Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejak Impunitas dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Pangliam TNI jamin tak ada impunitas dalam kasus korupsi Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi. Ini jejak impunitas kasus pelanggaran HAM.

5 Agustus 2023 | 16.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Beberapa kendaraan lapis baja berpatroli di sekitar Jalan Sabang, setelah terjadinya kerusuhan yang disertai penjarahan di tempat tersebut, 14 Mei 1998. Aksi kerusuhan yang melanda kota Jakarta itu membuat terhentinya aktivitas masyarakat. ANTARA/Saptono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan publik ramai berargumentasi TNI mendapat impunitas atau kebal hukum jika dihukum melalui peradilan militer. Anggapan itu muncul setelah Puspom TNI mengambil alih kasus yang menggeret nama Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto terkait dugaan korupsi di Basarnas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono kemudian menegaskan tak ada impunitas dalam penyelesaian perkara yang melibatkan anggota TNI. Pihaknya menyayangkan argumen publik tersebut. Ia meminta masyarakat tak khawatir TNI tidak menghukum anggota yang melanggar. Kalau kedapatan bersalah, katanya, akan dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tunjukkan mana impunitas yang diterima oleh prajurit TNI?” kata Yudo Margono setelah membuka pertandingan olahraga Panglima Cup 2023 di Stasion Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat, 4 Agustus 2023.

Lantas bagaimana jejak impunitas terhadap beberapa kasus di Indonesia?

Di Indonesia, impunitas terdapat dalam beberapa kasus pelanggaran HAM berat. Penyelesaian kasus-kasus tersebut masih tersendat bahkan mandek sekalipun era Reformasi telah bergulir lebih dari dua dekade. Menurut data Amnesty International Indonesia, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum memperoleh keadilan.

Beberapa di antaranya adalah tragedi 1965-1966, Peristiwa Talangsari 1989, Penghilangan Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa Paniai 2004. Berdasarkan data yang dirilis Komisi Nasional atau Komnas HAM, telah terjadi tindak kekerasan dan penghilangan terhadap sejumlah aktivis reformasi. Satu orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, dan 23 orang dihilangkan secara paksa.

Para pelaku, yang notabenenya merupakan anggota militer, selain lepas dari hukuman, justru malah naik pangkat. Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), tokoh militer itu antara lain Letnan Prabowo Subianto yang kini merupakan Ketua Umum Partai Gerindra, Mayjen Muchdi PR yang kini Ketua Umum Partai Berkarya, Kolonel Inf Chairawan K. Nusyirwan, dan Letjen Syafrie Syamsudin.

Dewan Kehormatan pada Agustus 1998 hanya menghukum Prabowo dengan pengakhiran masa tugas. Sementara Muchdi PR dan Chairawan dijatuhi hukuman pembebasan tugas dari jabatan. Usai dipapas jabatannya, Muchdi PR juga justru diangkat sebagai Deputi V BIN. Sedangkan Chairawan diangkat sebagai Korem Lilawangsa dan kemudian menjabat Kaposwil NAD BIN.

Syafrie Syamsudin, panglima Kodam Jaya ketika itu, yang juga diakui keterlibatannya oleh Prabowo, tidak tersentuh hukum. Syafrie dinilai membiarkan tragedi Mei 1998 terjadi tanpa ada upaya pencegahan. Namun hingga saat ini, belum ada pihak yang bisa membuktikan keterlibatan Syafrie dalam peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut. Pada 2019, Prabowo yang merupakan Menteri Pertahanan mengangkat Syafrie sebagai asisten khusus.

Pakar HAM Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman mengungkapkan pelaku pelanggaran HAM berat justru malah dilibatkan dalam pengambil kebijakan atau menjabat di pemerintahan. Menurutnya hal ini merupakan kontradiksi dengan semangat mengakhiri impunitas. Apalagi Prabowo bukanlah satu-satunya pelaku pelanggaran HAM yang dilibatkan dalam pemerintahan. Tokoh lainnya adalah Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Wiranto, terduga dalam kasus Timor Timur 1999.

“Semua ini berwujud melalui lemahnya komitmen politik hukum negara untuk merampungkan kasus pelanggaran HAM berat,” kata Herlambang saat mengisi diskusi virtual Kamis sore, 17 Maret 2022 silam, dikutip dari fh.unair.ac.id.

Terbaru, Pemerintah menyatakan berusaha menitikberatkan penyelesaian terhadap 12 kasus pelanggaran HAM secara non-yudisial dengan tidak akan mencari pelaku. Koordinator Badan Pekerja KontraS Fatia Maulidiyanti menilai sikap tersebut sama saja melanggengkan impunitas terhadap para pelaku. Menurutnya, pemerintah telah mengubur prinsip dan upaya pengungkapan kebenaran, akuntabilitas dan, pertanggungjawaban dari aktor negara.

“Pemerintah berusaha menitikberatkan penyelesaian non-yudisial dengan tidak akan mencari pelaku. Pernyataan tersebut jelas kembali mempertontonkan impunitas atau kekebalan hukum pada para pelanggar HAM di Indonesia,” kata Fatia, dalam keterangan pers Mei lalu.

HENDRIK KHOIRUL MUHID (Magang) | TIM TEMPO.CO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus