PERSIDANGAN kasus Hotel Chitra di Pengadilan Negeri Jakarta Barat hingga Sabtu pekan lalu tetap dipadati pengunjung. Sebabnya jelas karena yang duduk di kursi terdakwa tak lain dari pengacara populer, O.C. Kaligis, istri bekas Wagub DKI Nyonya Rhumanahwaty Manap, dua dosen senior FH UI, Luay Abdurachman, Azhary, serta seorang eksekutif hotel itu, Anas Mappe Siri. Kelima tersangka dituduh, pada 25 Juni 1986, telah mengambil alih pengurusan dan pengelolaan Hotel Chitra, secara paksa dari pemiliknya yang sah, Rahmat Sadeli. Sementara itu, para terdakwa bersikeras menganggap pengambilalihan itu sesuai dengan ketentuan AD PT Ayu Kumala Lestan (AKL) -- persero yang mengelola Chitra -- dan ditempuh melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) (TEMPO, 14 Juli 1990). Persoalannya memang siapa pemilik sebenarnya hotel yang berada di kawasan perdagangan Glodok, Jakarta Barat, itu. Sayangnya, sengketa perdata antara Rahmat Sadeli alias Lie Kwe Siang dan bekas Wagub DKI Jakarta, Asmawi Manaf, sampai kini belum tuntas. Di tingkat pertama, pada September 1987, perkara perdatanya dimenangkan Rahmat. Tapi di tingkat banding, pada April 1988, Asmawi yang menang. Kini perkaranya masih diproses Mahkamah Agung. Untuk pertama kalinya, setelah kasus itu berjalan empat tahun lebih, Asmawi Manaf -- yang anak tuan tanah Betawi, Abdul Manaf, didampingi istrinya Rhumanahwaty beserta empat tersangka lainnya dan tim pengacaranya, Jumat malam pekan lalu, menjelaskan masalah itu khusus kepada TEMPO. Berikut ini rangkuman wawancaranya: Saya mengenal Lie, sejak 1976, sewaktu saya menjadi anggota DPR. Ketika itu Rahmat ingin kerja sama membangun perkantoran di atas tanah saya di Jalan Batu Tulis, Jakarta. Saya setuju bahkan menguruskan pembangunan dan pengelolaan perkantoran itu. Belakangan hubungan saya dengan Lie semakin dekat. Bahkan, saya sudah menganggap Lie sebagai saudara. Ia bisa berhari-hari tinggal di rumah saya. Bahkan ketika ia diadukan seseorang karena dituduh menjalankan bank gelap, saya terpaksa menolong sehingga perkaranya di Polda Metro Jaya tak diteruskan. Setelah saya diangkat menjadi wagub, Januari 1979, Lie menawarkan kerja sama membangun hotel. Katanya, ada tanah murah seharga Rp 100 juta di daerah Kota, dengan Losmen Nantien di atasnya. Kami sepakat membelinya. Hanya saja, karena saya sudah punya lima sertifikat tanah, maka sertifikat tanah itu diatasnamakan Lie. Selama pembangunan hotel, saya dengan dia sama-sama keluar uang. Proporsinya 50:50. Kalau ada pengeluaran Rp 50 juta: saya Rp 25 juta, dia Rp 25 juta. Untuk modal kerja, saya terpaksa minta bantuan Pak Omar Abdalla sehingga kami mendapat kredit dari BBD sebesar Rp 600 juta. Kemudian kami dirikan badan hukum yang akan mengelola hotel itu, yakni PT AKL. Komposisi sahamnya: saya 50% dan Lie 50%. Masing-masing sudah setor Rp 50 juta. Waktu itu, Pemerintah menghendaki agar saham pribumi lebih dari 50%. Maka, saham saya dan saham Lie masing-masing dijual 2% kepada Luay. Untuk membeli saham itu, Luay, yang pegawai negeri, sampai menjual mobil. Karena kesibukan saya sebagai pejabat, pengurusan hotel itu saya percayakan kepada Lie. Semula ia melaporkan hotel itu untung. Tapi pada akhir 1983, ketika saya sudah tidak lagi menjadi wagub, ia melapor bahwa hotel rugi. Selama enam bulan merugi sampai Rp 118 juta. Ini kan tak logis. Hotel penuh terus mestinya, ya, untung. Saya kira itu sudah nggak benar. Ternyata, hasil uang sewa dari perkantoran di tanah Jalan Batu Tulis juga digelapkannya. Akibat itu, Lie dipidana lima bulan penjara. Lantas saya minta ia membuat laporan resmi dari akuntan publik. Dia nggak mau. Saya tawarkan direksi ditambah dengan istri saya, juga ditolaknya. Saya adakan rapat pemegang saham. Tapi sampai dua kali diundang, dia tak kunjung hadir. Pernah melalui pengacaranya, dia menyatakan tak keberatan dengan penggantian direksi asal sahamnya diganti Rp 4 milyar lebih. Akhirnya, melalui rapat para pemegang saham mayoritas, dia diberhentikan. Dia juga harus mempertanggungjawabkan keuangan hotel Rp 900 juta. Dan, setelah manajemen baru, ternyata hotel memang untung. Tingkat pengisian kamarnya rata-rata di atas 50%. (Anas Mappe Siri: keuntungan tahun lalu Rp 100 juta). Tapi setelah itu, dia ribut. Malah sampai ke pengadilan. Kami dituduh menyerobot hotel. (Pengacara O.C. Kaligis: Padahal, dalam neraca keuangan PT AKL per 30 Juni 1985, hotel senilai Rp 756 juta itu adalah kekayaan kongsi Asmawi-Lie dalam PT AKL. Dalam laporan itu pula ia menyebutkan bahwa pihak Asmawi telah menyetorkan sahamnya. Apa itu bukan bukti yang kuat. Bagaimana bisa ia sekarang mengatakan Asmawi tak pernah menyetor.). (Nyonya Rhumanahwaty: "Apa yang kami serobot?" Sampai kini milik dia masih diakui. Setiap rapat kami undang, tapi dia tak mau datang. Kami ini hanya menjaga dan mengembangkan pengelolaan hotel, sesuai dengan ketentuan AD PT AKL. Tapi dia terus-menerus mengekspose tuduhan penyerobotan itu, bahkan meneror ke mana -mana? Nama baik dan harga diri kami sekeluarga benar-benar dirugikan). Rahmat Sudeli: Losmen Nantien saya beli jauh sebelum kenal Asmawi. Biaya pembangunan Hotel Chitra juga murni duit saya. Tak ada hubungannya dengan PT AKL. Saya yang keluar semua uangnya, dia tidak, apa itu kerja sama? Saya memang kenal Asmawi sewaktu membeli rumahnya di Batu Tulis. Setelah itu, kami mendirikan PT AKL untuk membangun hotel di Jalan Sudirman. Tapi dia dan Luay tak pernah setor modal. Tanah di Sudirman itu ternyata tak ada. Belakangan, saya tak sangka kalau PT AKL itu dikait-kaitkan dengan Hotel Chitra. Bahkan mereka merampok hotel itu, dan mengambil dokumen-dokumen saya. Sekarang dia bilang saham itu sudah disetor. Hotel juga harta PT AKL. Buktikan, dong. Jangan cuma ngomong saja. Selama lima tahun perkara ini berjalan, dia nggak pernah bisa membuktikan itu. Kata dia, saya juga pernah dihukum. Itu fitnah. Buat saya yang peming, bagaimana agar hukum bisa ditegakkan. Saya sudah ditetapkan pengadilan sebagai pemilik tanah dan bangunan hotel itu. Izin usaha mereka sudah dua kali dicabut gubernur. Tapi kenapa sampai sekarang mereka masih menguasai hotel itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini