SEBUAH lagi perkara korupsi di Pemda Jawa Barat diputus pengadilan. Dengan tuduhan menggelapkan uang negara hampir Rp 1 milyar, selama jabatannya sebagai bendaharawan Pemda Ja-Bar 1977--1985, Eddy Machfudin, Senin pekan ini, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara potong masa tahanan, dan denda Rp 15 juta. "Saya tidak puas, karena itu akan naik banding," kata Eddy, 47, tentang vonisnya itu. Jaksa sebelumnya menuntut 17 tahun penjara, denda Rp 30 juta dan Rp 300 juta ganti rugi. Perkara eks bendaharawan itu diperiksa Pengadilan Negeri Bandung sejak September lalu. Uang yang dikorupnya itu merupakan sejumlah dana hasil pencairan wesel pemerintah (WP) yang merupakan kiriman dari kantor-kantor Kas Negara. Uang itu sebenarnya milik Pemda Jawa Barat, yakni uang pengembalian atas kelebihan dan ketelanjuran gaji para karyawan yang pindah (mutasi), pensiun, dan meninggal. Jumlah keseluruhan WP itu 6.806 lembar dengan nilai Rp 2.110.150.615, dan harus disetor ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Barat. Tetapi ternyata yang disetor cuma 5.351 lembar WP senilai Rp 966.414.144. Uang tersebut telah dipergunakan terhukum untuk pembelian puluhan hektar tanah berupa kebun jeruk dan cengkih di 28 lokasi dan pembangunan rumah pribadi. Dalam pemeriksaan, lulusan Fkultas Ekonomi Unpad 1968 itu memang tidak menolak tuduhan jaksa. "Saya memang bersalah," katanya kepada TEMPO. "Tapi yang saya pakai tidak sebesar yang dituduhkan jaksa, yakni Rp 966 juta lebih. Menurut perhitungan saya, paling Rp 403 juta, itu pun belum dikurangi pengeluaran semasa dinas, mulai sumbangan untuk masjid sampai untuk kampanye Golkar." Dan pengeluaran itu seluruhnya mencapai Rp 327 juta. Itu sebabnya ia merasa tidak puas terhadap vonis itu. "Mengapa saya sendiri yang diadili, apa atasan saya kebal hukum ?", tanyanya garang. Yang dimaksud adalah antara lain Kepala Biro Keuangan dan Asisten Sekwilda IV. "Tiap pemasukan dan pengeluaran uang diketahui mereka," tuturnya. Sikap Eddy Machfudin dibenarkan oleh Iwanda Surapranata, penasihat hukumnya. "Tiap tindak pidana korupsi pasti ada kaitannya, tidak berdiri sendiri," kata Iwanda. "Jadi, yang dituntut semua pihak yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi itu. Jangan ada citra masyarakat tindakan terhadap korupsi itu tergantung selera." Dari 17 orang saksi dalam perkara ini, dua orang atasan Eddy Machfudin, yakni Asisten Sekwilda IV, Ero Rosidi, dan Kabiro Keuangan Pemda, Diharna, memang dihadapkan ke pengadilan, dalam kedudukan sebagai saksi. Tapi kedua saksi itu lebih banyak menjawab "tidak tahu" dan tetap membebankan tanggung jawab kepada bendaharawan dalam perkara ini. "Kami tidak punya kaitan langsung dengan bendaharawan, karena jabatan bendaharawan ada SK khusus dari Gubernur," kata Diharna. Iwanda tetap pada pendiriannya. "Yang mengecek seharusnya Biro Keuangan, karena Biro Keuangan yang menerbitkan SKPP dan Asisten IV, Sekwilda sampai Gubernur yang mengangkatnya masa tidak tahu," kata Iwanda. Itu sebabnya, bagi Iwanda, sidang ini harus ada kelanjutannya. "Kalau ada pengawasan dari atasan, tidak mungkin terdakwa bekerja seenaknya," kata Iwanda. Anehnya lagi, penyelewengan ini ternyata luput dari perhatian Itwilprov yang bertugas mengawasi keuangan Pemda. "Kami baru melakukan pengecekan setelah ada instruksi Gubernur," kata Arman Sutarman, Kepala Pemeriksa Perhitungan Anggaran Itwilprov Ja-Bar, yang menjadi salah seorang saksi. Instruksi itu baru keluar 10 Oktober 1986, setelah pihak kejaksaan melakukan pemeriksaan. Malah ketika ditanya oleh hakim, "Jika terjadi kekurangan, yang bertanggung jawab itu bendaharawan saja atau termasuk Kepalanya (Ass IV)?", Arman malah menjawab, "Saya tidak tahu." Perkara korupsi di Pemda Ja-Bar ini memang bukan yang pertama kali. Sebuah perkara yang sama yang menyangkut uang lebih besar, yakni Rp 2,3 milyar, terjadi di Kabupaten Bogor. Brongkos Sya'ban, Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Bogor, Agustus 1984, yang dituntut tujuh tahun, dijatuhi hukuman sembilan tahun. Hukuman untuk Brongkos lebih ringan, sekalipun uang yang dikorup hampir dua setengah lebih banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini