Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kontrak Karet Hotel Indonesia

Kejaksaan Agung menyidik dugaan korupsi dalam pengembangan kawasan sekitar Hotel Indonesia. Potensi kerugian negara sekitar Rp 1,2 triliun.

29 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHADIRAN Edwin Hidayat Abdullah di kompleks Kejaksaan Agung pada Senin pekan lalu tak lebih dari sepuluh menit. "Saya batal diperiksa, makanya langsung pulang," kata Deputi Bidang Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian Badan Usaha Milik Negara ini, Kamis pekan lalu.

Jaksa memanggil Edwin berkaitan dengan perjanjian kerja sama PT Hotel Indonesia Natour, perusahaan milik negara, dengan PT Grand Indonesia, anak usaha Grup Djarum. Jaksa meminta Edwin membawa dokumen kontrak di antara kedua perusahaan tersebut.

Kejaksaan membuka penyelidikan setelah Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan hasil audit atas pendapatan PT Hotel Indonesia Natour dari kerja sama dengan swasta. Dalam audit yang keluar pada Desember tahun lalu, BPK menemukan sejumlah masalah di balik kontrak kerja sama yang berpotensi merugikan keuangan negara.

Semula jaksa menjadwalkan pemeriksaan Edwin pada pertengahan Februari lalu. Namun Edwin tak bisa datang karena dinas luar kota. Awal pekan lalu, Edwin mendatangi Kejaksaan Agung dan membawa dokumen yang diminta. Tapi jaksa urung meminta berkas perjanjian dari Edwin. Sebab, pada Jumat dua pekan lalu, jaksa telah menyita dokumen serupa dari kantor PT Hotel Indonesia Natour di Menara BCA, dekat Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.

Keesokan harinya, Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Arminsyah mengumumkan penyelidikan perkara sudah naik ke tingkat penyidikan. Korps Adhyaksa mengendus dugaan korupsi di balik kontrak "bangun-guna-serah"atau "build-operation-transfer" (BOT) tersebut. "Unsur pidana korupsinya jelas," kata Arminsyah, Selasa pekan lalu.

* * * *

KERJA sama bermasalah itu bermula dari rencana PT Hotel Indonesia Natour merenovasi 16 hotel milik perusahaan pelat merah ini pada 2002. "Niatnya agar bisa bersaing merebut pasar pariwisata," ujar Direktur Utama PTHotel Indonesia Iswandi Said, Selasa pekan lalu. Kala itu, rata-rata hotel di bawah bendera Inna Group Hotel sudah berusia di atas 30 tahun. Menteri BUMN waktu itu, Laksamana Sukardi, menyetujui rencana tersebut.

Sepanjang 2002, PT Hotel Indonesia menyusun konsep pengembangan 16 hotel yang menyebar di delapan kota besar. Total investasi yang diperlukan sekitar Rp 1,7 triliun. Perusahaan memilih skema BOT. Dengan skema ini, pihak ketiga akan membangun, lalu mengelola hotel sampai jangka waktu tertentu. PT Hotel Indonesia baru menerima bangunan setelah kontrak berakhir.

Pada Januari 2003, PT Hotel Indonesia mengundang 53 calon investor. Ternyata hanya delapan perusahaan yang berminat. Lima di antaranya "berebut" mengembangkan Hotel Indonesia-Inna Wisata yang berlokasi di pusat kawasan bisnis Ibu Kota. Sampai tenggat pada 23 Mei 2003, hanya PT Cipta Karya Bumi Indah yang mengajukan proposal penawaran.

PT Hotel Indonesia kemudian menggelar pertemuan dengan PT Cipta Karya pada 10 Juni 2003. Anak usaha Grup Djarum di sektor properti itu mengajukan proposal pengembangan Hotel Indonesia-Inna Wisata menjadi kawasan terpadu Grand Indonesia. Di kawasan itu akan berdiri hotel bintang lima dengan 303 kamar, apartemen, pusat belanja, perkantoran, dan bangunan penunjang lain dengan nilai investasi Rp 1,2 triliun.

Dalam proposal awal, PT Cipta Karya menawarkan jangka waktu kerja sama 30 tahun, dengan kompensasi Rp 261,1 miliar untuk PT Hotel Indonesia. Masa kontrak bisa diperpanjang 20 tahun dengan tambahan kompensasi minimal Rp 400 miliar atau 25 persen dari nilai jual obyek pajak (NJOP). PT Cipta Karya juga mengajukan skema kerja sama operasi (KSO) untuk pembangunan hotel dan skema BOT buat bangunan lain.

Direksi PT Hotel Indonesia berkeberatan terhadap skema KSO yang ditawarkan PT Cipta Karya. Sejak awal, direksi PT Hotel Indonesia menginginkan skema BOT. Perusahaan milik negara ini juga menginginkan bagi hasil pendapatan, bukan kompensasi "gelondongan" yang ditentukan di awal kerja sama.

Pada 31 Juli 2003, PT Cipta Karya mengajukan penawaran ulang. Mereka mencoret rencana pembangunan apartemen dan pusat perkantoran. Alasannya, prospek bisnis apartemen dan pusat perkantoran kurang menguntungkan karena ketatnya persaingan. PT Cipta Karya pun sepakat menggunakan skema "bangun-guna-serah" untuk semua bangunan.

Dalam proposal terakhir, PT Cipta Karya juga menawarkan kompensasi berjenjang yang naik setiap lima tahun. Perhitungannya berdasarkan asumsi sewa kamar hotel dan kaveling pusat belanja selama masa kontrak. Total jenderal, PT Hotel Indonesia akan mendapat Rp 385 miliar selama kontrak 30 tahun yang akan berakhir pada 2035.

Negosiasi terakhir selesai pada 11 Februari 2004. Hasilnya: PT Hotel Indonesia akan menerima kompensasi Rp 355 miliar untuk kerja sama selama 30 tahun, mulai 2004 sampai 2033. Kontrak bisa diperpanjang 20 tahun dengan pembayaran minimal Rp 400 miliar atau 25 persen dari NJOP ketika perpanjangan kontrak disepakati. Perjanjian kerja sama BOT diteken pada 12 Mei 2004. Dalam perjalanannya, untuk mengerjakan proyek, PT Cipta Karya membentuk PT Grand Indonesia.

Badan Pemeriksa Keuangan turun tangan setelah kontrak pengembangan kawasan Grand Indonesia berjalan lebih dari sepuluh tahun. Menurut hasil audit tersebut, PT Grand Indonesia menyalahi perjanjian BOT dengan membangun Menara BCA setinggi 230 meter, dengan 56 lantai, dan Apartemen Kempinski, dengan 263 unit hunian eksklusif.

Kejaksaan Agung mengiyakan hasil audit tersebut. Kontrak "bangun-guna-serah" antara PT Hotel Indonesia dan PT Cipta Karya, menurut Arminsyah, hanya mencantumkan pembangunan hotel, pusat belanja I dan II, serta fasilitas parkir di area seluas 6,2 hektare itu. Sedangkan pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski tak tercantum dalam kontrak.

Menurut Arminsyah, PT Hotel Indonesia tak mendapat keuntungan tambahan atas pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Sebab, nilai kompensasi dalam kontrak BOT hanya memperhitungkan harga sewa kamar hotel dan tempat di pusat belanja. Sedangkan sewa Menara BCA dan Hotel Kempinski yang dibangun belakangan tak masuk perhitungan kompensasi. "Artinya negara rugi. Pihak lain yang untung," ujar Arminsyah.

Berdasarkan laporan keterbukaan Bank BCA pada 2006, tarif sewa Menara BCA sekitar US$ 33,6 juta untuk periode 2007-2035. Tarif sewa unit Apartemen Kempinski pun tak main-main. Satu unit apartemen itu paling murah disewakan US$ 3.000 per bulan.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan direksi PT Hotel Indonesia Natour tak berpegang pada dokumen term of reference (TOR) yang disusun bersama Kementerian BUMN. Berdasarkan TOR, kompensasi seharusnya dihitung dari persentase pendapatan bersih. Jika merujuk pada TOR, demikian tertulis dalam laporan audit, saban tahun PT Hotel Indonesia akan menerima pembayaran berbeda. Agar negara tak dirugikan, ditentukan batas minimum kompensasi yang harus dibayarkan pihak ketiga.

Badan Pemeriksa Keuangan juga menilai PT Hotel Indonesia terburu-buru menawarkan perpanjangan kontrak. Jauh sebelum masa kontrak pertama berakhir, pada 2010, PT Hotel Indonesia sudah memperpanjang kontrak dengan PT Grand Indonesia selama 20 tahun, hingga 2053. Waktu itu PT Hotel Indonesia beralasan perlu tambahan modal untuk renovasi total hotel di Bali dan Padang.

Dalam perpanjangan kontrak, PT Grand Indonesia sepakat membayar kompensasi minimal Rp 400 miliar. Patokan 25 persen dari NJOP tak dipakai. Soalnya, bila NJOP menjadi patokan, PT Hotel Indonesia hanya mendapat Rp 385 miliar.

Lembaga audit negara berpendapat, jika PT Hotel Indonesia tak buru-buru menawarkan perpanjangan kontrak, mereka akan mendapat kompensasi lebih besar. Merujuk pada NJOP yang berlaku pada 2014, BPK menghitung PT Hotel Indonesia seharusnya memperoleh kompensasi sekitar Rp 1,69 triliun. Dengan selisih NJOP pada 2010 dan 2014, BPK menyimpulkan ada potensi kehilangan pendapatan negara sekitar Rp 1,29 triliun. Agar negara tak jadi merugi, BPK pun meminta PT Hotel Indonesia menegosiasikan ulang kontrak.

Sejauh ini Kementerian BUMN belum mengeluarkan sikap resmi atas hasil audit BPK tersebut. "Kami masih mempelajarinya," kata Deputi Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah. "Yang jelas, kami harus jalankan rekomendasi mereka."

Aloysius Moerba Suseto, Direktur Utama PT Hotel Indonesia ketika kontrak BOT dengan PT Cipta Karya diteken, menolak berkomentar. "Saya sedang di luar kota, tidak bisa wawancara," ucap Suseto melalui pesan pendek, Rabu pekan lalu. Suseto kini menjabat Direktur Utama PT Sarana Menara Nusantara—perusahaan telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki PT Sapta Adhikara Investama, anak usaha Grup Djarum.

Adapun Assistant Manager Public Relations PT Grand Indonesia Dinia Widodo mengatakan perusahaannya sudah menjalankan semua ketentuan kontrak. Pembangunan Menara BCA dan Kempinski, menurut dia, juga tak menyimpang. Alasannya, akta kerja sama menyebutkan, di sekitar Hotel Indonesia bisa dibangun gedung dan fasilitas penunjang. Klausul itu mereka terjemahkan dengan mendirikan gedung perkantoran dan apartemen. "Yang kami lakukan tercantum dalam perjanjian BOT," kata Dinia.

Tafsir PT Grand Indonesia atas klausul kontrak tak menyurutkan langkah jaksa untuk meningkatkan status pengusutan ke tahap penyidikan. Sejauh ini jaksa memang belum menetapkan tersangka. Tapi, menurut Arminsyah, kesimpulan jaksa sudah bulat. "Ada penyalahgunaan kewenangan karena jabatan, sehingga memperkaya korporasi dengan merugikan negara," ujar Arminsyah.

Syailendra Persada, Linda Trianita, Mawardah Nur Hanifiyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus