SIDANG Mahkamah Pidana Internasional dibuka oleh majelis,yang
terdiri dari para Ketua Mahkamah Agung Prof. Oemar Seno Adji
(Indonesia), Nayan Bhadar (Nepal), Angel Escudero (Spanyol),
Enrique Fernando (Filipina) dan Shimon Agranat (Israel).
Terdakwanya pasukan komando Israel, yang dituduh menerjang
kedaulatan Uganda ketika membebaskan sandera pembajakan udara di
Entebbe. Sayang terdakwa ini berhalangan hadir dan hanya
diwakili pembelinya. Begitu juga pihak Uganda sebagai si
pengadu.
Perdebatan seru terjadi. Pengacara Israel menginginkan agar
operasi penyelamatan sandera dilegalisir oleh hukum
internasional demi kemanusiaan. Tapi jangan lupa, "pahlawan"
dari Israel itu dicap oleh Idi Amin sebagai penjahat
internasional: melanggar kedaulatan negaranya tanpa permisi. Adu
mulut berlangsung selama tiga jam. Berhubung waktunya habis,
sidang distop oleh mahkamah tanpa pemberitahuan kapan akan
dilanjutkan.
Hal itu membuat seorang penonton penasaran. Ia melompat ke atas
mimbar mengumbar protes: sidang harap dilanjutkan sampai ada
keputusan. Tapi tak ada yang mau mendengarkan suaranya. Karena
mahkamah yang bersidang 19 September lalu di Placio de Congresos
di Spanyol memang tak bermaksud menjatuhkan sesuatu vonis.
Memang hanya sebuah peradilan sandiwara menuruti acara
tradisional Konperensi Hukum Dunia ke IX di Madrid pada 1620
September lalu. Wartawan TEMPO, Karni Ilyas yang berkesempatan
mengikuti konperensiitu melanjutkan laporannya seperti berikut
ini.
Peradilan bagi kejahatan internasional, semacam Mahkamah Perdata
Internasional yang sudah ada di Den Haag, memang baru omong
kosong para ahli hukum se dunia. Walaupun jika bicara soal
kebutuhan adanya badan tersebut sebenarnya sudah cukup mendesak
adanya berbagai kejahatan internasional. Bentuk kejahatan yang
lain juga ada, seperti disebutkan peserta dari Amerika Serikat:
"Kalau AS pada suatu ketika menghentikan ekspor gandum sehingga
mengakibatkan negara pengimpor mati kelaparan, atau sebaliknya
bila negara-negara penghasil minyak OPEC menghentikan ekspornya
dan mengakibatkan negara lain menderita, apakah itu bukan
kejahatan internasional?"
Bicara soal kejahatan internasional tentu akan sampai pada
perlunya scbuah mahkamah internasional yang mengurusnya secara
adil. Lalu soal hukuman bagi penjahatnya. Kemudian menurut
Benyamin B. Ferenez dari AS "persoalannya adalah hukum macam apa
yang akan dipakai."
Bicara soal itu bisa makan waktu berapa lama? Usul yang biasa
muncul dari dalam rumah, delegasi Spanyol, "bentuk saja panitia
ad-hoc untuk membuat definisi peradilan kejahatan
internasional, Hukum acara dan kodifikasi hukumya."
Penjahat Atau Pahlawan
Jadi jalan yang harus ditempuh cukup panjang. Maka itu banyak
peserta vang tak begitu bersemangat bicara soal itu. Seperti
kata Anton Reinhart SH dari Indonesia "Tarohlah kita berhasil
membuat definisi, hukum acara dan kodifikasi hukumnya, tapi jadi
pertan aan: apa dapat dilaksanakan?" Sebab, lanjutnya, seperti
terbukti pada peragaan mahkamah peradilan yang sudah dilakukan:
"Seorang teroris yang dianggap penjahat oleh satu negara dapat
dianggap pahlawan oleh negara lain."
Bagi Prof. Kerry L. Milte dari Australia ada 'jalan lama' yang
biasa dan cukup berharga untuk ditempuh, yaitu menanggulangi
kejahatan internasional dengan perjanjian ekstradisi atau
perjanjian penyerahan penjahat antar negara. "Semua negara
hendaknya mengizinkan negara lain untuk menangkap penjahat yang
lari dan bersembunyi di negaranya," kata Milte.
Pendapat Milte itu memang dekat dengan persoalan. Cuma masih
juga dihadang oleh berbagai hambatan soal izin itulah justru
yang repot. "Bagaimana kalau suatu negara tidak ingin
menyerahkan, penjahat untuk diadili di negara lain -- toh tidak
ada lembaga yang berhak menerobos kedaulatan negara tersebut,"
seperti kata Oemar Seno Adji. Contohnya tak jauh-jauh, bukanlah
di sesama negara ASEAN saja perjanjian ekstradisi masih belum
dapat diterima begitu saja oleh semua anggotanya?
Namun seperti halnya konperensi trdahulu, sekitar 3000-an para
ahli hukum dari 136 negara memang tidak ingin menghasilkan
sesuatu pendapat secara bulat. Rombongan dari Indonesia, 31
peserta dipimpin oleh Jenderal EY Kanter SH dari Badan Pembinaan
Hukum ABRI, memang sudah cukup puas dengan mendengarkan
berbagai pendapat. Toh sama jika ya, keinginan membatasi
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Jabat tangan sukses kepada Presiden World Peace Tbrougb Law
Centre, Charles Rhyne, tentu saja karena konperensi vang proyek
AS itu menghadirkan anggota baru: RRC! Itulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini