Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengirimkan dokumen Amicus Curiae kepada Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara permohonan penetapan restitusi bagi korban tragedi Kanjuruhan pada Senin, 23 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti ICJR Iqbal Muharam Nurfahmi mengatakan, pihaknya mendukung penuh permohonan yang diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada Pengadilan Negeri Surabaya. Permohonan ini menuntut restitusi sebesar Rp. 17.534.476.333 kepada para pelaku yang telah diputus bersalah oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap ada putusan pidana sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ICJR mendorong majelis hakim mengabulkan permohonan ini, mengingat besarnya dampak tragedi tersebut terhadap para korban. Keputusan yang adil dari majelis hakim PN Surabaya, menurut ICJR, akan menjadi langkah krusial dalam memastikan pemulihan yang layak bagi para korban dan pemenuhan hak-hak mereka. "Yang merupakan esensi dari prinsip keadilan dan kemanusiaan." katanya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022, para korban tindak pidana, apalagi yang di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), memiliki hak untuk mengajukan restitusi. Termasuk restitusi yang diajukan setelah putusan pengadilan pidana.
Tragedi Kanjuruhan memakan 782 korban dengan 135 orang meninggal dunia. ICJR menuntut perhatian serius dan tindakan nyata untuk memastikan keadilan bagi para korban dan keluarga mereka. "Keadilan bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga memastikan pemulihan yang layak bagi korban termasuk dalam bentuk restitusi," tuturnya.
ICJR memandang, penggunaan gas air mata secara tidak bertanggung jawab oleh aparat keamanan menjadi faktor utama terjadinya ketidakadilan kepada korban. Penggunaan gas air mata dalam stadion tertutup melanggar standar keselamatan internasional dan menunjukkan kelalaian fatal dalam pengendalian massa.
"Tindakan ini secara langsung menyebabkan kepanikan dan desakan yang berujung pada jatuhnya korban jiwa dan luka-luka," ucapnya.
Penggunaan gas air mata dalam Tragedi Kanjuruhan tidak hanya tidak dapat dibenarkan, tetapi juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum. "Kami berharap, perhatian yang diberikan oleh pengadilan terhadap kasus ini akan menjadi preseden penting bagi perlindungan hak-hak korban di masa depan," tuturnya.