Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Di Angkasa, Cruise dan Cruz Berdansa

Sebuah karya terbaru sutradara Cameron Crowe yang diproduksi oleh dirinya, Tom Cruise, dan Paula Wagner. Cameron Diaz tampil memikat.

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vanilla Sky Sutradara : Cameron Crowe Skenario : Cameron Crowe Pemain : Tom Cruise, Penelope Cruz, Cameron Diaz Produksi : Paramount Pictures TIMES Square di sebuah musim gugur pagi itu terasa hening tanpa deru mobil, tanpa gesekan daun atau detak sepatu yang bergegas. Mungkinkah denyut kehidupan New York bisa terhenti seperti ini? David Aames (Tom Cruise) merasa ganjil. Mengapa pagi itu seluruh kegiatan dan pemandangan New York seperti mengalami sebuah jeda dari kehidupan nyata? Aames keluar dari mobilnya. Dia berlari sepanjang jalan di Times Square—sebuah jalan yang biasanya penuh sesak oleh mobil dan warga New York—dan berteriak…. Dia kemudian bangun untuk menyadari: ini sebuah mimpi. Vanilla Sky, karya terbaru sutradara Cameron Crowe, adalah sebuah film yang diberi label romantic-thriller. Yang terjadi adalah sebuah kesemrawutan. Diinspirasikan film Spanyol Abre lo Ojos karya Alejandro Amenabar dan Mateo Gil, film ini memulai kisahnya dengan adegan mimpi David Aames tentang kesunyian hidupnya. Syahdan, David Aames adalah Pangeran New York: tampan, kaya raya, dan pandai bergaul. Ia adalah seorang eksekutif perusahaan iklan terkemuka, sekaligus ahli waris tunggal perusahaan milik ayahnya itu. Kekayaan dan wanita meluncur begitu mudah dan mulus dalam hidup hingga Aames tak tahu bagaimana cara menghargai atau memahami perasaan orang. Julie Giani (Cameron Diaz) adalah wanita jelita yang dikencaninya dan mampu bercinta empat kali dalam semalam, tapi Aames menyebutnya "teman tidur" belaka. Hidup bagi Aames begitu enteng bak kapas, hingga di suatu malam di hari jadinya ia bertemu dengan seorang bidadari yang begitu saja meluncur dari langit. Bidadari itu turun dalam bentuk seorang penari bernama Sofia Serrano (Penelope Cruz). Malam itu juga mereka langsung mengetahui bahwa mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan itu disaksikan sang kekasih, Julie Giani, yang kemudian tampak seperti "gadis yang paling sedih di dunia yang tengah menggenggam segelas Martini," demikian ujar Sofia mengkritik kegemaran Aames bergonta-ganti kekasih. Dua puluh menit pertama, film ini seolah menampilkan drama roman biasa yang menyajikan cinta segitiga David Aames-Sofia-Julie. Tapi belakangan terjadi sebuah perputaran plot yang mengejutkan. Setelah soal tetek-bengek kecemburuan Julie yang posesif dan obsesif—diperankan dengan luar biasa oleh Cameron Diaz—terjadi kecelakaan. Mobil yang mereka kendarai tertabrak, Julie tewas, wajah Aames hancur lebur, dan sejak saat itu Aames hidup di balik sebuah topeng putih untuk menutupi cacat wajahnya. Sampai di sini, tiba-tiba saja kita tak mengenal jejak karya Cameron Crowe—wartawan musik majalah Rolling Stone yang melejit dengan film-film Singles, Jerry Maguire, dan Almost Famous. Tiba-tiba saja film roman itu berubah menjadi percampuran antara dunia fantasi, spiritual, dan filosofis. Film yang semula terasa begitu funky itu, yang dibuka dengan musik R.E.M. dan Paul McCartney dan menampilkan wajah-wajah yang enak dipandang, tiba-tiba berubah menjadi film yang begitu serioso alias serius banget. Bagi mereka yang mengenal karya-karya Crowe, yang cenderung memilih tema sederhana di kalangan generasi muda—film Singles atau Almost Famous—yang selalu berkisah tentang pencarian diri diiringi original soundtrack yang integratif dengan skenario, film Vanilla Sky menjadi sebuah benda asing. Tentu saja bukan megabintang Tom Cruise atau dua bidadari Penelope Cruz dan Cameron Diaz yang menyebabkan film ini menjadi aneh. Crowe mengaku mencoba mengadaptasi film Spanyol itu menjadi sebuah perjalanan roller coaster, sebuah upaya pencarian diri Aames yang berakibat pada serangkaian tragedi. Separuh akhir film ini kemudian melibatkan berbagai topik: soal proyek asuransi kehidupan, pembedaan antara realitas dan fantasi serta filsafat hidup dan mati, lalu dicampur aduk dengan soal tuduhan kriminal yang dijatuhkan pada David Aames. Semuanya menjadi ruwet dan tegang bak lilitan kawat dengan Crowe di ujung kumparan yang sibuk mengorganisasikan kekusutan itu. Untung saja film ini menampilkan bintang-bintang yang bermain begitu baik; untung saja Tom Cruise dan Penelope Cruz tampil seolah layar menjadi tempat mereka berdansa begitu mesra (hingga rasanya penonton yang belum punya pacar sebaiknya pulang saja); untung saja film ini memasukkan sekumpulan musik yang dahsyat (antara lain dari Paul McCartney, Bob Dylan, Radiohead, R.E.M., Peter Gabriel). Jika tidak, runyamlah film ini. Ia akan jatuh menjadi film pop culture yang bukan hanya ruwet, tapi juga terlalu banyak keinginannya dalam satu layar. Mudah-mudahan Crowe kembali ke dunianya semula: menciptakan film yang sederhana dan jujur. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus