Pasal-pasal yang dituduhkan kepada Arswendo ternyata menjadi debat pakar hukum. Sebuah kerja berat buat hakim. BANYAK orang telah menuduh Arswendo Atmowiloto menghina Nabi Muhammad saw. Padahal, tak satu pun pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur delik penghinaan terhadap Tuhan, nabi, bahkan pemuka agama. Karena itu, pihak kejaksaan terpaksa memakai pasal delik penyebar kebencian/ penghinaan (haatzaai) terhadap golongan dan agama penduduk di Indonesia (pasal 156 dan 156 a huruf a KUHP) untuk menyeret Wendo ke pengadilan. "Dakwaan itu sudah pas. Nabi Muhammad saw. kan identik dengan akidah agama Islam," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Gagoek Soebagijanto, kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Artinya, karena Wendo dianggap menghina Nabi Muhammad, ia sekaligus ditafsirkan menghina agama Islam. Tegasnya, Wendo dituduh Jaksa Soeryadi melanggar pasal 156 KUHP, yang berbunyi: "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500." Selain itu, Wendo juga didakwa melakukan "penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia", dengan ancaman maksimum 5 tahun penjara (156 a huruf a KUHP). Dengan demikian, kejaksaan memakai penafsiran ekstensif untuk mengadili Wendo. Coba saja, kata Gagoek, Nabi Muhammad tegas-tegas terkandung dalam rukun Islam yang pertama (kalimat syahadat). "Jadi, Nabi Muhammad tak bisa dipisahkan dengan akidah Islam," tambahnya. Karena itu, sebagaimana dakwaan Jaksa Soeryadi W.S., angket "gado-gado dan iseng" Wendo di Monitor (sebutan jaksa untuk angket tersebut), yang merendahkan martabat Nabi Muhammad, jelas menghina agama Islam. Nah, agama Islam dipeluk dan dianut sebagian besar golongan penduduk di Indonesia. Dengan begitu, dalam dakwaan Soeryadi, Wendo juga telah menghina umat Islam. Kejaksaan sangat yakin bahwa Wendo sengaja menghina agama Islam. Buktinya, kata Jaksa Soeryadi W.S., sewaktu angket itu akan dimuat sebetulnya dua orang bawahan Wendo, yakni wakil pemimpin redaksi Monitor Tavip Riyanto dan staf redaksi Halim Hasan, telah memperingatkan Wendo agar nama Nabi Muhammad tak usah dicantumkan. Namun, waktu itu, kalau dakwaan jaksa benar, Wendo mengatakan bahwa angket itu hanya main-main alias iseng. Paling-paling, kata Wendo -- seperti dikutip jaksa -- angket itu nantinya hanya menjadi bahan tertawaan. Prof. Oemar Senoadji, yang bertindak sebagai pengacara Wendo, tak sependapat dengan konstruksi dan penafsiran kejaksaan atas pasal 156 KUHP. Persoalannya, kata guru besar hukum pidana FH Universitas Indonesia ini, "Di pasal 156 KUHP itu ada atau tidak kata 'nabi'," kata Oemar yang kini aktif di dunia pengacara. Sementara itu, guru besar hukum pidana FH Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof. Muladi, mengkritik rumusan pasal 156 KUHP itu sebagai rumusan yang kurang tajam. Akibatnya, pasal yang disebutnya "pasal karet" itu bisa ditafsirkan secara luas. Penafsiran tentang istilah agama, misalnya. "Apakah itu agama an sich atau termasuk lembaga agamanya, seperti kitab suci dan nabi?" kata Muladi. Dekan FH Undip itu juga mengkritik rumusan unsur penghinaan dalam pasal 156 KUHP. Rumusan unsur itu dianggapnya terlalu luas, yakni bisa menyatakan permusuhan, kebencian, atau meremehkan. Karena rumusan yang terlalu luas ini pula, di Belanda sendiri, pasal 156 KUHP itu -- berasal dari British Indian Code Penal pada 1915 -- kini sudah dihapus karena dianggap bertentangan dengan hak menyatakan pendapat. Masalahnya, menurut Oemar Senoadji, yang bekas Ketua Mahkamah Agung dan menteri kehakiman itu, tak hanya kurang tajamnya rumusan pasal 156 KUHP. Namun, lebih dari itu, yakni kurang lengkapnya KUHP memuat berbagai delik agama, termasuk penghinaan melalui pers. Memang, selain pasal 156 itu, seperti ditulis Oemar dalam bukunya Pers. Aspek-aspek Hukum (1977), dalam KUHP juga ada delik agama (pasal 175 sampai 181 KUHP). Namun, itu semua, tulisnya, obyek hukum pidananya menyangkut manusia dan benda peribadatan saja. Yang lebih penting untuk dilindungi adalah Tuhan, nabi, kitab suci, dan sistem/lembaga agamanya. Sebab itu, Oemar menyarankan agar delik agama tersebut dibuatkan undang-undang tersendiri. Bisa juga, ujarnya lagi, dimasukkan dalam bab tersendiri dalam KUHP mendatang, seperti di AS dan Inggris. Bahkan di banyak negara lainnya -- Jerman, Belanda, Mesir, Swiss -- delik agama tersebut dituangkan secara khusus dalam undang-undang pers mereka. Menurut Prof. Muladi, apa yang diutarakan Oemar itu memang akan dimasukkan ke dalam RUU KUHP, pengganti KUHP yang kini masih digodok di Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Berbagai delik agama itu, kata