sebelum itu, Polri akan kembali meminta pendapat ke Dewan Pers. "Setelah ada pendapat dari Dewan Pers, akan kami pertimbangkan untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan," tutur Boy, yang pekan lalu diangkat sebagai Kepala Polda Banten.

Dari markas Polda Metro Jaya, juru bicaranya, Rikwanto, menyatakan pihaknya akan mengupayakan dulu perdamaian antara The Jakarta Post dan Edy Mulyadi. Polda, kata dia, akan meminta Dewan Pers menjadi perantara perdamaian itu. "Jika pada akhirnya tidak ada tuntutan, akan kami hargai," ujar Rikwanto.

Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus