SI "raja komputer" Jusuf Randy, 47 tahun, pekan lalu, resmi dinyatakan sebagai buronan. Setelah dua kali membuka persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang diketuai T.W. Sirear, secara resmi memerintahkan Jaksa Widyopramono menangkap dan menahan Jusuf untuk dihadapkan ke sidang berikutnya, yang belum ditentukan waktunya. Sampai pekan ini jajaran kejaksaan, kepolisian, dan imigrasi belum menemukan jejak buronan itu. Kendati Yanti, istrinya, dan Hindarsih, pengacaranya, memastikan bahwa ia berada di Jerman -- selain Jusuf sendiri menelepon berbagai media massa dan mengaku sudah di Jerman -- Dirjen Imigrasi Rony Sikap Sinuraya masih menyangsikannya. "Dari hasil pengecekan ke semua bandar udara, tak ada nama Jusuf Randy ataupun Nio Tjoe Siang dalam passanger list ke Jerman Barat," kata Rony. Yang menarik adalah "kepintaran" Jusuf memanfaatkan lubang-lubang KUHAP untuk meloloskan diri. Selain berhasil lepas demi hukum dari tahanan polisi, penahanannya ternyata ditangguhkan pula oleh kejaksaan dan pengadilan yang menangani perkaranya. Semua fasilitas itu diperolehnya -- sesuai dengan KUHAP -- berkat jaminan istrinya dan pengacaranya. Ternyata, kini disadari bahwa KUHAP tak mengatur sanksi bagi penjamin bila si terdakwa melarikan diri. Pada 6 Januari silam, pendiri Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia-Amerika (LPKIA) itu ditangkap petugas Polres Jakarta Selatan. "Ahli" komputer yang dikenal suka berderma itu dituduh memalsukan identitasnya, berupa KTP, surat kenal lahir, paspor, dan STTB SD plus SLTP. Jusuf, yang warga negara Jerman Barat, juga disangka memalsukan status WNInya. Penyidikan Polres Jakarta Selatan ternyata cukup alot. Bahkan, sampai masa penahanan Jusuf selama 60 hari habis pada 6 Maret 1989, polisi tak kunjung merampungkan berkas perkara itu. Sebab itu sesuai dengan KUHAP, Jusuf dilepaskan demi hukum. Belakangan, akhir Maret 1989, setelah berkas perkara itu sampai di kejaksaan, instansi penuntut ini ternyata tak memperpanjang penahanan Jusuf. Padahal, ancaman hukuman untuk Jusuf lebih dari lima tahun penjara. "Ia bukan residivis dan tak dikhawatirkan akan melarikan diri," kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan J.R. Bangun. Toh pada 20 Mei 1989, Jusuf mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Alasannya, ia ingin memulihkan kesehatan akibat ditahan polisi, untuk mempersiapkan diri jika perkara itu disidangkan. Untuk itu, Pengacara Hindarsih dan Yanti menjamin Jusuf tidak akan kabur. Keesokan harinya, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan H . F. Dimyati mengabulkan permohonan itu. Anehnya, penangguhan penahanan itu diberikan tanpa syarat apa pun bagi Jusuf Randy -- sebagaimana ketentuan KUHAP -- seperti wajib lapor, tidak ke luar rumah, atau tidak ke luar kota. Lebih dari itu, penangguhan tersebut juga tak diikat suatu perjanjian yang menyebutkan adanya jaminan uang ataupun orang jika ternyata Jusuf kabur. Berkat semua itulah, kabarnya, Jusuf sering ke luar kota, antaranya ke Bandung dan Bali. Puncaknya, 11 September 1989, sewaktu Ketua Majelis T.W. Siregar yang juga tak menahan Jusuf -- membuka persidangan pertama perkara itu, Jusuf ternyata telah raib. Pengacara Hindarsih hanya membawa sepucuk surat dari Jusuf yang, konon, dikirim buronan itu dari Munchen, Jerman Barat. Di surat itu Jusuf mengaku memilih pergi dari Indonesia karena sudah divonis masyarakat. Di persidangan kedua, Senin pekan lalu, Hakim T.W. Siregar memerintahkan Jaksa Widyopramono menangkap dan menahan Jusuf. Pengadilan memang tak punya pilihan lain, kecuali menunda sidang sampai Jusuf muncul. Sebab, menurut KUHAP, perkara tindak pidana umum tak boleh diadili secara in absentia tanpa terdakwa. Hanya saja, persoalannya kini, bagaimana tanggung jawab si penjamin penangguhan penahanan? Menurut seorang pejabat di lingkungan kejaksaan, KUHAP belum mengatur secara tegas soal sanksi atau kewajiban apa pun bagi si penjamin. "Hanya tanggung jawab moral saja, supaya si penjamin juga mencari Jusuf," ujar pejabat itu. Apalagi, katanya, penangguhan penahanan Jusuf itu diberikan hanya berdasarkan "itikad baik", tanpa perjanjian apa pun. Tapi menurut seorang praktisi hukum, M. Yahya Harahap, seharusnya penangguhan penahanan Jusuf itu diberikan setelah kejaksaan menetapkan syarat seperti wajib lapor dan tak ke luar kota. Untuk menjamin ditaatinya persyaratan itu, sebaiknya penangguhan itu juga dibarengi dengan perjanjian jaminan, bisa berupa uang atau orang. "Jika dalam waktu tiga bulan terdakwa tak juga bisa ditemukan, uang jaminan itu menjadi milik negara," kata Yahya Harahap. Begitu juga bila jaminannya orang lain, si penjamin wajib menyetorkan sejumlah uang ke panitera pengadilan. Si penjamin, Pengacara Nyonya Hindarsih, enggan mengomentari soal itu. "Sudahlah. Perkara Jusuf itu 'kan kecil. Kalaupun diadili, juga akan divonisbebas," kata Hindarsih. Sebab, menurut Hindarsih, unsur menimbulkan kerugian dalam dakwaan pemalsuan itu tak terbukti sama sekali. Sementara itu, Yanti, istri kedua Jusuf istri pertamanya sudah lebih dulu ke Jerman Barat -- menyatakan kesediaannya mendampingi petugas kejaksaan mencari Jusuf di Jerman Barat. "Tapi, biayanya jangan dari saya," ucap wanita yang mengaku kini lagi "tongpes" itu. Agaknya, sementara ini, perkara Jusuf Randy sudah tutup layar. Happy S. Muchsin Lubis, Tommy Tamtomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini