DUNIA peradilan, ternyata, masih "bersih". Sekurangnya begitulah kesimpulan majelis hakim yang dipimpin Nyonya Deliana Sayuti di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin pekan ini. Karena itu, hakim menghukum M.E. Hutagaol, 33 tahun, dan Paskalis Pieter, 30 tahun -- keduanya pengacara -- masing-masing penjara 2 bulan 21 hari. Mereka dipersalahkan telah menghina karena menuduh Jaksa Mangawi menerima suap Rp 2 juta. Kisahnya dimulai Januari silam ketika kedua pengacara itu membela terdakwa narkotik, Juara Pasaribu, di pengadilan yang sama. Dalam eksepsinya, M.E. Hutagaol dan Paskalis Pieter mengatakan, "Jaksa Penuntut Umum telah menerima uang Rp 2 juta, dengan janji tak akan mendakwa Juara melakukan kejahatan narkotik." Seusai sidang, fotokopi eksepsi itu dibagi-bagikan pengacara itu kepada wartawan. Jelas, jaksa yang mengadili Juara, ketika itu, Mangawi, merasa tersinggung. "Saya merasa terhina sekali, begitu juga istri dan anak saya," katanya. Kontan hari itu juga Mangawi melaporkan pengacara tersebut ke Polsek Tanjungpriok. Setelah berkas sampai di kejaksaan, kedua pengacara itu ditangkap bahkan ditahan di Rutan Salemba Juni sampai Agustus lalu. Di sidang mereka dituntut Jaksa Sukarno hukuman masing-masing 4 bulan dan 3 bulan penjara karena menghina petugas negara. Pada pembelaannya, kedua pengacara itu mengatakan Jaksa tak tepat menuntut mereka. "Sebab, kami hanya menyebul jaksa penuntut umum. Kita bicara mengenai jabatan dari suatu instansi bukan pribadi," katanya. Apalagi, katanya, kata-kata itu dibuat atas permintaan terdakwa. Juara Pasaribu, dalam suratnya lima hari sebelum eksepsi dibacakan. Mereka, katanya, terpaksa memenuhi permintaan klien itu. "Kalau kami tidak melaksanakannnya, kami takut kena skorsing," kata Hutagaol. Yang dimaksudkannya adalah skorsing 3 bulan dalam SK Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung 1987 tentang pengawasan pengacara. Tapi cerobohnya, menurut Hakim, apa yang diucapkan kedua pengacara ini tidak berdasar bukti-bukti. Saksi Juara dalam sidang mengatakan bahwa ia pernah meminta tolong seseorang, Robinson Pasaribu, untuk menghubungi Jaksa Mangawi. "Menurut Robinson, Jaksa meminta uang Rp 3 juta. Tapi saya hanya menyanggupi Rp 2 juta," kata Juara. Sayangnya, Juara tak melihat sendiri apakah benar uang tersebut diberikan kepada Jaksa. "Saya tidak melihat sendiri karena dalam tahanan, dan tidak ada kuitansi?", kata Juara. Sedangkan Mangawi tegas-tegas mengatakan bahwa selama persidangan ia tak pernah menghubungi Juara Pasaribu maupun keluarganya. Hakim juga mempersalahkan kedua pengacara ini seperti tak mengerti maksud eksepsi. "Penafsiran kedua terdakwa ini mengenai eksepsi ternyata keluar dari rel. Mereka tak tahu lagi mana yang harus dimasukkan dalam eksepsi dan mana yang tidak," ujar Deliana. Sedangkan mengenai tidak disebutnya nama pentuntut umum dalam eksepsi itu, menurut Hakim, tidak bisa menjadi alasan kedua terdakwa untuk lepas dari tuntutan. "Jelas, hari itu yang melaksanakan tugas untuk perkara, Juara Pasaribu" adalah Jaksa Mangawi," ujar Deliana. Kedua pengacara itu memang tak berkutik lagi di depan majelis. Apalagi, pembela mereka, Racosbi Matram, malah menyalahkan kliennya itu. "Eksepsi Hutagaol dan Pieter itu memang tidak proporsional," kata Racosbi Agaknya, vonis itu merupakan peringatan bagi pengacara agar hati-hati sebelum menuduh aparat hukum. Bunga S. dan Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini