RESAH. Sebagian malah gundah. Mereka, pilot-pilot Garuda, bahkan ada yang capek menunggu perubahan. Tahun 1985, ketika Lumenta masih menjabat Dirut Garuda, perubahan itu memang sudah dijanjikan. Tapi kini, empat tahun kemudian, segalanya masih tetap iming-iming. Sekalipun begitu, di sela harapan yang samar-samar, para penerbang Garuda masih membayangkan bahwa perjuangan mereka untuk sistem kepangkatan dan penggajian yang lebih baik - bisa tercapai. Hingga kelak kalau pulang ke rumah, mereka bisa bersiul lebih nyaring. Tapi kalau tidak berhasil, bagaimana? Apakah mereka pindah ke maskapai penerbangan asing? Semua itu masih tanda tanya besar. Seperti diketahui, enam penerbang eks Garuda kini telah duduk di kursi pilot pesawat Malaysan Airline System (MAS) dan perusahaan pesawat carter Gatari. Loncat dari Garuda bukanlah hal yang mustahil. Peluang untuk itu kalaupun tidak sangat besar, tapi ada. Menurut seorang pilot, saat ini ada sekitar 25 pilot senior yang sudah melayangkan surat lamaran ke perusahaan penerbangan Singapore Airlines (SIA). Padawaktu bersamaan, maskapai penerbangan Malaysia, MAS (Malaysian Airline System), juga sedang mencari pilot tambahan. Kini, ketika bisnis penerbangan mengalami panen raya, kebutuhan akan tenaga pilot jelas meningkat. Apalagi pangsa pasar Asia-Pasifik juga sangat cerah. Dan kebutuhan akan pilot berpengalaman sangat dirasakan oleh SIA, maskapai penerbangan di Asia yang mencatat prestasi terbaik. Tak salah bila SIA bergerilya, mencari tenagatenaga pilot berpengalaman, yang memang merupakan tulung punggung perusahaan penerbangan di mana pun di dunia. Kalau tak salah, sejak satu bulan berselang, sebuah selebaran empat halaman dari SIA beredar di kalangan pilot Garuda. Brosur itu berisi keterangan tentang berbagai fasilitas dan besarnya gaji untuk para penerbang di sana. Jumlah dan mutunya memang lebih baik dari yang diperoleh pilot Garuda Angin surga yang ditiupkan MAS lain lagi. Maskapai ini dalam waktu dekat akan menambah jumlah armadanya dengan enam unit Boeing 747, 16 Boeing 737, dan sembilan Fokker 50. Total akan ada 31 pesawat MAS yang baru. Dengan melebarnya sayap MAS, tak dapat tidak armada pilot mesti ditambah, begitu pula engineer dan awak pesawat lainnya. "Pencarian technical crew ini tidak terbatas dari Malaysia saja," kata Wan Mohd. Mokhter A. Latiff, area manager MAS di Jakarta. "Karni juga mencarinya di negara lain, termasuk Indonesia," ujarnya terus terang. Bagaikan botol ketemu tutup, maka adalah wajar jika pilot Garuda mengincar lowongan di MAS. Seperti orang-orang lain juga, mereka ingin gaji yang lebih pantas. Dan tidak semata-mata itu. Mereka memperjuangkan status. Seorang pilot senior Garuda menjelaskan bahwa mengingat fungsinya yang vital, maka kedudukan penerbang harus dibedakan dari posisi pekerja darat. Seperti banyak rekannya, ia tidak bisa menerima peraturan yang berlaku sekarang, yang menetapkan imbalan lebih besar untuk orang darat, sementara perolehan pilot lebih kecil. Singkatnya, ada ketidakpuasan yang berlarut-larut. Manajemen Garuda, yang sudah sejak awal mengendus gejala itu, lantas membentuk sebuah tim. Terdiri dari empat orang pilot, tim yang diberi nama "Tim Evaluasi Pekerjaan" ini dibentuk akhir tahun lalu. Tugasnya, mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang sistem kepegawaian, yang dipakai di berbagai maskapai penerbangan asing. Hasil kerja tim ini dua bulan lalu sudah dipaparkan di hadapan direksi Garuda. Dalam presentasi itu dikemukakan bahwa pilot harus menduduki posisi teratas. Baru setelah itu menyusul direksi (tidak termasuk dirut), bagian teknik, staf dan terakhir orang-orang ground - di sini termasuk bagian kargo dan pasasi. "Itu merupakan hal-hal umum, yang dilakukan oleh hampir semua alrline di seluruh dunia," kata sang penerbang. Jadi, menurut yang empuaya cerita, tanpa membentuk tim pun sebenarnya manajemen Garuda sudah mengetahui betul soal jenjang karier tersebut. Tapi, entah mengapa, laporan ini tidak digubris. "Makanya, banyak pilot yang resah. Sebab, persoalannya kini tinggal tergantung pada manajemen," katanya. Apalagi ada janji manajemen - dari periode Lumenta - yang belum terpenuhi. Tak heran hila keresahan menjadi-jadi. Apalagi kalau diingat-ingat, tahun 1985 R.A.J. Lumenta menaikkan gaji semua karyawan sebanyak 70%. Selain itu, Lumenta menjanjikan gaji pilot akan ditinjau kembali tiga tahun kemudian, 1988. Bahkan Lumenta berjanji, kenaikan itu besarnya tidak akan kurang dari 50%. "Tapi saya tidak tahu, apakah itu yang menjadi sebab keresahan pilot sekarang," ujar mantan Dirut Garuda yang kini memasok suku cadang buat pesawat Garuda itu. Tampaknya, bukan janji itu benar yang bikin resah. Tapi adanya ganjalan lain, yakni kebijaksanaan direksi di bawah kepemimpinan Soeparno. Direksi membuat keputusan yang mengejutkan: golongan kepegawaian pilot akan diturunkan. Sebelumnya, pilot menduduki peringkat golongan 8-16 - di Garuda ada 17 golongan. Tapi dalam sistem kepangkatan yang baru, karier pilot akan terpatok pada golongan 14. Sialnya, kata seorang kapten penerbang, keputusan itu akan diberlakukan surut. Ini berarti, seorang pilot yangberada di golongan 16 akan turun pangkat ke golongan 14. Pilot-pilot di bawahnya juga akan mengalami penurunan golongan dua tingkat. Ini kan ibarat brigadir jenderal yang merosot jadi letnan kolonel. Benar-benar runyam. Sudah gaji tak naik, pangkat pun ikut terancam. Merasa sangat dirugikan, kubu pilot melancarkan protes, hingga sistem kepangkatan baru itu batal. Tak urung banyak pilot yang merasa kecut, gara-gara langkah manajemen yang tidak bijak itu. "Bayangkan, kalau seorang pilot Garuda sudah pindah ke perusahaan penerbangan carter, seperti yang baru terjadi. Itu kan namanya keterlaluan," kata pilot lainnya. Tak dikatakannya bahwa perusahaan penerbangan carter itu - yang kelasnya jauh di bawah Garuda - ternyata mampu memberikan gaji lebih baik untuk penerbang. Lantas apa kata Direksi Garuda? "Itu hanya miscommunication," komentar Sunarjo, Direktur Niaga Garuda Indonesia, mewakili Dirut Soeparno yang sedang ke luar negeri. Dia membantah bahwa gaji pilot lebih rendah ketimbang gaji pekerja darat. Jangan membandingkan orang darat yang sudah bekerja 32 tahun dengan pilot yang baru lima tahun, dong, ujarnya. "Perbandingan itu harus apple to apple," katanya tegas. "Lagi pula, sudah sejak lama pilot mempunyai struktur gaji sendiri. Yang tak sama dengan penggolongan 1 -- 17 itu," ia menambahkan. Sunarjo mengakui, kalau dibandingkan perusahaan penerbangan asing, pendapatan pilot Garuda lebih rendah. Tapi, itu tidak bisa dijadikan patokan. Sebab, lingkungan kerjanya lain. Dia pun lalu bertanya, "Apa pantas kalau pilot kita gajinya Rp 10 juta sebulan?" Alasannya. Garuda adalah BUMN. Kalau gaji pilot "sangat dilainkan", bisa timbul kesenjangan yang mencolok. Lagi pula, "Di lingkungan Garuda sendiri, gaji pilot itu sudah yang tertinggi," ujarnya. Tapi direktur yang satu ini, tampaknya, kurang teliti. Kendati menuntut kenaikan gaji, para pilot tidak menuntut agar gajinya disamakan dengan penerbang di maskapai asing. "Kami hanya minta gaji yang wajar. Artinya, tak perlu sama dengan penerbang asing," kata seorang kapten DC-10. Sang kapten lalu menegaskan bahwa yang namanya pilot itu membawa nama perusahaan, kalau bukan nama negara. Misalkan seorang pilot yang ketika mengemudikan mobil bertabrakan dengan kendaraan lain. Tak usah fatal, ya sekadar menyenggol. Maka, orang akan ngomong "Nyetir mobil saja nggak becus. Apalagi nyetir kapal." Nah, sementara lingkungan menuntut sang pilot berstandar internasional, tapi gajinya berstandar lokal. Inilah juga yang bikin lemah semangat kerja. Dan bisa memudarkan loyalitas. Agaknya, hal-hal seperti itu perlu dipertimbangkan lebih serius oleh Direksi Garuda. Memang Garuda memiliki 615 pilot tapi 25 pilot yang sudah mengajukan lamaran ke SIA itu merupakan pilot canggih dengan pengalaman di atas 15 tahun. Tentu, tidak ada karyawan yang tidak bisa digantikan, tapi pilot yang 25 itu bisa digolongkan aset perusahaan. Jam terbangnya tinggi, kemampuannya sudah sangat teruji. Lagi pula, mempertahankan yang sudah ada agaknya lebih mudah - dan lebih murah - daripada mendidik yang baru. Bukankah proses pencetakan pilot baru, selain mak,an waktu panjang, biayanya juga besar? Tampaknya, manajemen Garuda sedang mengalami pilihan berat. Sementara itu, buat 25 pilot yang akan menyeberang itu, masalahnya lebih sederhana. Buat mereka perubahan nasib itu harus kini, atau tidak sama sekali.Budi Kusumah, Yopie Hidayat, Liston P. Siregar, Sidartha Pratidina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini