TELEPON di kamar kepala salah sebuah Kejaksaan Negeri di Jakarta
berdering. Seorang staf mengangkatnya. Ia gemetar, setelah dari
seberang sana terdengar suara berat: "Dari Jaksa Agung Ismail
Saleh -- mau bicara dengan Kejari! "
Pontang-panting sang staf mencari atasannya. Akhirnya, tak bisa
mengelak lagi, ia pun berkata terus terang kepada Jaksa Agung:
Kejari tak ada di kantor.
Telepon semacam itu belakangan juga diterima kantor-kantor
kejaksaan lain -- baik Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan
Tinggi. Dan tak sedikit pula yang jawabannya sama: Kejari atau
Kejati sedang tak ada di kantor atau bahkan ke luar kota atau
daerah.
Maka, sejak April hingga Mei ini tak kurang tiga buah Surat
Edaran yang ditandatangani Jaksa Agung sendiri, ditujukan kepada
setiap karyawan Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan
Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri Kecamatan.
Isinya, antara lain, diperlukan izin dari Jaksa Agung bagi para
Jaksa Tinggi yang hendak bepergian ke luar kota. Para jaksa,
terutama dalam urusan dinas, dilarang keras menerima tamu di
rumah masing-masing. Atasan harap memperhatikan jam masuk dan
pulang bawahannya. Setiap sore atasan juga harus meminta laporan
kegiatan bawahannya hari itu.
Buku Peraturan
Apakah selama ini kantor-kantor kejaksaan tak beres? "Sebelumnya
saya memang tak mempunyai gambaran tentang kantor-kantor
kejaksaan," ujar Jaksa Agung Ismail Saleh kepada Karni Ilyas
dari TEMPO minggu lalu. Tentang ada Jaksa Tinggi yang seenaknya
ke luar kota atau jaksa menerima tamu di rumah atau yang datang
dan pulang kantor semaunya, kata Jaksa Agung, diketahuinya dari
pengecekan yang dilakukannya sendiri melalui telepon maupun
kunjungan mendadak.
Bila suatu ketika terpaksa membuka laci-laci jaksa, melihat
gudang penyimpanan barang bukti atau memeriksa kebersihan
halaman kantor, Ismail Saleh tak bermaksud menjebak bawahannya.
Sebab kesalahan, katanya, "tidak selalu terletak pada orangnya.
Mungkin juga sistem yang digunakan selama ini belum benar."
Misalnya, sistem pengawasan dari inspektur, katanya, hanya
proforma saja.
Seorang bendaharawan biasanya hanya ditanya begini: apa ada uang
di kas? Sedangkan Ismail Saleh, yang baru sekitar tiga bulan
memimpin Kejaksaan Agung, bertanya begini berapa bendaharawan
boleh menyimpan uang? Menurut peraturan mana ketentuan tersebut?
"Sering-sering bendaharawan menjalankan tugasnya tanpa tahu
peraturannya," kata Jaksa Agung.
Hingga kini tak ada jaksa atau pegawai tata usaha kejaksaan yang
ditindak gara-gara telepon atau kunjungan dadakan Jaksa Agung.
Ismail Saleh juga membantah bahwa ada seorang jaksa yang dipecat
karena dipergokinya membaca koran pada jam kerja. "Saya turun ke
kantor-kantor kejaksaan," kata Jaksa Agung, "bukan untuk
menjebak -- tapi agar tahu keadaan yang sesungguhnya."
Gambaran apa yang kini diperolehnya? "Bila kita mengharapkan
ketertiban masyarakat," kata Jaksa Agung, "maka instansi penegak
hukum harus tertib lebih dahulu." Pernyataan Ismail Saleh
tersebut sudah cukup menggambarkan keadaan kejaksaan selama ini.
Untuk itu pula Jaksa Agung menerbitkan surat-surat edaran "yang
merupakan petunjuk pelaksanaan tugas bagi jajaran kejaksa."
Bekas Jaksa Agung Muda bidang operasi, Sadili Sastrawijaya, yang
kini menjadi penasihat Jaksa Agung berpendapat: Sebenarnya apa
yang dikehendaki Jaksa Agung dalam surat-surat edarannya telah
lama tercantum dalam peraturan. "Malah sudah dibukukan juga,?'
katanya. Hanya, diakuinya kemudian, peraturan yang berkenaan
dengan ketertiban kantor belakangan ini memang tak jalan.
Soalnya, bukan apa-apa, katanya Iagi, banyak jaksa baru --
bahkan yang memimpin sebuah kantor kejaksaan - tak mau
membuka-buka buku peraturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini