Departemen Transmigrasi menuduhnya menipu. Mahkamah Agung melakukan peninjauan kembali. Kini ia dikarantina Imigrasi. PERAWAKAN Kadarisman kecil. Ia mengaku sakit jantung dan gula. Pendengarannya juga tidak jelas. Usianya 62 tahun. Nama aslinya Khu Jun Teuw, atau Kho Peng, alias Khu Kusumah. Ia dituduh memalsukan kewarganegaraannya dan paspor. Itu sebabnya, sejak Maret silam, ia mendekam di Kantor Karantina Imigrasi, Kalideres, Cengkareng. Memang bukan itu saja kelicinannya. Kadarisman juga membuat gemas pihak Departemen Transmigrasi. Direktur Utama CV Setia Budi ini dituduh memanipulasi Rp 1,53 milyar uang instansi itu, selain tidak sah menerima ganti rugi Rp 39,7 juta dari Zeni AD. Bahkan, kreditnya macet Rp 2,1 milyar di BNI 1946. Kasusnya kontra Departemen Transmigrasi disidangkan Rabu pekan lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. November 1976 ia membuat perjanjian tentang mengganti dan melepas hak penghunian (ruitslag) dengan Departemen Transmigrasi. Di situ disebut: setelah membangun kantor Departemen Transmigrasi di Jalan M.T. Haryono, Jakarta, CV Setia Budi memperoleh imbalan hak hunian pada kantor di atas tanah 1.110 m2 di Jalan Veteran 4 Jakarta. Lima tahun kemudian, Kadarisman mau memperluas bisnis dengan membangun perkantoran swasta di tanah bekas Kantor Departemen Transmigrasi itu, tapi ia terbentur peraturan Pemda DKI Jakarta yang menyebutkan kawasan ini hanya untuk perkantoran pemerintah. Dalam perjanjian, ketika itu, ia katanya tak diberi penjelasan mengenai larangan dimaksud. Agaknya, Departemen Transmigrasi luput menjelaskan ketentuan Pemda DKI tadi. Maka, Mei 1985, Departemen Transmigrasi digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kadarisman meminta instansi pemerintah itu mengembalikan biaya yang dikeluarkannya ketika pembangunan kantor di Jalan M.T. Haryono tadi. Ia menuntut Rp 3,79 milyar, plus uang sewa Rp 27 juta per bulan. Namun, gugatan itu ditolak karena tidak memenuhi persyaratan formal. Kadarisman tak menyerah. Ia naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Lalu, Departemen Transmigrasi dihukum membayar Rp 7,2 milyar. Kemudian Menteri Transmigrasi bermusyawarah dengan dia. Hasilnya: disepakati ganti rugi yang dibayarkan kepadanya itu Rp 6,5 milyar. Menteri Transmigrasi mengajukan permintaan agar Departemen Keuangan melaksanakan pembayarannya. Namun, berdasarkan hasil penilaian pihak Departemen Keuangan, biaya pembangunan kantor yang dilakukan CV Setia Budi hanya Rp 2,2 milyar. Jadi, uang pengganti cukup Rp 2,2 milyar. Setelah uang itu masuk kantung pribadi Kadarisman, ia berjanji tak akan menuntut ganti rugi lagi. Selesai? Ternyata, tidak, karena belakangan datang putusan Mahkamah Agung (MA) yang menguatkan putusan Pengadilan Tinggi tadi. Departemen Transmigrasi bahkan harus membayar ganti rugi lebih besar, yaitu Rp 7,23 milyar. Berbekal keputusan MA itu Kadarisman mengingkari janjinya. Ia minta pembayaran ke Menteri Keuangan, tetapi Menteri Transmigrasi mencegah agar permintaan itu tidak dibayar Departemen Keuangan. Malah muncul fakta baru. Yaitu, ditemukan kuitansi Zeni AD yang menyatakan Kadarisman sudah menerima Rp 39 juta uang ganti rugi pengosongan gedung di Jalan Veteran itu. Dengan dipakainya gedung itu oleh Zeni AD, berarti ia telah menyetujui perjanjian antara dia dan Departemen Transmigrasi yang semula diributkannya. Bukti baru lain menyusul pula: adanya keterangan kontraktor yang menyebutkan CV Setia Budi tak membereskan pembangunan gedung Departemen Transmigrasi di Jalan M.T. Haryono, sedangkan ganti rugi itu diperoleh Kadarisman, katanya, karena ia memberi keterangan palsu. Luas tanah 1.110 m2 itu disulapnya 3.159 m2. Juga, luas gedung dan jumlah lantai digantinya. Terakhir, harga bangunan per meter persegi dimanipulasikan jadi 20 kali lipat. Bukti baru itu tentu menjadi senjata Departemen Transmigrasi ketika meminta pada MA melakukan peninjauan kembali. Peninjauan itu diterima, dan MA memutuskan Departemen Transmigrasi didenda Rp 742 juta, lebih kecil dibanding sebelumnya. Maka, instansi pemerintah itu menuntut Kadarisman mengembalikan kelebihan dana yang sudah telanjur dibayar Departemen Keuangan. "Kadarisman itu memang licin. Sekali tembak, ia menerima tiga keuntungan," ujar sumber TEMPO di Kejaksaan Agung. Pertama, ia memperoleh hak hunian. Kedua, meraup ganti rugi Rp 2,2 milyar. Ketiga, mendapat Rp 39 juta. Padahal, haknya hanya Rp 742 juta. Z.A. Maulani, Sekretaris Jenderal Departemen Transmigrasi, mengatakan bahwa Kadarisman itu pandai menipu. Di antaranya, ia membuat banyak perusahaan beralamat sama, padahal orangnya juga sama. Contohnya, CV Setia Budi, PT Semesta Motor, Fa Megaria, dan PT Niki Sahe. Komplotan Kadarisman terdiri dari kerabatnya. "Yang mencairkan dana Rp 2 milyar itu anak dan menantunya sendiri," ujar Maulani lagi. Namun, Departemen Transmigrasi menurut John Waliry, pengacara Kadarisman, sebenarnya salah tembak karena kalau instansi itu menuntut kelebihan pembayaran, mengapa tidak dilakukan teguran dahulu pada kliennya. "Bila ia tidak mau bayar, baru digugat," katanya. Toh ketika disidangkan, Kadarisman tenang. "Karena kasus ini, semua perusahaan saya ditutup izin usahanya. Rekening bank atas nama saya juga diblokir," katanya. Tentang "perang" dengan Departemen Transmigrasi, ia mengelak bicara banyak. "Yang dituduhkan pada saya itu tidak benar," ujarnya, lemah. Benar atau tidak, ternyata di persidangan itu hadir pula seorang staf Bank BNI 1946. "Ia nasabah kami yang kreditnya macet sejak 1974. Jumlahnya sekitar Rp 2,1 milyar. Kami belum menggugatnya," kata petugas bagian hukum yang enggan disebut namanya itu. Agaknya, Kadarisman kini membuat daftar antrean panjang para korbannya. Siapa lagi penggugat berikutnya terhadap dirinya? Gatot Triyanto dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini