MALAM Minggu pekan lalu, tak ada kemeriahan apa-apa di rumah Jusuf Randy dan istri mudanya, Yanti, di sebuah pojok jalan yang sepi di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Tak ada pula teman-teman pasangan tersebut, ataupun keluarga dekat -- sebagaimana lazimnya -- yang merayakan kembalinya si "raja komputer" dari tahanan. Bahkan sekitar pukul 10 malam, lampu-lampu di rumah itu sudah padam. Memang tak ada pesta yang disiapkan Yanti untuk menyambut suaminya itu -- setelah dua bulan Jusuf mendekam di tahanan polisi Polres Jakarta Selatan. Pada hari Jusuf dilepaskan kembali, Senin pekan lalu, kedatangan Jusuf hanya disambut oleh sebuket mawar merah muda. Di sela-sela kembang itu terselip sebuah kartu kecil "welcome home" dari Mama, Putut, Cindy dua nama terakhir adalah anak tiri dan anak kandung Jusuf dan Yanti. Setelah itu Jusuf Randy, 47 tahun, lebih banyak diam di rumah. Ia juga belum kembali ke singgasana kerajaan komputernya, LPKIA (Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia-Amerika). Satu-satunya kegiatannya di luar rumah selama sepekan lalu hanya setiap hari latihan fitness di Hotel Hilton. "Saya ingin istirahat dulu sampai masalah saya beres," katanya tentang rencananya. Memang ia belum bebas. Ia dilepaskan dari tahanan karena hak polisi untuk menahan selama 60 hari telah habis. Sementara itu, berkas perkara Jusuf belum rampung. Sebenarnya polisi pernah menyerahkan berkas itu ke kejaksaan. Tapi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menembalikan berkas itu ke polisi karena berkas perkara Jusuf digabung dengan berkas tertuduh lain, Rochmani dan Abdul Rojak -- keduanya dituduh membantu Jusuf memalsukan identitasnya. Pihak polisi yang mengusut kasus itu, sementara ini, mengaku hanya mempunyai bukti bahwa Jusuf tersangkut perkara pemalsuan identitas. "Hanya itu yang bisa kami buktikan," ujar sumber TEMPO di kepolisian. Sedangkan perkara lain, yang disangka banyak orang -- seperti manipulasi di Perumtel menurut sumber itu, masih menunggu penyidikan instansi yang lain. Untuk kasus pemalsuan identitas itu, menurut sumber TEMPO, Jusuf dikenai dakwaan berlapis. Ia disangka memberikan keterangan palsu, melanggar undang-undang keimigrasian, dan melanggar peraturan pemerintah tentang kependudukan. Pengacara Jusuf, Ny. Hindarsih Syafarudin, pada Buana Minggu, membenarkan bahwa Jusuf pernah menyuruh petugas Kelurahan Gandaria Utara untuk membuat KTP palsu. "Istilah populernya KTP tembak," katanya. Dan berdasarkan KTP palsu itu, Jusuf membuat paspor. Tapi KTP dan paspor itu, katanya, pada 8 Desember lalu, sudah dikembalikan istri Jusuf, Yanti ke instansi yang menangani surat-surat itu. "Jadi, sebenarnya sudah tidak ada masalah," katanya. Tapi anehnya, kata Hindarsih, Januari lalu, Jusuf ditahan dengan tuduhan tersebut. Hindarsih menduga, Jusuf merupakan korban ulah anak buahnya di LPKIA. "Pemalsuan KTP yang sudah dibatalkan itu dilaporkan ke polisi oleh salah seorang anak buah Jusuf itu," katanya. Sebab, lanjut Ny. Hindarsih, "ada sekelompok anak buah Jusuf yang berniat menguasai LPKIA." Hindarsih tak menjelaskan paspor mana yang dikembalikan Jusuf. Padahal, menurut hasil pelacakan TEMPO, "pakar" komputer, yang ternyata orang asing, itu sedikitnya memiliki 6 buah paspor Indonesia -- dengan berbagai nama. Mungkin ia satu-satunya kolektor paspor dengan nama berlain-lainan -- agaknya suatu rekor tersendiri di Indonesia. Salah satu paspornya tercatat atas nama Nio Tjoe Siang. Paspor yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Bandung itu berlaku sejak 6 Desember 1960-1962. Paspor keduanya dikeluarkan Kantor Imigrasi Jakarta Pusat atas nama Thomas Tamzil, berlaku 14 Januari 1981-1983. Yang ketiga atas nama Jusuf Randy, berlaku 1 Februari 1983-1985, dikeluarkan oleh Imigrasi Jakarta Timur. Berikutnya atas nama Thomas Tamzil, berlaku dari 10 Agustus 1981-1983, dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Bandung. Kelima, atas nama Jusuf Randy, berlaku 25 Februari 1986-1988, dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Keenam, atas nama Jusuf Randy berlaku sejak 25 Desember 1988, dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Di pemeriksaan polisi, Jusuf memang mengakui suka berganti-ganti nama. "Tanggal 1 November 1960, saya resmi melepaskan warga negara Cina -- menjadi WNI. Tahun 1967 saya ganti nama menjadi Thomas Tamzil dengan nama kecil Nio Tjoe Siang," katanya. Ia mengaku pertama kali mendapat paspor RI pada 1961, dan dengan paspor itu, April 1961, ia -- yang ketika itu bernama Nio Tjoe Siang -- berangkat tanpa visa ke Singapura. Dari situ, sebulan kemudian ia merantau ke Hamburg dengan kapal laut Lloyd Triestino. Sepuluh tahun kemudian, 1971, menurut pengakuan Jusuf, ia mengganti kewarganegaraan menjadi warga negara Jerman Barat. Pergantian itu dilakukannya setelah ia menikahi gadis sana dan mempunyai 3 orang anak: Thomas Nio, Robert Nio, dan Susanna. Ia tercatat menikahi Elisabeth pada 22 Maret 1963. Tahun 1983, Jusuf alias si Tompel -- begitu panggilannya di kalangan mahasiswa di Jerman Barat -- kembali ke Indonesia. "Saya masuk ke Indonesia dengan paspor Jerman Barat dan visa turis," katanya. Di Jakarta, nama Thomas Tamzil yang dipakainya sejak 1967 diubahnya menjadi Jusuf Randy. Sejak itulah ia "menyulap" dirinya menjadi warga negara Indonesia -- tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya. "Saya ganti identitas memakai nama Jusuf Randy dengan membuat data palsu berupa surat kenal lahir dari daerah Sumedang," katanya kepada pemeriksa. Agaknya, dalam soal pemalsuan identitas itu, sulit dicari tandingan Jusuf. Untuk mendapatkan paspor-paspor tadi, ia memalsukan datanya sejak pembuatan kartu keluarga: Di kartu keluarga atas nama Kepala Keluarga Boy Tamzil, di Kelurahan Gunung Sahari Selatan, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat tercatat nama Thomas Tamzil alias Jusuf Randy. Jusuf di kartu itu disebutkan berkebangsaan Indonesia dan tinggal di Jakarta sejak 3 September 1979. Selain di Gunung Sahari itu, sedikitnya ia masih memiliki tiga buah Kartu Keluarga (KK) lainnya di Jakarta -- anehnya -- ketiganya berada di Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di KK Jalan Pentul I/8, Kelurahan Gandaria, Kecamatan Kebayoran Baru, ia tercatat sebagai kepala keluarga dengan anggota keluarga Elizabeth dan tiga anaknya, Susanna, Thomas, dan Robert. Di situ Jusuf mengaku tinggal di DKI sejak Juli 1983. Di KK Jalan Radio Dalam 63, Jusuf tercatat sebagai kepala keluarga dengan istri, Yanti, dan anak, Cindy. Sebuah lagi KK-nya beralamat Jalan Wijaya 10, Kelurahan Melawai. Masih belum cukup. Di Bandung, Jusuf memiliki KTP, dikeluarkan pada 1983, dengan nama Thomas Tamzil. Berdasarkan KTP itu, ia bisa mendapatkan paspor dari Kantor Imigrasi Bandung, dengan nama Thomas Tamzil. Selain mempunyai KK dan KTP palsu atau "aspal", Jusuf bisa mendapat surat-surat nikah palsu atau "aspal". Jusuf yang mengaku menikah dengan Elizabeth pada tahun 1963 di Jerman, ternyata memiliki pula akta nikah dari Kantor Urusan Agama (K.U.A) Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur yang dikeluarkan 10 Januari 1986. Dalam akta nikah tercatat bahwa Jusuf dan Elizabeth sama-sama tinggal di Kramatjati dan sama-sama beragama Islam. Perkawinan Jejaka Jusuf Randy, 21 tahun, dengan Perawan Elisabeth, 18 tahun, disaksikan oleh Wali Hakim H. Syafei, dengan mas kawin kalung berlian. Di surat nikah itu disebutkan pula Jusuf mengucapkan janji nikah sesuai dengan syariat agama Islam. Seorang sumber TEMPO mengaku kaget mendapatkan bukti itu. "Seingat saya, Almarhum Syafei sudah pensiun sebagai kepala KUA tahun 1976," ujar sumber itu. Artinya: ketika surat nikah itu ditandatangani, Syafei sudah pensiun 10 tahun lalu. Siapa yang menandatangani akta nikah itu? Wallahualam. Setahun kemudian Jusuf berniat kawin lagi dengan Yanti yang punya nama panjang Rr. Puji Wuryanti itu. Wanita yang baru lima bulan cerai dengan suaminya itu, tak lain dari karyawan Jusuf sendiri di LPKIA. Entah bagaimana caranya Jusuf, yang mengaku jejaka, mendapat rekomendasi tertanggal 11 Januari 1987, dari K.U.A Kecamatan Kebayoran Baru -- untuk menikah dengan Yanti, di Kecamatan Imogiri, Yogyakarta, Jawa Tengah. Tapi, anehnya, tiga hari sebelum surat rekomendasi itu terbit, pada 8 Januari 1987, Jusuf sudah menikah dengan Yanti, yang anak bekas Bupati Bantul. Di surat nikah dengan istri keduanya itu, Jusuf juga menyulap data-data dirinya. Selain mengaku jejaka, ia menyebut orangtuanya -- Awat dan Ani Sukaesih beragama Islam dan berdiam di Sumedang, Jawa Barat. Padahal, Awat beragama Katolik, dan tinggal di Jalan Kelenteng, Bandung. Tapi berkat data-data palsu atau aspal itu pula ia "diakui" sebagai warga negara Indonesia, bahkan mendapatkan berbagai paspor. Padahal, menurut sumber TEMPO di Ditjen Imigrasi, bagi orang asing yang pindah menjadi WNI pun tak begitu mudah untuk mendapatkan paspor RI. "Orang semacam itu harus melengkapi persyaratan permohonan paspor dengan surat bukti kewarganegaraan serta surat ganti nama -- bila berganti nama -- dari Pengadilan Negeri setempat. Dalam kasus Jusuf Randy, menurut pejabat itu, jika tersangka itu nanti terbukti bersalah melakukan pemalsuan kewarganegaraan Indonesia, ia pasti akan dideportasikan -- tentu saja setelah menjalani hukumannya. Putusan deportasi itu, katanya, mutlak akan dilaksanakan tanpa peduli bahwa yang bersangkutan lahir atau dibesarkan di Indonesia. "Kalau sudah jelas dia warga negara Jerman Barat, kewarganegaraan Indonesia-nya harus dicabut. Suka atau tidak suka, dia akan dideportasikan ke Jerman Barat," tambah sumber itu. Hanya saja, untuk deportasi atau pengusiran semacam itu, si WNA disyaratkan harus mempunyai dokumen perjalanan (paspor) negara asalnya. Selain itu, WNA tersebut masih diakui oleh negaranya, dan Indonesia mempunyai hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Karena kekurangan syarat-syarat semacam itulah, di karantina Imigrasi di kawasan Kalideres, khli tercatat sekitar 60 WNA yang terkatung-katung proses deportasinya. Celah itu agaknya sudah dicium Jusuf Randy. Kepada polisi yang memeriksanya, Jusuf mengakui bahwa paspor Jerman Barat-nya sudah tidak ada di tangannya lagi. "Paspor itu dibawa oleh Elisabeth. Dan hilang di perjalanan," kata Jusuf kepada petugas penyidik. Artinya: ia tak bisa lagi dipulangkan ke Jerman Barat. Tokoh yang menarik dan penuh warna ini siapa tahu akan masih panjang lakonnya. Bunga Surawijaya, Linda Jalil, Tommy Tamtomo (Jakarta), dan Riza Sofyat (Bandung) Di bawah ini beberapa paspor yang dimiliki Jusuf Randy (JR telah menjadi warga negara Jerman pada 1 Agustus 1971 dan memiliki paspor Republik Federasi Jerman dengan No.L 1953786): 1. Atas nama Thomas Tamzil No: F 038522 -- berlaku 14 Januari 1981 s/d 1983 -- dikeluarkan Imigrasi Jakarta Pusat. 2. Atas nama Thomas ramzil No: G 040995 -- berlaku 10 Agustus 1981 s/d 1983 -- dikeluarkan Imigrasi Bandung. 3. Atas nama Nio Tjoe Siang No. 27675 A -- berlaku 6 Desember 1960 s/d 1962 -- dikeluarkan Imigrasi Bandung. 4. Atas nama Jusul Randy No. J 094162 -- berlaku 1 Februari 1983 s/d 1985 dikeluarkan Imigrasi Jakarta Timur. 5. Atas nama Jusuf Randy No. A 370236 -- berlaku 25 Februari 1986 s/d 1988 -- dikeluarkan Imigrasi Jakarta Selatan. 6. Atas nama Jusuf Randy No. A 971013 -- berlaku 25 Februari 1988 s/d 1990 -- dikeluarkan Imigrasi Jakarta Selatan. Catatan: Jusuf Randy mempunyai kartu keluarga (KK) No. 260329 A yang dikeluarkan pada 1 Desember 1985 beralamat Jalan Radio Dalam 63 RT 005/014, Jakarta Selatan. Susunan KK tersebut: Jusuf Randy, Yanti dan Cindy. Selain KK di atas, Jusuf juga mempunyai KK No. 260329 A (nomor sama dengan di atas) dikeluarkan 1 Desember 1985 beralamat Jalan H. Pentul I/8, Jakarta Selatan. Susunan KK tersebut Jusuf Randy, Elisabeth, Suasana, Thomas, dan Robert (tiga yang terakhir adalah anak Jusuf Randy). Anehnya walaupun Jusuf Randy mempunyai KK di atas, pada 2 Desember 1988, Kepala Kelurahan Ciwaringin, Bogor, mengeluarkan Surat Keterangan Tempat Tinggal -- yang juga berfungsi sebagai KTP sementara -- ata nama Nio. Dan pada 2 Desemher 1986, Kepala Desa Pasir Jaya, Ciomas, Bogor, juga mengeluarkan KTP sementara atas nama Jusuf Randy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini