Orang yang dicurigai justru dianiaya sebelum ada proses pengadilan. Dan ada polisi menyaksikan. KONDISI Herman Purba, 40 tahun, mengenaskan. Pemilik kebun sawit di Langkat, Sumatera Utara, itu mengerang menahan nyeri di tujuh liang tusukan benda tajam di kepala, paha kanan, pantat, dan tangan kirinya. Bapak tujuh anak ini teraniaya lantaran dituduh melempar atap penginapan Wisma Anita di Medan. Peristiwa ini menarik, karena belum ada upaya pembuktian lewat proses pengadilan. Herman baru dicurigai, karena memimpin lima belas anak muda untuk menemui pimpinan Wisma Anita. Aksi mereka merupakan solidaritas anak-anak muda itu terhadap empat perempuan pekerja yang dipecat dari penginapan tersebut. Kedatangan mereka tak mencapai hasil, karena si bos penginapan tadi tidak mau muncul. Rombongan Herman kemudian pulang. Tapi, bersamaan dengan itu, tiba-tiba seorang pemuda melempar wisma itu. Ternyata, urusannya berbuntut pada suatu siang, awal Agustus silam. Herman yang langsung diburu. Dua mobil berisi sepuluh orang, empat di antaranya polisi dari Poltabes Medan, parkir di Desa Ujung Bandar, Kabupaten Langkat. Sersan Dua Polwan Sri Pinem segera mencari orang yang bernama Herman, dan mengaku hendak memberitahukan ayahnya sakit parah. Waktu itu, Herman berada di kebun kelapa sawit. Belum menyadari apa yang bakal terjadi, Herman malah tidak berusaha menghindar. Sehingga, begitu orang-orang berpakaian preman dari rombongan polisi tadi melihatnya, ia langsung dituding, "Itu Herman, tangkap, bunuh, tikam," pekik mereka, sambil memburu. Melihat para pemburunya tak sekadar riuh di mulut, tapi juga mengacungkan kelewang, belati, dan besi bulat, Herman dan staf- nya, Basmi Sitepu, lari lintang-pukang. Tiba-tiba, dor! "Jangan lari," Sersan Satu Jupiter menghardik, seraya melepaskan tembakan peringatan. Toh Herman dan Basmi telanjur takut. Terjadilah kejar-kejaran. Sial. Herman terjatuh, dan langsung disergap serta sudah empuk sekali buat diborgol. Tapi tidak. Herman bahkan disemprot dengan gas air mata oleh salah seorang preman. Dalam keadaan tak berdaya itulah, Herman jadi sasaran pukulan. Besi bulat, terjangan kaki, dan tinju menerpa tubuhnya. Belati juga ikut bicara. Ada yang singgah di bagian paha, ada di pinggulnya. Namun, ia mencoba mengelak saat belati dihunjamkan menuju dadanya. Bagian dada selamat, hanya kepalanya tak sempat menghindar dari tebasan senjata. Bersimbah darah dan sempoyongan, Herman merangkul pohon sawit. Dan, wah, tangannya yang berpegangan itu juga ditikam. Herman mengerang. Dalam keadaan babak-bundas itu, ia baru digotong ke mobil. Seorang preman lalu merogoh kantung Herman. Uangnya sebanyak Rp 208 ribu lalu pindah tangan. Sebelum dibawa ke kantor polisi, korban dibawa dulu ke Rumah Sakit Binjai. Akan halnya Basmi Sitepu, kaki dan punggungnya bonyok kena besi bulat. Ia ditinggalkan begitu saja di situ. Penganiyaaan terhadap Herman sulit dipahami istrinya, Tinur boru Manalu. Makanya, urusan ini diadukannya ke Provos Polda Sumatera Utara. "Saya tidak terima suami saya diperlakukan seperti binatang. Kalau suami saya salah, diadili. Jangan pinjam tangan preman," kata Tinur. Hingga kini, keempat oknum polisi yang diduga terlibat urusan ini belum diperiksa. Sebab, menurut Wakapoltabes Medan Letkol. M. Silalahi, pengaduan masih diproses. Ia menyanggah anggotanya membiarkan para preman tadi menganiaya Herman. "Herman, sewaktu ditangkap melawan petugas. Ia bawa parang. Jadi, preman itu ikut mengamankan," kata Silalahi. Untuk jernihnya, niscaya kesaksian Basmi Sitepu serta pengakuan jujur para pelaku layak didengar di sidang pengadilan kelak. Gatot Triyanto dan Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini