EKSEKUSI pasukan khusus Malaysia terhadap tiga orang Indonesia yang mencoba menyandera hakim di penjara Kuantan, Malaysia, Sabtu pekan lalu, agaknya tidak perlu diratapi lagi. Seandamya Ahmad Sulaiman, Agus Salim, dan M. Noor itu berbuat yang sama di Indonesia, bukan tidak mungkin mereka akan menemui nasib serupa, seperti yang kini mereka alami di Malaysia - Ahmad Sulaiman dan Agus Salim tewas, sementara M. Noor terluka. Sebab, tindakan nekat ketiga kawanan, menyandera penegak hukum, apalagi hakim, sama artinya dengan teror bersenjata. Dan seperti dikatakan Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Indonesia tak mau berkompromi dengan teroris macam itu. Seperti dikutip The Straits Times, Kedutaan Besar RI menyebut yang dilakukan polisi Malaysia itu ,"cara yang benar". Tapi seandainya mereka ditahan di Indonesia, ketiga orang itu barangkali tidak akan sampai nekat, karena frustrasi. Sebab, hukum acara pidana di Indonesia tidak akan memperkenankan mereka ditahan tanpa batas waktu seperti yang mereka alami itu. Seperti dilaporkan wartawan TEMPO dari Malaysia, ketiga orang Indonesia yang diduga menjadi pendatang haram di negara tetangga itu sudah dua tahun mendekam sebagai tahanan di penjara Kuantan. Diduga akibat lamanya di tahanan, selain ancaman hukuman mati, mereka nekat sampai menyandera Hakim Nyonya Mariana Yahya, yang hari itu sedang memeriksa perkaranya (lihat Laporan Utama). Hukum acara pidana di Malaysia, menurut pejabat peradilan di negara itu dan juga dibenarkan pihak Kedubes Malaysia di Jakarta, memang berbeda dengan di Indonesia. Seorang tersangka kriminal di Malaysia, berdasarkan bukti-bukti yang dirasa kuat, bisa ditangkap polisi. Dalam waktu 24 jam penangkapan itu harus dilaporkan kepada hakim. Dengan izin hakim, kemudian, si tersangka bisa ditahan kejaksaan dengan batas waktu 6 bulan. Setelah batas waktu itu terlewati, hakim berhak kembali memperpanjang masa tahanan tersangka 6 bulan lagi. Begitu seterusnya tanpa batasan, mirip dengan hukum acara Indonesia peninggalan Belanda, sebelum KUHAP berlaku. Akibat tidak terbatasnya hak hakim memperpanjang masa penahanan itu, seorang tersangka kriminal di Malaysia bisa saja ditahan sampai tiga tahun sebelum kasusnya disidangkan. Apalagi, seperti diakui Ketua Hakim Negara (Mahkamah Agung) Malaysia, Tan Sri Salleh Abas, pihaknya kekurangan tenaga hakim untuk menangani perkara yang jumlahnya semakin meningkat. Untuk menyelesaikan pendatang haram dari Indonesia saja, kata Sri Salleh Abas, diperlukan waktu sedikitnya empat tahun. Keadaan seperti itulah yang dialami Agus Salim dan kawan-kawannya. Mereka, karena dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan, termasuk kategori tahanan berat di Malaysia, sebagaimana perkara penculikan, narkotik, dan subversi - perkara-perkara yang pelakunya tidak mungkin diberi kesempatan mendapat tahanan luar, kendati ada jaminan orang lain atau uang. Agus Salim dan kawan-kawan -- kabarnya ada 7 orang yang diduga komplotannya -- sebelumnya sudah diperiksa Majelis Rendah Malaysia - semacam pengadilan negeri di sini. Majelis itu, berbeda dengan di sini, hanya berwenang menentukan apakah mereka bersalah atau tidak. Jika mereka terbukti bersalah, perkaranya akan diteruskan ke mahkamah tinggi (pengadilan tinggi). Di lembaga banding itulah perkara yang diancam hukuman mati, seperti kasus Agus Salim dan kawan-kawannya, bisa dituntut dan divonis hakim. Tapi, menurut pihak peradilan Malaysia, proses perkara kawanan asal Indonesia itu menjadi rumit dan tersendat-sendat. Sebab, di majelis rendah, mereka membantah semua tuduhan jaksa. Sementara itu, pihak kejaksaan rupanya masih kekurangan bukti. Karena itu, perkaranya diperiksa lagi oleh Hakim Mariana sebelum diteruskan ke mahkamah tinggi. Dalam proses itulah insiden berdarah yang mengebohkan itu terjadi. Dalam hal penahanan seorang tersangka itu, hukum acara Indonesia mempunyai batas waktu, kendati dalam pelaksanaannya tidak selalu konsisten. Sebab, untuk setiap tersangka pidana di lndonesia, pihak polisi atau jaksa hanya diperkenankan menahan orang selama 110 hari. Sampai pemeriksaan pengadilan negeri, seperti kasus Agus Salim dan kawan-kawan, seorang terdakwa hanya boleh ditahan, termasuk oleh hakim, paling lama 200 hari. "Kalau jangka waktu itu habis, sementara perkaranya belum putus terdakwa bebas dari tahanan demi hukum," ujar guru besar hukum pidana UI, Prof. Oemar Senoadji. Bahkan untuk proses perkara yang sampai ke Mahkamah Agung, instansi penegak hukum dari polisi sampai hakim agung hanya berwenang menahan seorang terdakwa berkisar 400 hari. Ketentuan hukum acara Indonesia yang ketat itu menyebabkan sebuah perkara pidana harus selesai tepat waktunya, khususnya untuk terdakwa yang ditahan. Jika itu gagal, si terdakwa, mau tidak mau, harus dilepaskan. Dalam kasus Nur Usman, misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Januari tahun lalu, terpaksa melepaskan terdakwa dari tahanan ketika sidangnya lagi berjalan. Padahal, Nur, seperti yang kemudian terbukti di sidang, ketika itu dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan anak tirinya, Roy Irwan Bharya. Bekas pejabat penting di Pertamina itu belakangan divonis 7 tahun penjara dan kemudian diperbaiki Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 5 tahun penjara. Memang tidak selalu peradilan Indonesia menaati ketentuan KUHAP itu. Dalam kasus subversi A.M. Fatwa dan Abdul Qadir Djaelani, misalnya, pengadilan yang sama terpaksa sidang siang malam - untuk mengejar batas waktu. Dalam kasus narkotik Yan Munar, yang divonis penjara seumur hidup, Mahkamah Agung awal tahun lalu menolak melepaskan Yan dari tahanan kendati masa tahanannya yang 400 hari sudah habis, sementara putusan kasasi belum turun. Adakah dengan demikian hukum acara kita jauh lebih baik dari yang berlaku di negara jiran Malaysia? "Setiap negara mempunyai landasan filosofi masing-masing. Apa yang terlihat jelek di sini belum tentu jelek di sana," kata Oemar Senoadji. Karni Ilyas, Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur) & James R. Lampian (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini