SUASANA tegang menyelimuti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu pekan lalu dan Senin pekan ini. Hampir seribu petugas keamanan -- 638 orang dari Polda Metro Jaya, 16 dari Polres Jakarta Pusat, dan 200 dari Kodam plus Kodim -- berpakaian dinas atau preman tampak berjaga-jaga. Sebagian petugas berbaur dengan pengunjung, sisanya siap siaga di halaman gedung pengadilan. Pengamanan sidang kali ini memang istimewa. Bahkan lebih ketat dibandingkan dengan, misalnya, persidangan kasus subversi H.R. Dharsono (Agustus 1985) atau persidangan kasus mayat potong tujuh (terdakwa Agus Naser, Oktober 1989). Semua pengunjung yang mendapat kartu hadir baru bisa masuk ruang sidang setelah melewati alat pendeteksi senjata api aparat keamanan. "Kami tak mau ambil risiko. Sebab itulah sejak subuh petugas keamanan sudah disiapkan," tutur seorang petugas keamanan berpakaian preman. Tersangka yang mendapat pengawalan ketat itu tak lain dari bekas pemimpin redaksi tabloid mingguan Monitor, Arswendo Atmowiloto, 42 tahun. Wendo -- begitu panggilan akrabnya -- yang sejak pagi sudah dibawa ke pengadilan, akhirnya muncul di ruang sidang melalui pagar betis petugas keamanan. Wendo, yang biasanya berpenampilan setel kendur dan suka bercanda, kali ini tampak serius. Ia mengenakan baju putih berlengan panjang agak dilipat dan celana cokelat, yang tersetrika rapi. Rambut Wendo, yang biasanya sedikit gondrong dan acak-acakan, kini dipotong pendek dan tersisir apik. Lelaki kelahiran Solo itu duduk tertib di kursi terdakwa sambil memangku sebuah catatan harian berwarna ungu. Di balik saku kemejanya terselip sebuah bolpoin putih dan kaca mata lipat ber-frame putih. Dengan tenang ia menyimak dakwaan setebal 27 halaman yang dibacakan Jaksa Soeryadi W.S. Intinya, Wendo dituduh menghina agama Islam karena menyiarkan angket "Kagum 5 Juta" Monitor, yang menghebohkan itu. Sesekali Wendo memandang ke arah Jaksa Soeryadi, misalnya ketika jaksa mengucapkan "tindakan itu jelas merupakan penghinaan terhadap agama". Sekitar 200 orang pengunjung tampak tumpah ruah di ruang sidang utama di lantai tiga gedung pengadilan itu. Puluhan orang yang tak memperoleh tanda masuk pengunjung terpaksa mengikuti persidangan melalui pengeras suara di halaman gedung pengadilan. Jumlah pengunjung ini tak sebanyak dugaan semula. Bahkan pada persidangan kedua, Senin pekan ini, ruang sidang tak sesak lagi. Jumlah petugas pun tak sampai separuh dari petugas sidang pertama. Mungkin karena amarah umat memang sudah turun atau mungkin pula gara-gara perhatian masyarakat sekarang tertumpah ke Perang Teluk. "Untunglah, saat ini lagi ramai-ramainya Perang Teluk," canda Hakim Sarwono, ketua majelis yang mengadili kasus Monitor. Kendati begitu, sisa keberangan massa masih tampak pada sidang pertama. "Saya memang ingin melihat langsung Arswendo, yang memecah-belah persatuan dan akidah Islam," kata seorang pengunjung berjilbab, Nur Qosidah, siswi kelas III SMA Kusuma Bangsa, Jakarta Pusat, sewaktu diwawancarai RCTI di luar ruang sidang. Sebagian massa menyoraki ketika, seusai sidang, Wendo digiring kembali oleh petugas ke mobil tahanan. "Allahu Akbar" dan "Gantung Wendo" teriak segelintir pengunjung. Namun, teriakan itu tak bersambut apa-apa. Kemarahan massa memang sudah jauh turun terutama dibandingkan dengan kegemparan akibat angket "Kagum 5 Juta" itu sepanjang akhir Oktober dan November silam. Kecelakaan itu terjadi ketika Monitor edisi 15 Oktober 1990 mengumumkan tokoh yang dikagumi pembaca Monitor, dengan judul "Siapa yang Paling Dikagumi..." dan "Ini Dia: 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca Kita". Dalam angket yang disiarkan tabloid beroplah sekitar 700.000 eksemplar itu, Nabi Muhammad saw. dipasang pada peringkat ke-11. Peringkat rasul itu ternyata berada di bawah peringkat Presiden Soeharto, Menristek Habibie, penyanyi Iwan Fals, bahkan persis di bawah Wendo, yang menduduki peringkat ke-10. Kemarahan masyarakat Islam meledak. Mereka menuding Wendo telah menghujat Nabi Muhammad saw. karena menyejajarkan Rasulullah dengan manusia-manusia biasa. Berbagai aksi protes kecaman, dan demonstrasi muncul di banyak kota. Bahkan kantor Monitor di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Pusat, diserbu dan dirusak massa. Wendo terpaksa minta maaf kepada umat Islam melalui TVRI dan iklan di sejumlah koran dan meminta perlindungan hukum ke Polres Jakarta Pusat. Belakangan, ia malah dicopot dari semua jabatannya di Gramedia, dipecat dari PWI, dan SIUPP Monitor dibatalkan. Semua itu belum cukup. Kini, Wendo, yang resminya ditahan sejak 26 Oktober 1990 -- sejak 22 Januari lalu ditahan di Rutan Salemba -- terpaksa duduk di kursi pesakitan. Jaksa Soeryadi, yang membawanya ke sidang, menuduh Wendo dari penghinaan ter- hadap golongan dan agama (pasal 156 dan pasal 157 KUHP), sampai Undang-Undang Pokok Pers tahun 1982. Menurut jaksa, lewat kasus angket tersebut, Wendo telah menghina agama Islam dan merendahkan derajat Nabi Muhammad saw. Bagaimanapun, "Nabi Muhammad sebagai Uswatun Hasanah adalah bagian pokok dari keimanan dan keyakinan agama Islam. Jadi, tak bisa disamakan atau disejajarkan dengan manusia biasa. Bahkan tak dapat disamakan atau diperbandingkan dengan rasul atau nabi pendahulunya," kata Soeryadi. Untuk membuktikan tuduhannya, Soeryadi akan menghadapkan di persidangan sekitar 23 orang saksi, termasuk dari PPP, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Pemuda Tarbiyah Islamiyah (IPTI), dan empat saksi ahli dari PWI, Departemen Penerangan, Dewan Pers, dan MUI. Wendo sendiri agaknya sulit berkomunikasi dengan wartawan karena selalu dikawal petugas. Namun, dalam pemeriksaan pendahuluan, Wendo mengaku tak berniat menyamakan Nabi Muhammad saw. dengan manusia biasa. Peringkat ke-10 itu, katanya, semata-mata berdasarkan kartu pos pengisi angket yang masuk ke redaksi Monitor. Toh Wendo, dalam pemeriksaan polisi, mengaku bersalah dan siap menerima sanksi hukuman apa pun. "Sebelumnya, saya tak berpikiran dan tidak menyadari bahwa masalah angket ini bisa menjadi suatu penghinaan terhadap umat Islam," kata Wendo di depan pemeriksa. Hal serupa juga diutarakan pengacara Wendo, Prof. Oemar Senoadji, sewaktu menjawab gugatan IPTI terhadap Monitor dan Wendo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Desember lalu. Wendo, menurut Soedirjo dan Wimboyono dari kantor Pengacara Prof. Oemar Senoadji, sama sekali tak bermaksud melanggar akidah umat Islam. Oemar sendiri mengaku mau membela Wendo semata-mata berdasarkan pertimbangan hati nurani karena tak ada pengacara yang berani menangani kasus unpopular itu. Pemberitaan angket itu, kata Soedirjo, tak lain karena keterbatasan pengetahuan Wendo akan akidah Islam. "Dia nggak ngerti, polos, tak ada pikiran lain. Kalau dia mengerti persoalan itu, mana berani dia memuat angket tersebut?" kata Soedirjo. Happy S., Wahyu Muryadi, Iwan Q. Himawan (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini