TIGA orang ahli geologi dari Puslitbang Geologi di Bandung, pekan-pekan ini, terpaksa duduk sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri Bandung. Mereka adalah Dr. Chaerul Amri (39 tahun) dan Ir. Ichsan Umar (41 tahun) -- keduanya adik kakak -- serta Ir. Marzuki Sani, 45 tahun. Mereka dituduh telah membocorkan rahasia negara -- memberikan benda-benda yang bersifat rahasia pertahanan atau keamanan Indonesia kepada orang lain yang tak berwenang. Sidang pertama, yang digelar Senin pekan lalu dengan terdakwa Ir. Marzuki, mendapat perhatian besar pegawai geologi. Menurut Jaksa Salman Maryadi, Marzuki telah menyerahkan foto-foto udara Irian Jaya kepada Chaerul dan Ichsan. Padahal, foto-foto tersebut merupakan data strategis bagi pertahanan keamanan negara Indonesia. Perbuatan itu dilakukan, "tanpa izin Panglima ABRI cq Kepala Pusat Survei dan Pemetaan ABRI," kata Salman. Foto-foto tersebut adalah hasil pemotretan Indonesia-Australia Mapping Project (IAMP), proyek kerja sama pemetaan geologi wilayah Irian Jaya. Dalam proyek yang dikerjakan pada 1978 itu, Indonesia diwakili Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G), sedang Australia diwakili Bureau of Mineral Resources (BMR). Baik Chaerul maupun Ichsan adalah anggota tim IAMP. Lewat foto udara tersebut, bisa diperkirakan struktur geologinya. Menjelang proyek berakhir, Desember 1989, Chaerul meminjam foto udara Irian Jaya dari BMR sebanyak 1.426 lembar. Tak hanya itu, Chaerul dan Ichsan, yang mempunyai perusahaan sampingan berupa konsultan geologi yaitu PT Gestrindo Utama di Bandung, juga menghubungi Marzuki untuk mengambil foto-foto udara Irian Jaya dari P3G. Atas pesanan itu, menurut Jaksa Salman, pada Maret 1990, Marzuki menyerahkan 700 foto kepada Chaerul dan Ichsan. Imbalannya, ia menerima Rp 2,1 juta. Sebulan kemudian ia kembali menyerahkan 1.100 lembar foto, dan mendapat imbalan Rp 3,3 juta. Lalu, Juli 1990, Marzuki kembali menyerahkan 1.200 lembar dengan imbalan Rp 1,5 juta. Oleh Chaerul dan Ichsan, foto dari Marzuki direproduksi dan "dijual" kepada PT Freeport Indonesia (perusahaan tambang emas dan tembaga) dan PT Esso Indonesia (perusahaan tambang minyak). Penyelewengan itu terungkap sewaktu foto udara diserahkan dan BMR ke P3G pada Desember 1989. Ternyata, ada foto yang tak lengkap. "Dalam proses serahterima itulah diketahui bahwa potret udara untuk geologi ada yang hilang," kata Kepala P3G, Dr. R.A.B. Sukamto. Polisi kemudian menangkap Chaerul dan Ichsan pada 4 Oktober 1990, dan Marzuki ditangkap dua hari kemudian. Kepada polisi, mereka mengaku menerima imbalan sekitar Rp 250 juta dari PT Freeport dan PT Esso. "Tapi mereka baru menerima sebagian," kata Kapolda Jawa Barat, Mayjen. Sidharto. Semula kasus ini diklasifikasikan subversi. Tapi, menurut sumber TEMPO, belakangan tuduhan subversi digugurkan karena kasusnya tak berlatar belakang politik -- hanya bermotifkan uang. Di persidangan, jaksa hanya menuduh mereka dengan pasal pencurian, penggelapan, dan menjual benda rahasia negara. Atas tuduhan itu, Marzuki, yang didampingi pembela Ruslan Pauleban, keberatan. "Perbuatan mereka belum berbahaya dan belum mengganggu stabilitas nasional," kata Ruslan. Sementara itu, Marzuki berdalih bahwa peminjaman foto udara antar-karyawan di instansinya sudah biasa. "Pinjaman bisa dilakukan hanya dengan secarik bon tanpa prosedur," katanya. Menurut sebuah sumber, berpindahnya foto-foto udara itu sebenarnya diketahui pihak P3G. Artinya, foto yang berada pada Chaerul dan Ichsan itu resmi dipinjam. Entah kenapa kedua orang itu belakangan malah diadukan seolah-olah mencuri. Juga, pengambilan foto-foto dari BMR, kabarnya, diketahui pimpinan BMR, Mr. David Trail. Yang tak kalah penting, jika terdakwa dituntut secara hukum, seharusnya PT Freeport dan Esso juga diseret ke persidangan. Sebab, mereka bisa dituduh sebagai penadah. "Ini masalah persamaan di depan hukum, Iho," kata sumber tersebut. WY, Hp. S., dan Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini