Bagi sejumlah republik, termasuk Rusia, berdiri sendiri bukan masalah. Bagi sejumlah yang lain, masalah ekonomi dan pertikaian etnis bisa jadi beban berat. REVOLUSI seperti berulang di Uni Soviet. Dulu, 1917, Vladimir Ilyich Lenin, dengan semangat tinggi melahirkan negara sosialis Uni Soviet. Ia mencoba mengganti sistem sosial dan ekonomi yang sudah dianggapnya lapuk -- waktu itu sistem monarki tsar. Lemparan pertama ini diteruskan oleh Stalin, dan terbentuklah Uni Soviet dengan 15 republik, yang mungkin sudah harus berubah dalam waktu dekat ini. Pada pertengahan 1980-an muncul pemimpin lain dengan semangat yang tinggi juga: Mikhail Gorbachev. Ia juga melihat sistem yang sudah lapuk: sosialisme yang tertutup. Diluncurkanlah glasnost dan perestroika. Dan ternyata daya kedua kata itu bak mantra yang luar biasa. Komunikasi kembali berjalan, orang pun tak lagi takut menyatakan pendapat. Pertama-tama dampaknya justru terasakan di negeri-negeri satelit Soviet: Eropa Timur. Dunia menyaksikan keruntuhan sosialisme di negeri-negeri itu, digantikan demokrasi. Di Soviet sendiri daya kedua kata itu belum seratus persen. Seorang kolomnis surat kabar Izvestia yang kini jadi dosen tamu di universitas Minnesota, AS, menulis di surat kabar New York Times, bahwa Gorbachev masih sedikit malu-malu menerapkan glasnost dan perestroika-nya. Rupanya, diperlukan sebuah kudeta, dan kemudian seorang seperti Boris Yeltsin untuk mendorongnya menghapuskan hambatan utama bagi glasnost dan perestroika: dibubarkannya Partai Komunis Uni Soviet. Dan itulah yang memang terjadi, di akhir pekan lalu. Maka, orang bertanya, setelah partai yang selama ini dianggap menjadi alat pengikat ke-15 republik tiada, apa jadinya Republik Sosialis Uni Soviet? Uni Soviet lama tampaknya sudah jadi sejarah. Semangat nasionalisme yang tumbuh di republik-republik akhirnya memang jadi dominan. Satu ikatan baru perlu dibikin. Dan sebenarnya memang sudah direncanakan perjanjian pembentukan federasi baru, yang sedianya akan diteken Gorbachev Selasa pekan lalu, seumpama tak ada kudeta. Dalam perjanjian uni baru itu, sejumlah kekuasaan politik dan ekonomi bakal dialihkan ke republik-republik. Bentuk negara yang dibayangkan adalah semacam federasi dengan kewarganegaraan sama, dengan sistem moneter tunggal, tapi sistem pajak dan anggaran bersifat federal, tergantung republik masing-masing. Pemerintah pusat tetap menangani politik luar negeri dan masalah keamanan negara, termasuk mengendalikan angkatan bersenjata dan kekuatan nuklirnya. Tentunya, juga proyek-proyek angkasa luar Soviet. Tapi masing-masing boleh membuka misi diplomatik ke luar negeri dan menandatangani perjanjian-perjanjian, dan dapat mengklaim cadangan devisa, emas, dan intan. Yang belum jelas dalam perjanjian itu adalah soal sumber pembiayaan sektor-sektor yang dipegang oleh pemerintah pusat. Moskow bakal tak lagi punya sumber pajak pendapatan, di luar yang ditentukan oleh republik-republik: suatu "persentase tetap" dari pendapatan republik, yang kemungkinan dinegosiasikan kembali tiap tahun. Dan bisa diraba, dalam negosiasi itu kemungkinan besar Moskow berada pada posisi yang lemah. Bayangkan saja, dengan pengalihan kontrol sektor ekonomi -- pabrik dan tambang, misalnya -- yang selama ini berada di bawah kontrol Partai Komunis, pemerintah pusat akan kehilangan sumber pendapatan. Anggaran untuk militer pun (kini mencapai 25% dari pendapatan nasional Soviet) pasti nantinya bakal banyak dis- unat. Gampang ditebak, mengapa para pemimpin partai dan militer garis keras berupaya mencegah penandatanganan perjanjian baru itu: mereka kehilangan sumber rezeki. Tapi memang ada yang belum jelas dari perjanjian baru itu. Misalnya, dinyatakan tiap republik merupakan negara berdaulat, begitu pula pemerintah pusat Uni Soviet. Lalu siapa yang memimpin? Memang, dari 15 republik yang ada, baru enam yang siap menandatanganinya. Yakni Republik Rusia, Kazakhstan, Uzbekistan, Kirgisia, Tajikistan, dan Belorussia. Enam republik yang lain -- ketiga republik Baltik, Georgia, Armenia, dan Moldavia -- menampiknya. Yang enam tersebut belakangan ini ingin kemerdekaan penuh dan terpisah dari Uni Soviet. Lalu Ukraina, republik berpenduduk 52 juta atau kedua terbesar setelah Rusia, masih dalam proses pikir-pikir dulu. Dan dua republik sisa, Turkmenia dan Azerbaijan, meski bisa dipastikan akan menyusul, belum mengeluarkan pendapat, sampai akhir pekan lalu. Maka, kata Feliks Mamikonyan, wakil Republik Armenia di Moskow, "Perjanjian itu seperti perkawinan orang yang sudah diketahui tidak cocok satu sama lain. Pada pesta kawin tiap orang tampak senang, tapi mereka tahu bakal berakhir dengan perceraian." Di Rusia pun, banyak yang tidak suka mengapa Presiden Boris Yeltsin yang radikal itu ternyata siap menandatangani perjanjian baru. "Tak masuk akal mengawinkan Rusia dengan orang tua yang bergaya muda," tulis Vladimir Panteleyev di surat kabar Rissikaya Gazeta. Sejumlah anggota parlemen Rusia dari kubu liberal pun menuduh Yeltsin berniat "menjual" Rusia. Republik Rusia memang terkaya dengan penduduk terbanyak (147 juta) di Uni Soviet. Dua pertiga dari keseluruhan empat juta tentara Soviet berasal dari Rusia. Republik ini juga merupakan penyumbang keuangan terbesar pada pemerintah Kremlin (55% anggaran Soviet). Maklumlah, 64% hasil industri Soviet berasal dari Rusia. Tanpa Rusia, pemerintah Soviet tak bakal punya duit, kekuasaan, dan wilayah. Untuk meredam tudingan "menjual Rusia", waktu itu Yeltsin langsung menyatakan rencana pemerintah Rusia mengambil alih produksi minyak dan gas di wilayahnya. Juga menaikkan harga penjualan minyak dan gas, menjadi tiga kali harga semula, untuk menyamakannya dengan harga pasaran dunia. Langkah ini diprotes republik-republik lain, yang tergantung pasokan murah minyak dan gas dari Rusia. Kewajiban Rusia untuk menyubsidi republik-republik lain bisa jadi merupakan salah satu faktor mengapa Yeltsin tidak menentang, bahkan pekan lalu ia sudah mengakuinya, kemerdekaan republik-republik lain, antara lain Republik Latvia dan Estonia. Malah Yeltsin mendesak negara-negara Barat, khususnya Amerika, agar segera mengakui kedaulatan negara-negara Baltik. Namun, kecil kemungkinan Yeltsin bakal mengambil langkah drastis, memisahkan diri dari Uni Soviet. Meski menurut poll yang dimuat di surat kabar Washington Post pekan lalu, sekitar 80% responden menghendaki Rusia berdiri sendiri. Sebab, rontoknya kekuasaan Gorbachev akibat kudeta memungkinkan republik-republik memperbesar kekuasaannya. Misalnya, minta diperbolehkan punya militer sendiri. Atau, Yeltsin tak perlu memperjuangkan kemerdekaan Rusia, karena setelah Partai bubar, secara defacto bukankah Uni Soviet sudah bubar? Ukraina, republik berpenduduk kedua terbanyak di Soviet (52 juta), bisa jadi pula bakal menyatakan kemerdekaan dan pemisahan diri dari Kremlin. Sebelum kudeta, pemerintah Ukraina sudah merencanakan penerapan mata uang dan sistem moneter yang sama sekali terpisah dari sistem pusat. Republik yang produk gandumnya dapat memenuhi kebutuhan sendiri itu belum lama ini membatalkan serangkaian UU perdagangan dan pajak dari pusat. Juga menampik rencana swastanisasi gaya Soviet. Pemerintah Ukraina, sebelum kudeta sudah mengambil alih kontrol masalah anggaran dan perdagangan luar negeri, di republik yang musim gugur mendatang bakal panen raya gandum ini. Seandainya Uni Soviet benar-benar bubar, tak ada masalah besar bagi Republik Lithuania, Latvia, dan Estonia. Di ketiga republik Baltik yang sudah menyatakan kedaulatannya itu, hambatan cuma dari Partai Komunis Uni Soviet dan partai komunis lokal. Ambruknya Partai praktis melicinkan jalan ketiga republik Baltik itu untuk berdiri dan berjalan sendiri-sendiri. Yang akan jadi masalah adalah bagi republik-republik yang menyimpan konflik antaretnis. Soal ini ada di Republik Armenia dan Moldovia, yang juga sudah menyatakan kemerdekaannya, dan juga di Republik Azerbaijan. Mayoritas di Republik Moldovia, misalnya, ingin bergabung kembali dengan Rumania. Dulu, sebelum 1940, Moldovia memang wilayah Rumania. Tapi etnis Rusia yang hidup di situ tak setuju. Juga di Republik Georgia, Uzbekhistan, Kazakhstan, dan Tajikistan, kerusuhan etnis merupakan masalah timbul tenggelam. Ditambah dengan kondisi buruk ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran di republik-republik Asia Tengah Soviet itu (Kazakhstan, Uzbekhistan, Tajikistan), diperlukan pemecahan sendiri bagi republik yang mayoritas penduduknya muslim ini, seandainya Uni Soviet benar-benar bubar. Masalah rumit antaretnis di Uni Soviet ini merupakan dosa warisan Stalin. Dulu, diktator ini seenaknya membagi-bagi tempat tinggal penduduk, tanpa mempertimbangkan masalah perbedaan etnis. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini