Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Jika kakek-nenek gelap mata

Oeyun, 62, penduduk bukit, putus, painan, sum-bar tewas ditangan istrinya, syahniar, 54, karena meniduri susi, 11 & tuti, 9. perlakuan cabul itu dilakukan atas petunjuk dukun untuk mengobati syahwatnya.

29 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI cerita tentang kakek-nenek yang gelap mata. Kakek Oeyun, 62 tahun, yang memiliki bengkel sepeda di Kampung Bukit Putus, Painan, Sumatera Barat, diam-diam mencabuli dua orang gadis kecil, Susi (11 tahun) dan Tuti (9 tahun) keduanya bukan nama sebenarnya - yang masih kerabat istrinya. Akibatnya, sang istri, Syahniar, gelap mata. Bersama tiga orang kerabatnya, si nenek menghabisi riwayat Oeyun, yang sudah menikahinya selama 25 tahun. "Mereka membunuh Oeyun," kata Jaksa Asmal Melayu, yang menuntut Syahniar, 54 tahun, di pengadilan dengan hukuman 12 tahun penjara. Sampai pekan-pekan ini, Syahniar, yang membantah tuduhan itu, masih disidang di Pengadilan Negeri Painan. Perbuatan cabul kakek itu sebenarnya di luar dugaan keluarganya. Sebab, sejak 1985, Oeyun menderita sakit lemah syahwat. Sebab itulah Syahniar tak lagi seranjang dengan istrinya. Rupanya, berkat berobat ke dukun, diam-diam keperkasaan Oeyun muncul kembali. Begitulah, tanpa setahu Syahniar, Oeyun dua kali meniduri anak iparnya, Susi, di bengkel sepedanya. Hanya saja, selama dua tahun kasus itu tak ketahuan. Sebab, Susi tak mau mengungkapkan kejadian itu kepada siapa pun, termasuk kedua orangtuanya. "Saya sudah tahu malu," katanya. Apalagi istri Oeyun adalah kakak ibunya. Pada Januari 1987, tak sengaja Susi melihat Tuti di pangkuan si kakek di bengkel sepeda tadi, yang kebetulan lagi sepi. Pelajar kelas V SD, yang sudah tahu belang si kakek, segera memanggil Tuti. Yang dipanggil meloncat dari rangkulan laki-laki kekar itu. Tuti selamat. Sesampainya di rumah, Susi menceritakan apa yang disaksikannya kepada ibunya, Syamsimar. Rupanya, walau sudah mengalami sendiri, Susi tak tahan begitu Tuti, putri adik ibunya, akan jadi korban berikutnya. Tapi yang membikin mata Syamsimar melotot adalah pengakuan Susi bahwa dia pernah ditiduri kakek itu. Beberapa hari kemudian, Syamsimar menjumpai Syahniar. "Udo agaknya sudah sembuh dari sakitnya," kata Syamsimar. Buktinya, kasus Susi dan Tuti tadi. Syahniar tentu saja terkejut. Untuk membuktikan tuduhan itu, suatu malam, ia masuk ke kamar suaminya. Ternyata Syamsimar benar. Suaminya itu mampu "melayaninya". Mulailah Syahniar mengusut Oeyun. Saya pernah mimpi, Udo menzinahi Susi dan Tuti," katanya. Oeyun tertawa. "Itu kan cuma mimpi, mana bisa dipercaya," jawab Oeyun. Tapi, bagi Ujang, 40 tahun, ayah Susi, kejadian itu sangat merisaukan. "Kami khawatir akan jatuh korban lainnya," kata Ujang kepada TEMPO. Maka, 28 Maret 1987 malam, Oeyun dibawa ke dalam rapat keluarga. Di hadapan 10 orang anggota keluarga, Oeyun, yang semula membantah, akhirnya mengakui kesalahannya, begitu dikonfrontir dengan Susi. "Maafkan saya, Ujang. Saya memang melakukannya," kata oeyun, tanpa berani mengangkat wajahnya. Menurut Oeyun, dia nekat melakukan perbuatan kotor itu untuk mengobati penyakit lemah syahwatnya. "Begitulah dukun mengajarkannya kepada saya," tutur kakek itu. Musyawarah belum selesai, Oeyun keluar dari rumah itu. Tapi, begitu ia sampai di halaman, Ujang, bersama dua kerabat lain, Muasril dan Suparman--ketiga nama terakhir ini disidangkan terpisah - mengeroyok Oeyun hingga pensiunan peltu. TNI itu tumbang lalu pingsan. Dengan silet, Syahniar memotong urat nadi tangan suaminya itu. Oeyun, penerima bintang gerilya itu, pun tewas. Untuk menghilangkan jejak, konon - begitu tuduhan jaksa - Syahniar dibantu para kerabatnya menggantung korban di kamarnya, agar dikira bunuh diri. Ternyata, sandiwara itu kurang rapi. Sebab, ketika korban ditemukan, lidah mayat tak terjulur, dan kakinya menyentuh kasur tempat tidur. "Syahniar malu kepada orang sekampung," begitu kesimpulan polisi. Benarkah tuduhan itu? Syahniar bersama ketiga kerabatnya di sidang membantah tuduhan itu. "Suami saya bunuh diri," katanya. Mereka menuduh polisi telah membuat skenario atas kasus itu. "Kami dipaksa polisi untuk mengaku seperti itu," kata Ujang, Muasril, dan Suparman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus