Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menahan Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta) sebagai tersangka dugaan suap Rp 60 miliar untuk pengaturan vonis ontslag (lepas) kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah atau korupsi CPO di Pengadilan Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bagaimana Arif ikut cawe-cawe dalam vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi PN Jakarta Pusat? Rupanya ia pernah menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelum kasus itu diputuskan pada 19 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bahkan terungkapnya masalah ini merupakan pengembangan dari kasus dugaan suap penanganan perkara Ronald Tannur di PN Surabaya, yang menyeret tiga hakim dan ketua pengadilan, serta pengacara sebagai terdakwa.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan bahwa pada awalnya, penyidik mencium adanya indikasi suap pada putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO atau minyak kelapa sawit mentah.
“Ada dugaan tidak murni putusan ontslag itu,” katanya seperti dikutip Antara di Jakarta, Minggu, 13 April 2025.
Lalu, dalam penggeledahan terkait kasus dugaan suap penanganan perkara Ronald Tannur di PN Surabaya, didapatkan adanya informasi terkait dugaan suap di PN Jakarta Pusat. "Muncul nama MS itu dari barang bukti elektronik,” katanya.
MS adalah seorang advokat yang mendampingi tersangka korporasi dalam kasus korupsi CPO tersebut.
Usai didapatkan informasi terkait MS, penyidik menggeledah sejumlah tempat di Jakarta maupun luar Jakarta dan memeriksa beberapa saksi.
Pada akhirnya, penyidik menetapkan empat tersangka, yakni WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, MS dan AR selaku advokat, dan MAN (Muhammad Arif Nuryanta) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Adapun tersangka MAN terlibat saat menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan bahwa penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR selaku advokat memberikan suap kepada MAN diduga sebesar Rp60 miliar.
Ia menjelaskan bahwa pemberian suap tersebut melalui WG dalam rangka pengurusan perkara tersebut agar majelis hakim yang mengadili perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dengan memberikan putusan ontslag atau tidak terbukti.
Walaupun secara unsur memenuhi pasal yang didakwakan, kata dia, menurut pertimbangan majelis hakim dalam putusan tersebut, kasus itu bukan merupakan tindak pidana.
Pemeriksaan Majelis Hakim
Putusan ontslag tersebut diambil dalam sidang di PN jakarta Pusat pada 19 Maret 2025 oleh majelis hakim yang terdiri atas ketua Djuyamto, serta Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Meski sudah ada tersangka dugaan korupsi pengaturan putusan, majelis hakim yang membuat putusan masih diperiksa sebagai saksi.
"Yang sedang diperiksa adalah hakim Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar.
Untuk hakim ketua, yakni Djuyamto, Harli mengatakan bahwa yang bersangkutan sempat hadir pada Minggu dini hari ke Kejagung, namun kehadirannya tidak diketahui penyidik.
"Katanya tadi dini hari sekira pukul 02.00 WIB datang ke kantor, tetapi tidak terinfo kepada penyidik," katanya.
Hingga Minggu siang pukul 11.06 WIB, Djuyamto masih belum menghadiri pemeriksaan sehingga kehadirannya ditunggu oleh penyidik. "Mudah-mudahan datang," ujarnya.
Putusan ontslag tersebut dijatuhkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat pada oleh Hakim Ketua Djuyamto bersama dengan hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin.
Pada putusan ini, para terdakwa korporasi yang meliputi PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dengan dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum (JPU).
Kendati demikian, majelis hakim menyatakan perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle rechtsvervolging) sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan.
Majelis hakim juga memerintahkan pemulihan hak, kedudukan, kemampuan, harkat, dan martabat para terdakwa seperti semula.