What is happiness for you?"
Ini adalah sebuah pertanyaan yang muncul dalam film Vanilla Sky yang dilemparkan tokoh Julie Gianni (Cameron Diaz) kepada David Aames (Tom Cruise). Pertanyaan ini kemudian dilontarkan kembali kepada sang sutradara, Cameron Crowe, dan kedua pemainnya. Siang itu, di akhir tahun silam, ia mengunjungi Singapura bersama Tom Cruise dan Penelope Cruz dalam rangka tur promosi filmnya yang terbaru. Hari itu, di hadapan puluhan wartawan Asia di Crescent Ballroom, Hotel Four Seasons Singapura, Cameron Crowe, Tom Cruise, dan Penelope tampil kasual, santai. Crowe mengenakan jins, Tom Cruise tampak segar dengan kemeja kotak-kota ungu dan jins, sedangkan Penelope Cruz mengenakan blus dan celana berwarna krem. Cruise menjawab, "Kebahagiaan bagi saya adalah jika saya mampu membahagiakan orang-orang di sekeliling saya." Bagi Cruz, kebahagiaan adalah, "jika saya dikelilingi oleh orang-orang yang saya cintai." Dan jawaban Crowe adalah yang paling menarik: "Ketika istri saya baru saja melahirkan anak kembar untuk kami, itu kebahagiaan absolut untuk saya." Ini adalah sebuah jawaban dari seorang sisa-sisa generasi rock and roll yang pada akhirnya menemukan keluarga sebagai rumah, dan keluarga sebagai tempat membentuk dirinya sebagai manusia.
Crowe adalah representasi generasi musik rock n roll yang lahir dari tradisi majalah musik Rolling Stone. Seperti pendirinya, Jan Wenner, Crowe memulai karir jurnalistik musik pada usia yang sangat dini. Lahir di Palm Spring, California, pada 13 Juli 45 tahun silam, Crowe adalah si bintang di ufuk barat yang bersinar pada usia 15 tahun ketika dia sudah memulai karirnya menulis resensi musik di majalah Rolling Stone, The Los Angeles Times, dan Playboy. Hanya setahun kemudian, dia diangkat menjadi redaktur di majalah Rolling Stone dan berhasil menyajikan profil eksklusif nama-nama besar seperti Bob Dylan, Eric Clapton, David Bowie, dan Neil Young.
Ketika Crowe berusia 22 tahun, ia sengaja mendaftarkan diri (kembali) ke bangku SMA hanya karena ia ingin melakukan riset bagi novelnya berjudul Fast Times at Rdgemont High, yang kemudian meledak dan diangkat ke layar lebar pada 1982. Dengan skenario yang ditulis oleh Crowe sendiri dan disutradarai Amy Heckerling, film yang kemudian melejitkan nama Sean Penn, Jennifer Jason Leigh, Nicolas Cage, dan Forrest Whitaker ini menunjukkan si bintang ini mulai bersinar dan menjadi rebutan eksekutif studio Hollywood.
Sejak itu, baik skenario maupun film-film Crowe identik dengan latar belakang karirnya: jurnalis musik. Setiap film yang disutradarainya, Say Anything (dengan pemain John Cusack), Singles (tentang enam mahasiswa, antara lain diperankan oleh Matt Dillon dan Bridget Fonda, di Seattle, yang merupakan representasi musik dan gaya hidup grunge), selalu menampilkan original sound track (ilustrasi musik) film yang kemudian menjadi hit. Pada tahun 2000, skenario film Almost Famous yang ditulisnya diganjar Academy Awards. Ini adalah sebuah film yang berkisah tentang pemuda Patrick Fugit yang memulai karir jurnalistik musik pada usia 15 tahun dan mengikuti perjalanan sebuah band. Tentu mudah untuk melihat bahwa skenario ini berdasarkan sebuah semibiografi Crowe sendiri.
"Musik dan saya memang tak terpisahkan," katanya kepada TEMPO. Dia berkisah, dalam pengambilan adegan-adegan filmnya, lazimnya ia meminta para pemainnya, seperti juga ia meminta Tom Cruise dan Penelope Cruz, agar mendengarkan ilustrasi musik yang baru saja diciptakan, dan menciptakan karakter berdasarkan alunan musik itu. Cara kerja begini memang sesuatu yang baru bagi aktris Penelope Cruz. "Banyak momen di lokasi shooting tanpa banyak bicara mengatakan 'kesinilah dan dengarkan musik ini'," tutur Cruz menjawab pertanyaan TEMPO. "Dan musik itu menciptakan sebuah mood untuk membangun karakter," Cruz melanjutkan.
Crowe, Cruise, dan Cruz mengaku bahwa, meski tema filmnya sangat serius dan agak menegangkan, suasana syuting sungguh penuh tawa dan humor. "Sebaliknya, sebelumnya ketika saya membuat film komedi romantik, entah kenapa para pemain saya pada serius dan tegang, ha-ha-ha, mungkin karena menciptakan sosok atau adegan lucu itu sangat sukar," katanya, tertawa.
Cruz dalam film Vanilla Sky, menurut Crowe, menjadi "mediator" yang menarik dengan versi asli Abres Los Ojos karena Cruz juga memerankan tokoh yang sama dalam versi Spanyol arahan Alejandro Amenabar itu. Ketika TEMPO menanyakan apakah ia menganggap film ini sebuah remake, Crowe menjawab, "Anggap saja, dalam musik, ini adalah cover version. Kami menghormati film asli dengan izin sutradara Amenabar, tetapi kemudian kami membuat sebuah interpretasi dan nuansa yang berbeda."
Perbedaan antara Vanilla Sky dan film-film karya Crowe se-belumnya memang terlalu besar (baca: Di Angkasa, Cruise dan Cruz Berdansa). Kecuali untuk musiknya yang luar biasa dan dialog tokohnya yang segar dan lincah, Crowe mendadak menjadi sineas yang begitu serius, penuh filsafat verbal yang ruwet. Crowe, miss the old you.
Leila S. Chudori (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini