KEJAKSAAN hampir dapat dipastikan akan mempertahankan wewenangnya menyidik tindak pidana khusus seperti kasus korupsi, subversi, dan pidana ekonomi. Dukungan menentukan datang dari Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Dalam "urun rembuk"-nya dengan DPR, Senin dua pekan lalu, Ikahi sependapat dengan pihak pemerintah -- sesuai dengan RUU Kejaksaan -- memberikan wewenang menyidik tindak pidana khusus kepada kejaksaan. Sementara itu, penyidikan tindak pidana umum, seperti kasus pencurian, perkosaan, dan penggelapan, sepenuhnya wewenang Polri. Pendapat Ikahi itu menjadi penting karena selama ini banyak pihak, termasuk anggota DPR, menilai wewenang khusus kejaksaan dalam RUU itu bertentangan dengan hukum acara pidana (KUHAP). Menurut mereka, KUHAP tegas-tegas menganut asas Polri sebagai penyidik tunggal, baik untuk tindak pidana umum maupun khusus. Artinya, jaksa hanya bertugas menuntut dan tak berwenang menyidik. Menurut Ketua Umum Ikahi, A. Soedjadi, wewenang khusus kejaksaan itu sama sekali tak menyimpang dari KUHAP. Bahkan wewenang kejaksaan itu masih dicantumkan di dalam ketentuan peralihan (pasal 284 KUHAP). "Sesungguhnya, kita memang tak mengenal dan tak bermaksud adanya penyidik tunggal," kata Soedjadi, yang sehari-hari hakim agung itu. Selama ini, berdasarkan pasal 284 KUHAP itu, kejaksaan memang masih mengusut kasus-kasus korupsi seperti kasus korupsi Bank Duta dan berbagai kasus subversi. Namun, menurut pihak yang menentang, wewenang khusus kejaksaan dalam pasal peralihan KUHAP itu hanya bersifat sementara. Padahal, kata Kepala Staf Ahli Kejaksaan Agung, Soehadibroto, di banyak negara, misalnya Amerika Serikat, Korea, dan Jepang, wewenang menyidik itu tak aneh dimiliki kejaksaan. Apalagi, sambung Soehadibroto, yang juga salah seorang konseptor undang-undang itu, wewenang khusus kejaksaan ini diakui Kongres PBB tentang pencegahan kejahatan di Havana, Kuba, pada 27 Agustus-7 September 1990. Kendati mendukung pengakuan wewenang kejaksaan untuk menyidik, Ikahi tak setuju dengan pasal 32 (1) b RUU tentang wewenang jaksa agung menyidik perkara tertentu yang ditetapkan presiden. Pasal itu, menurut Ikahi, sebaiknya dihapuskan saja. Sebab, kata Soedjadi, pasal itu bisa mempengaruhi proses peradilan dan kebebasan hakim. Kecuali soal "izin presiden", Ikahi juga berpendapat agar pasal tentang wewenang jaksa mewakili negara ataupun instansi pemerintah dalam berbagai perkara perdata dan sengketa TUN dicabut saja. Sebab, kata Soedjadi, wewenang berdasarkan Staatsblad tahun 1922 ini sudah tak layak lagi dipertahankan. Bukankah kini sudah banyak advokat, termasuk berbagai biro hukum di setiap instansi pemerintah. Tentang Pasal 32 (1) b, Soehadibroto menambahkan bahwa ketentuan baru itu tak lain dari upaya pemerintah mengantisipasi berbagai kemungkinan yang bakal timbul dalam perkembangan hukum di Indonesia. Apa perkara tertentu itu dan siapa pelakunya, sambungnya, tentu tergantung pertimbangan presiden, berdasarkan kepentingan umum ataupun pembangunan. Agaknya, ketentuan izin presiden itu dimaksudkan pembuat RUU jika Ketua Mahkamah Agung, menteri, Ketua BPK, Ketua MPR akan diusut kejaksaan. Soalnya, selama ini peraturan perundangan hanya mengatur izin presiden bila yang akan diusut adalah anggota DPR, BPK, hakim agung, atau gubernur. Nah, bila anggota DPR saja punya "keistimewaan", mengapa pejabat tinggi pemerintah dan negara tak boleh?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini