Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARTA bahwa Joko Tjandra membangun hotel di Pantai Geger, Bali, mengusik perhatian Direksi Bank BRI. Bukan karena bank pelat merah itu berniat ikut berinvestasi, melainkan lantaran Joko pernah ingkar janji dengan BRI. "Invetasi di Bali itu bertentangan dengan asas keadilan, karena Joko masih memiliki perkara dengan kami," kata Sekretaris Perusahaan BRI Muhammad Ali kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Syahdan, Bank BRI dan Yayasan Dana Pensiun BRI membuat kerja sama membangun Gedung BRI II dengan PT Mulia Persada pada 1990. Joko sendiri, sebagai Direktur Utama PT Mulia Persada, yang melakukan negosiasi dengan BRI. Mulia Persada ditunjuk membangun dan mengelola gedung 27 lantai itu, sedangkan BRI dan Yayasan menyediakan lahan seluas 70 ribu meter persegi. Sebagai pemilik tanah, BRI dan Yayasan berhak mendapat sedikitnya US$ 1,6 juta per tahun.
Karena kerja sama itu sukses, BRI dan Yayasan menggandeng kembali Mulia Persada dalam proyek pembangunan Gedung BRI III. Perjanjian diteken pada 11 April 1990 dengan mekanisme bangun-operasi-transfer (BOT). Joko berkewajiban membangun gedung minimal setinggi gedung II dengan tenggat 2005. Imbalannya, Joko bisa menyewakan gedung itu selama 30 tahun. Pembagian keuntungan ditetapkan sesuai dengan skema kerja sama Gedung BRI II.
Alih-alih sukses, menurut Muhammad Ali, sampai tenggat terlewati, gedung III tak pernah dibangun. Belakangan, BRI mengetahui perusahaan Joko tak memenuhi komitmen menyediakan pelbagai fasilitas di gedung II, seperti lahan parkir, kantin, dan ruang-ruang lain seperti yang dijanjikan. Karena negosiasi alot, bahkan buntu, pada 21 Juni 2010 BRI dan Yayasan Pensiun membawa persoalan itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. BRI menggugat Joko sedikitnya Rp 1,2 triliun.
Kendati menilai Mulia Persada terbukti wanprestasi, majelis hakim yang diketuai Yulman, pada Januari silam, hanya mengabulkan gugatan BRI sebagian. Majelis menyebut perusahaan itu belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban menyediakan pelbagai fasilitas di gedung II, sehingga harus membayar kerugian Rp 348 miliar. Sebaliknya, majelis membatalkan perjanjian BOT pembangunan dan pengelolaan Gedung BRI II dan III. Alhasil, gugatan Rp 887 miliar sebagai ganti rugi hilangnya potensi keuntungan Gedung BRI III kandas. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding.
Tak terima, pihak Joko Tjandra melawan. Menurut pengacaranya, Anthony L.P. Hutapea, sejak awal kliennya tidak pernah membuat perjanjian khusus mengenai pembangunan dan pengelolaan Gedung BRI. BRI kecewa karena gugatannya belum seluruhnya dikabulkan. "Saat ini prosesnya masih kasasi," kata Muhammad Ali.
Tak hanya diperkarakan BRI, melalui Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara, Lembaga Kantor Berita Nasional Antara tengah bersiap menggugat Joko Tjandra. Sebagai pemegang saham mayoritas PT ANPA Internasional yang mengelola Gedung Wisma Antara, Joko dianggap melanggar komitmen. Menurut Direktur Utama LKBN Antara Ahmad Mukhlis Yusuf, seharusnya pengelolaan gedung berakhir pada 2003 dan dikembalikan ke negara. "Tapi malah diperpanjang sampai 2012," katanya.
Bisnis properti memang menjadi andalan Grup Mulia. Gurita bisnis properti mereka berkembang pesat terutama di era sebelum reformasi. Dari bisnis ini, pundi-pundi Grup Mulia semakin gemuk. Gedung Grup Mulia antara lain Kuningan Plaza, Plaza 89, Five Pillars Office Park, dan Lippolife Building.
Setelah sukses di bisnis properti, Joko Tjandra melirik bisnis penagihan. Bersama Politikus Golkar Setya Novanto, ia mendirikan PT Era Giat Prima. Proyek kakapnya: perjanjian pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, pada Januari 1999. Dengan jaringan politiknya, PT Era Giat berhasil mendesak Bank Indonesia dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengucurkan duit untuk Bank Bali Rp 905 miliar.
Belakangan, Kejaksaan Agung mencium bau rasuah dalam perkara itu. Bersama sejumlah pejabat BI dan BPPN, Joko ditetapkan sebagai tersangka. Setelah di tingkat pertama dan kasasi bebas, pada Juli 2009, majelis peninjauan kembali memvonis Joko dua tahun penjara. Sehari sebelum putusan diketuk, Joko terbang ke Papua Nugini, memilih menjadi buron. Sejak itu tak ada kabarnya, sampai kemudian terdengar ia membangun The Mulia Resort and Villas di Pantai Geger. Proyek yang membuat geger banyak orang.
Anton Aprianto (Jakarta), Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo