Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dua dari tiga tak tahu

Dari hasil evaluasi balitbang dep p & k, bahwa tgk. penguasaan guru matematika sma tergolong rendah. sebagian mereka bukan lulusan jurusan matematika. para lulusan sma kurang berminat jurusan tersebut.

2 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA guru bermutu, muridnya mungkin akan maju. Namun, kalau guru tak tahu, bagaimana nasib anak didiknya? Jawabannya, menurut Departemen P dan K, memprihatinkan. Kebetulan departemen itu memang menemukan contohnya, yakni sebagian besar guru matematika SMA kurang tahu benar selukbeluk pelajaran yang dipegangnya. Hasil evaluasi Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K tahun lalu mencatat bahwa tingkat penguasaan guru matematika SMA tergolong payah. Padahal, kriteria penelitian pelajaran matematika sudah dibuat enteng. Menurut Dr. Sumardi Hadi Subroto, Kepala Pusat Penelitian, batas minimal yang dipakai adalah 75%. Artinya, kalau mereka mampu menguasai 75% dari kurikulum 1985 saja, sudah dianggap lumayan baik. Namun, kenyataannya sungguh mengagetkan. Untuk meraih angka 75% saja, kata Sumardi, mereka kedodoran. Secara rata-rata daya serap para guru hanya 67%. Dan, yang memenuhi kriteria minimal menyerap 75% hanyalah 33%. Artinya, kemampuan dua dari tiga guru matematika SMA wajib dipertanyakan. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen P dan K itu tampaknya cukup mendekati kenyataan. Responden sebanyak 126 guru matematika dari 40 SMA yang dianggap mewakili provinsi maju, sedang, dan kurang. Daerah yang dipilih antara lain Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Penelitian itu meliputi tiga bagian. Pertama, berupa tes kemampuan daya serap guru terhadap kurikulum 1985 yang dilakukan dengan menggunakan tes pemahaman materi secara tertulis, kuesioner untuk guru dan kuesioner bagi kepala sekolah. Tes tertulis berbentuk check point itu terdiri dari 50 soal yang harus diselesaikan selama 120 menit. Kuesioner guru dimaksudkan untuk merekam latar belakang si guru. Sedangkan kuesioner kepala sekolah untuk mengetahui sarana yang ada di sekolah. Dari hasil penelitian, kata Sumardi, tergambar bahwa sebagian guru tak punya latar belakang lulusan matematika. Ada yang ber- pendidikan teknik atau ilmu lainnya. "Itu banyak terjadi di daerah-daerah," katanya. Rendahnya mutu guru matematika SMA itu, menurut Drs. Wirasto, salah seorang pendekar matematika yang ikut memperkenalkannya di Indonesia, disebabkan, antara lain, jurusan matematika kurang diminati siswa top lulusan SMA. "Juga karena banyaknya lulusan guru yang katrolan," kata dosen MIPA UGM itu pada TEMPO. Agaknya, bukan cuma soal guru katrolan yang menjadi masalah. Yusuf Solihin, Dekan FMIPA IKIP Bandung, menunjuk gejala bahwa banyak lulusan calon guru yang baik lebih suka menjadi staf dosen, bukan terjun sebagai guru di SMA. Dengan demikian, katanya, SMA hanya kebagian guru-guru yang kurang bermutu. Yang mungkin membuat lebih runyam, kata Yusuf, guru-guru sekarang tak hanya mengajar di satu kelas. Rata-rata seorang untuk empat sampai lima kelas. Belum lagi kalau ada yang ngobyek mengajar di sekolah swasta. Kesibukan mengajar ini kemudian membuat si guru tak sempat mendalami ilmunya. Ada lagi "kambing hitam" yang dianggap membuat mutu guru matematika merosot. Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion melihat terlalu banyak beban administrasi di pundaknya. Misalnya mereka harus mengurus status, gaji, dan membuat laporan. Belum lagi, kekangan berupa garis besar program pengajaran yang harus diikuti. Matematika sejak diterapkan 20 tahun lalu memang sudah mengundang pro dan kontra. Matematika modern ini pertama kali dicoba 1968 di SMA Yogyakarta dan Jawa Tengah. Akhirnya, 1970, matematika modern untuk SMA bisa diterima oleh Departemen P dan K. Waktu itu, kata Prof. Soehakso, salah seorang pakar matematika yang ikut memperkenalkan pelajaran itu di Indonesia, "Saya sudah mengingatkan bahwa ada daerah rawan dalam pendidikan matematika ini, yaitu guru dan murid," katanya. Menurut pensiunan guru besar UGM ini, dalam memperkenalkan matematika pihaknya sudah cukup hati-hati. Semua buku yang disadur ketika itu, katanya, dari matematika paling sederhana. "Namun, buku hasil saduran itu ternyata juga masih terlalu sukar," katanya. Ketika itu, buku matematika tak boleh digunakan sebelum gurunya mengikuti penataran. Namun, kata Soehakso, sangat disayangkan karena penataran hanya berlangsung sehari. Jadi, kata guru besar MIPA UGM itu, penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K itu mungkin betul juga. Salah satu alasan, "Sekarang ini pertambahan murid dan pertumbuhan guru matematika yang bermutu tak sebanding," katanya. Dalam hal matematika, bila guru tak tahu, murid memprihatinkan, agaknya bisa dibuktikan. Tengok saja hasil olimpiade matematika tingkat dunia yang diikuti pelajar SMA. Indonesia selalu mendapat nomor buntut. Terakhir, 1990 di Beijing, menurut Prof. Andi Hakim Nasoetion, ketua seleksi tim matematika, Indonesia hanya memperoleh nomor dua dari bawah. Matematika modern, menurut Kepala Balitbang P dan K, Prof. Harsya W. Bachtiar, jika diajarkan ternyata tak memberikan keterampilan berhitung yang cukup bagi siswa. Masalah itu, katanya, belakangan baru diketahui. Malah di beberapa negara, pengajaran matematika sudah diubah lagi menjadi pelajaran ber- hitung yang ditambah dengan matematika. Diakui Harsya, matematika modern sangat diperlukan bagi siswa yang akan meneruskan ke perguruan tinggi. Padahal, katanya, tak semua murid dapat masuk perguruan tinggi. Dan tak semua lulusan SD-SMP bisa masuk SMA. Masih ada kemungkinan bahwa murid SD dan SMP tetap saja dengan pelajaran berhitung. Matematika baru diberikan di SMA. "Ini masih sedang dibicarakan. Yang jelas, Belanda, Inggris, dan beberapa sekolah di AS sudah beralih ke berhitung," katanya. Gatot Triyanto (Jakarta), R. Fadjri (Yogya), dan Ida Farida (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus