Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -Seseorang yang terbukti melakukan pembunuhan berencana dapat dijatuhi hukuman pidana mati. Peraturan tersebut tertuang dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. Lalu, Apakah hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan berencana termasuk melanggar HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pangestu Jiwo Agung dalam bukunya Tindak Pidana Pembunuhan Berantai mengungkapkan perbuatan pembunuhan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.
Karena besarnya dampak negatif pembunuhan, menurut Pangestu, maka tidak heran bila tindak pembunuhan secara tegas dilarang oleh hukum. Bahkan terhadap pembunuhan berencana, oleh ketentuan pasal 340 KUHP, pelaku diancam dengan hukuman mati.
Sanksi Terakhir
Selain pembunuhan berencana, menurut Instrumen hukum internasional, International Covenant on Civil and Political Rights atau ICCPR Pasal 6 ayat 1 sebagaimana telah diratifikasi ke dalam hukum nasional Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, disebutkan bahwa pemberlakuan hukuman mati ditetapkan bagi tersangka tindak kriminal tertentu. Terutama kejahatan yang masuk dalam kategori kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.
Pidana mati menjadi suatu pilihan sanksi terakhir, dengan maksud pemberian efek jera atau deterren effect dan sebagai sarana menjaga ketenteraman secara normatif. Mengutip publikasi di ejournal.unsrat.ac.id, fungsi pidana mati dalam sistem pemidanaan di Indonesia adalah sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat dari perbuatan jahat pelaku kejahatan berat, dan untuk memberikan rasa takut kepada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan berat yang diancam dengan pidana mati itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Melansir dari laman balitbangham.go.id, hukuman mati merupakan jenis pidana terberat dibandingkan dengan pidana lainnya, karena merenggut jiwa manusia. Hukuman mati juga bentuk hukuman keji yang memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Sayangnya, hukuman ini juga melanggar hak untuk hidup yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights (DUHAM).
Menurut peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Balitbangkumham, Firdaus mengungkapkan, dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup juga diatur dalam Konstitusi Indonesia. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 4 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
HAM di Indonesia yang wajib dilindungi antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak.
“Dalam kaitan dengan masalah ini, penerapan hukuman mati sebenarnya masih mengandung kontroversi di tengah masyarakat, sehubungan dengan hak asasi manusia,’’ jelas Firdaus.
Mengutip publikasi di SIGn Jurnal Hukum, pembenaran terhadap hukuman mati di dalam hukum positif di Indonesia secara yuridis-normatif dapat dirujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Pasal 10 KUHP.
Pasal tersebut menyatakan bahwa hukuman mati sebagai jenis pidana pokok masih berlaku di Indonesia dan masih tetap di pertahankan dalam sistem hukumnya. Keberadaan pidana mati dalam sistem perundang-undangan di Indonesia ini tercantum di KUHP maupun pada regulasi-regulasi lainnya.
Kajian Hukuman Mati
Pidana mati tercantum pada delik kategori kejahatan luar biasa, antara lain yakni delik Perbuatan Makar Pasal 104 KUHP, delik Pembunuhan Berencana Pasal 340 KUHP, serta terkait regulasi yang sifatnya Lex Specialist, yakni delik Pengedaran Narkoba dan Terorisme yang memberikan sanksi pidana mati dalam Pasal 113 ayat 2 dan Pasal 114 ayat 2, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Hukuman mati terhadap kejahatan luar biasa, termasuk pembunuhan berencana, dinilai tidak bertentangan dengan HAM maupun hukum positif yang berlaku.
Aturan perundang-undangan tentang HAM secara tegas telah menerangkan tentang adanya pembatasan terhadap hak-hak tertentu dari seorang pelaku tindak pidana. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan di dalam Pasal 340 KUHP tidak menjelaskan secara detail tentang jumlah korban pembunuhan berencana tersebut. Artinya, pembunuhan terhadap satu orang pun dapat dikenai pidana mati.
Dengan demikian, dipidananya pelaku tindak pidana kejahatan pembunuhan berencana merupakan salah satu bentuk wujud nyata dari penegakan hukum di masyarakat. Penegakan ini sesuai dengan tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Dengan demikian masyarakat dapat hidup tenteram, aman, dan damai tanpa adanya bayang-bayang kekhawatiran akan kejahatan serupa dapat terulang kembali.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga : Kasus Brigadir J: Begini Seluk Beluk Pasal Pembunuhan Berencana
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.