anggota tim penyusun RUU KUHP itu, akan dijadikan bab tersendiri, setelah bab tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. KUHP yang sekarang, menurut Muladi lagi, memang berkesan merendahkan agama. Sebab, delik agama tersebut di KUHP hanya merupakan bagian dari kejahatan terhadap ketertiban umum. Lebih dari itu, yang ditonjolkan hanya masalah mengganggu ketenteraman hidup beragama atau perasaan keagamaan. "Tapi agamanya sendiri, termasuk perangkat nabi, kitab suci, dan lembaganya, sebagai satu kepentingan hukum yang utuh belum dilindungi," kata Muladi. Nah, sementara calon pengganti KUHP itu masih digodok, penerapan pasal 156 KUHP tadi, ya, mau tak mau tergantung pandai-pandainya majelis hakim menafsirkannya. "Hakim tentu bisa menggunakan saksi ahli untuk mengetahui persis apa yang dimaksud agama dalam pasal 156 KUHP itu," ujar Muladi. Selain berpedoman pada ilmu penafsiran, sebenarnya hakim bisa berpedoman pada yurisprudensi yang ada. Repotnya, sampai kini belum ada sebuah pun yurisprudensi yang bisa dipakai untuk rujukan terhadap penerapan pasal 156 tersebut. Pada 1969, pasal 156 KUHP itu pernah menimpa "paus sastra Indonesia", H.B. Jassin. Jassin diadili dengan pasal itu gara-gara kasus cerpen Langit Makin Mendung karangan Kipandjikusmin -- hingga kini hanya Jassin sendiri yang tahu siapa pengarang ini sebenarnya -- di majalah bulanan Sastra edisi Agustus 1968. Pada 1970, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis pemimpin redaksi Sastra itu 1 tahun penjara dalam masa percobaan 2 tahun. Jassin, kini berusia 74 tahun, naik banding. Tapi, begitu ditulis Darsjaf Rahman dalam bukunya Antara Imajinasi dan Hukum (1986), sampai sekarang salinan vonis pengadilan negeri itu belum diterima Jassin. Bahkan, tulisnya, bagaimana bunyi dan pertimbangan keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta hingga dewasa ini juga tak ada kabarnya. Tak hanya dalam menafsirkan pasal 156 dan pasal 156 a huruf a KUHP itu saja hakim dituntut kearifannya. Selain dengan pasal tersebut, secara kumulatif Wendo juga dijaring dengan pasal 157 (1) KUHP, yang merupakan delik penyebaran/penyiaran penghinaan terhadap golongan penduduk (dengan ancaman maksimum 2 tahun 6 bulan penjara atau denda Rp 4.500). Ada lagi tuduhan pelanggaran terhadap fungsi dan kewajiban pers, dengan ancaman maksimum 1 tahun penjara (Undang-Undang Pokok Pers No. 21/1982). Ternyata, setelah angket itu menjadi kasus, menurut jaksa, Wendo sebagai pemimpin redaksi tak melimpahkan tanggung jawab pidana kepada siapa pun. Artinya, jaksa menuntut pertanggungjawaban pidana Wendo secara formal, sesuai dengan Undang-Undang Pokok Pers -- pelaku dan penanggung jawab bisa berbeda. Namun, di sisi lain jaksa juga menarik Wendo dengan sistem pertanggungjawaban pidana secara materiil sesuai dengan KUHP, yaitu sebagai pelaku, sekaligus yang menyuruh dan turut serta. Kombinasi sistem pertanggungjawaban pidana menurut Undang-Undang Pokok Pers dan sistem KUHP ini pula yang dipersoalkan tim pembela Wendo dari kantor pengacara Prof. Oemar Senoadji. Menurut tim pembela itu, lewat eksepsi yang disampaikan pada Senin pekan ini, pencampuran kedua sistem itu jelas mengakibatkan kaburnya dakwaan jaksa. Menariknya lagi, kejaksaan juga meramu dakwaannya dengan prosedur kerja redaksi. Jaksa Soeryadi, misalnya, menyatakan bahwa baik gagasan, proses, maupun realisasi artikel hasil angket itu digarap Wendo tanpa dikonsultasikan lebih dahulu kepada pemimpin umum ataupun dewan redaksi lainnya. Dakwaan jaksa tentang aturan main dunia pers itu terasa agak janggal. Sebab, hampir semua orang yang terlibat di dunia pers tahu bahwa aturan main kalangan pers berbeda dengan instansi resmi. Seorang pemimpin redaksi, bahkan seorang redaktur pelaksana, berwenang menurunkan tulisan tanpa harus minta izin dahulu kepada atasannya. Wendo, yang waktu itu menjabat pemimpin redaksi, jelas berwenang penuh atas segala hal yang menyangkut masalah redaksi. Berat, memang, beban yang harus dipikul majelis hakim yang diketuai Sarwono itu. Ia bukan hanya harus membedah pasal-pasal KUHP, tapi juga harus bisa memilah-milah Undang-Undang Pokok Pers. Hakim Sarwono sendiri tak banyak komentar. "Wah, saya nggak bisa menjelaskan sekarang, dong. Tunggu saja keputusannya nanti," kata hakim yang palu vonisnya kini dinanti banyak orang. Begitupun, selama 26 tahun menjadi hakim, Sarwono mengaku baru kali ini menangani kasus delik pers semacam Monitor. "Kalau kasus penghinaan agama dengan delik nonpers pernah beberapa kali saya tangani," katanya kepada Ivan Haris dari TEMPO. Karni Ilyas , Hp. S., Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini