Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jalan panjang ke mahkamah pidana...

Pembahasan masalah peradilan kejahatan internasional dalam konperensi hukum dunia ke-ix di madrid. sidang mahkamah pidana internasional terdakwanya pasukan israel yang menerjang kedaulatan uganda.(hk)

6 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG Mahkamah Pidana Internasional dibuka oleh majelis,yang terdiri dari para Ketua Mahkamah Agung Prof. Oemar Seno Adji (Indonesia), Nayan Bhadar (Nepal), Angel Escudero (Spanyol), Enrique Fernando (Filipina) dan Shimon Agranat (Israel). Terdakwanya pasukan komando Israel, yang dituduh menerjang kedaulatan Uganda ketika membebaskan sandera pembajakan udara di Entebbe. Sayang terdakwa ini berhalangan hadir dan hanya diwakili pembelinya. Begitu juga pihak Uganda sebagai si pengadu. Perdebatan seru terjadi. Pengacara Israel menginginkan agar operasi penyelamatan sandera dilegalisir oleh hukum internasional demi kemanusiaan. Tapi jangan lupa, "pahlawan" dari Israel itu dicap oleh Idi Amin sebagai penjahat internasional: melanggar kedaulatan negaranya tanpa permisi. Adu mulut berlangsung selama tiga jam. Berhubung waktunya habis, sidang distop oleh mahkamah tanpa pemberitahuan kapan akan dilanjutkan. Hal itu membuat seorang penonton penasaran. Ia melompat ke atas mimbar mengumbar protes: sidang harap dilanjutkan sampai ada keputusan. Tapi tak ada yang mau mendengarkan suaranya. Karena mahkamah yang bersidang 19 September lalu di Placio de Congresos di Spanyol memang tak bermaksud menjatuhkan sesuatu vonis. Memang hanya sebuah peradilan sandiwara menuruti acara tradisional Konperensi Hukum Dunia ke IX di Madrid pada 1620 September lalu. Wartawan TEMPO, Karni Ilyas yang berkesempatan mengikuti konperensiitu melanjutkan laporannya seperti berikut ini. Peradilan bagi kejahatan internasional, semacam Mahkamah Perdata Internasional yang sudah ada di Den Haag, memang baru omong kosong para ahli hukum se dunia. Walaupun jika bicara soal kebutuhan adanya badan tersebut sebenarnya sudah cukup mendesak adanya berbagai kejahatan internasional. Bentuk kejahatan yang lain juga ada, seperti disebutkan peserta dari Amerika Serikat: "Kalau AS pada suatu ketika menghentikan ekspor gandum sehingga mengakibatkan negara pengimpor mati kelaparan, atau sebaliknya bila negara-negara penghasil minyak OPEC menghentikan ekspornya dan mengakibatkan negara lain menderita, apakah itu bukan kejahatan internasional?" Bicara soal kejahatan internasional tentu akan sampai pada perlunya scbuah mahkamah internasional yang mengurusnya secara adil. Lalu soal hukuman bagi penjahatnya. Kemudian menurut Benyamin B. Ferenez dari AS "persoalannya adalah hukum macam apa yang akan dipakai." Bicara soal itu bisa makan waktu berapa lama? Usul yang biasa muncul dari dalam rumah, delegasi Spanyol, "bentuk saja panitia ad-hoc untuk membuat definisi peradilan kejahatan internasional, Hukum acara dan kodifikasi hukumya." Penjahat Atau Pahlawan Jadi jalan yang harus ditempuh cukup panjang. Maka itu banyak peserta vang tak begitu bersemangat bicara soal itu. Seperti kata Anton Reinhart SH dari Indonesia "Tarohlah kita berhasil membuat definisi, hukum acara dan kodifikasi hukumnya, tapi jadi pertan aan: apa dapat dilaksanakan?" Sebab, lanjutnya, seperti terbukti pada peragaan mahkamah peradilan yang sudah dilakukan: "Seorang teroris yang dianggap penjahat oleh satu negara dapat dianggap pahlawan oleh negara lain." Bagi Prof. Kerry L. Milte dari Australia ada 'jalan lama' yang biasa dan cukup berharga untuk ditempuh, yaitu menanggulangi kejahatan internasional dengan perjanjian ekstradisi atau perjanjian penyerahan penjahat antar negara. "Semua negara hendaknya mengizinkan negara lain untuk menangkap penjahat yang lari dan bersembunyi di negaranya," kata Milte. Pendapat Milte itu memang dekat dengan persoalan. Cuma masih juga dihadang oleh berbagai hambatan soal izin itulah justru yang repot. "Bagaimana kalau suatu negara tidak ingin menyerahkan, penjahat untuk diadili di negara lain -- toh tidak ada lembaga yang berhak menerobos kedaulatan negara tersebut," seperti kata Oemar Seno Adji. Contohnya tak jauh-jauh, bukanlah di sesama negara ASEAN saja perjanjian ekstradisi masih belum dapat diterima begitu saja oleh semua anggotanya? Namun seperti halnya konperensi trdahulu, sekitar 3000-an para ahli hukum dari 136 negara memang tidak ingin menghasilkan sesuatu pendapat secara bulat. Rombongan dari Indonesia, 31 peserta dipimpin oleh Jenderal EY Kanter SH dari Badan Pembinaan Hukum ABRI, memang sudah cukup puas dengan mendengarkan berbagai pendapat. Toh sama jika ya, keinginan membatasi kejahatan terhadap kemanusiaan. Jabat tangan sukses kepada Presiden World Peace Tbrougb Law Centre, Charles Rhyne, tentu saja karena konperensi vang proyek AS itu menghadirkan anggota baru: RRC! Itulah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus