Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terpilihnya Komisaris Jenderal Firli Bahuri menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 menjadi cerita yang paling banyak dibicarakan dalam isu pemberantasan korupsi sepanjang 2019 (Kaleidoskop 2019).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pegiat antikorupsi menilai 2019 adalah masa paling suram dalam pemberantasan korupsi sejak reformasi. Pemilihan calon pimpinan KPK bermasalah dan revisi Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dua kejadian yang membuat pegiat antikorupsi mencapai kesimpulan ini. “Bukan lagi suram, tapi fase kehancuran,” kata penliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan capim KPK 2019-2023 dimulai ketika Jokowi menunjuk sembilan panitia seleksi pada 17 Mei 2019. Sembilan orang itu yakni pakar hukum pidana Yenti Garnasih; mantan pelaksana tugas komisioner KPK, Indriyanto Seno Adji; Guru Besar Psikologi UI Hamdi Muluk; akademisi UGM, Marcus Priyo; akademisi Harkristuti Harkrisnowo. Kemudian ada pendiri Setara Institute, Hendardi; Direktur Imparsial, Al Araf. Staf ahli Bappenas, Diani Sadia dan Direktur Jenderal HAM Kemenkumham, Mualimin Abdi.
Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih mengumumkan 10 nama kandidat pimpinan KPK yang diserahkan ke Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, 2 September 2019. TEMPO/Friski Riana
Komposisi pansel ini menjadi sorotan dari kelompok masyarakat sipil. Yenti, Indriyanto dan Hendardi, menjadi tiga anggota pansel yang paling disorot. Para pegiat antikorupsi mengkritik kedekatan ketiga orang ini dengan kepolisian--institusi yang dinilai kerap bersitegang dengan KPK dalam beberapa episode konflik yang disebut Cicak versus Buaya.
Hendardi dan Indriyanto adalah dua staf ahli Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Sementara, Yenti merupakan pakar pencucian uang yang bolak-balik dimintai pendapatnya oleh polisi dalam banyak kasus.
Kedekatan ini dikhawatirkan memunculkan konflik kepentingan, mengingat ada banyak perwira polri yang maju dalam pencalonan pimpinan KPK. “Biar saja. Itu hak menyampaikan pendapat. Tidak saya pikirin alias EGP (emang gue pikirin),” kata Hendardi menjawab tudingan itu.
Selain soal komposisi pansel, kinerja panitia juga disorot selama masa 3 bulan proses seleksi. Di masa seleksi tahap pertama administrasi, pansel banyak mendapatkan protes lantaran tak menjadikan kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sebagai syarat lolos seleksi administrasi. Menjawab tudingan tersebut, Hendardi menjawab enteng. “Pansel memang bukan alat pemuas ICW dan koalisi ini-itu,” kata Hendardi 7 Agustus 2019.
Selain soal komposisi pansel, koalisi masyarakat sipil juga menyoroti nama-nama capim yang lolos hingga tahap 20 besar. Dua nama yang paling disorot adalah mantan Deputi Penindakan KPK, Firli Bahuri dan Wakil Kepala Bareskrim Antam Novambar.
Keduanya maju bersama 8 perwira polisi lainnya yang lebih dulu diseleksi di internal kepolisian. Antam disorot lantaran punya sejarah konflik dengan komisi antirasuah. Ia diduga pernah mengancam Direktur Penyidikan KPK Endang Tarsa, ketika KPK menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka rekening gendut pada 2015.
Antam menyangkal tudingan tersebut saat menjalani tes wawancara dan uji kompetensi capim KPK, 27 Agustus 2019. “Saya tidak pernah meneror Endang Tarsa,” kata dia. Langkah Antam dalam seleksi ini terhenti di 20 besar.
Sebaliknya, perjalanan rekan sejawatnya Firli Bahuri justru sangat mulus. Berbeda dengan Antam yang lebih dulu diketahui, nama Firli baru diketahui ketika pansel mengumumkan 192 capim yang lolos tahap seleksi administrasi pada Juli 2019. Lolosnya Firli langsung menuai kontroversi.
Semasa menjabat Deputi Penindakan KPK, Firli diduga pernah melanggar etik karena bertemu Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi. Pertemuan menjadi bermasalah karena saat itu KPK tengah menelisik korupsi divestasi Newmont yang ditengarai melibatkan TGB. Saat mengikuti seleksi capim KPK, Firli mengakui bertemu dengan TGB sembari bermain tenis, namun ia menyangkal pertemuan itu melanggar etik.
Dewan etik KPK sebenarnya telah menyatakan Firli melakukan pelanggaran etik berat karena pertemuan ini. Sebelum pimpinan KPK menjatuhkan sanksi, Firli lebih dulu ditarik ke kepolisian pada Juni 2019. Ia mendapatkan promosi menjadi Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan.
Kontroversi Firli sebagai Deputi Penindakan tak cuma soal pertemuan itu. Sejumlah pegawai KPK pernah membuat petisi memprotes terhambatnya kasus-kasus besar di KPK pada April 2019. Petisi yang dikenal dengan istilah Big Fish itu berakhir dengan ditariknya Firli ke kepolisian. Namun, sebulan setelah ditarik, Firli mendaftar menjadi calon pimpinan KPK.
Dalam proses seleksi capim KPK, penolakan terhadap pencalonan Firli tak cuma dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil. Ratusan pegawai KPK menggelar aksi menolak Firli pada 6 September 2019. Bertempat di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, ratusan pegawai itu membuat rantai manusia sembari membawa tulisan “Pelanggar Etik Dilarang Masuk”. Pegawai juga kembali membuat petisi menolak Firli. Dalam catatan rekam jejak yang diberikan KPK kepada Pansel, Firli masuk daftar merah. Firli bolak-balik membantah tudingan melanggar etik.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi saat konferensi pers tentang dugaan pelanggaran kode etik internal KPK di kantor ICW, Jakarta, Rabu 17 Oktober 2018. TEMPO/Ryan Dwiky Anggriawan
Meski demikian, semua upaya itu sama sekali tak mempengaruhi perjalanan Firli di seleksi capim KPK. Nama Firli masuk dalam 10 besar capim KPK yang direstui Presiden Joko Widodo untuk disodorkan ke DPR. Di parlemen, Firli memperoleh 56 suara dari Komisi Hukum. Itu sama saja dengan jumlah seluruh anggota Komisi Hukum.
Komisaris Jenderal polisi ini dilantik oleh Jokowi di Istana Negara pada 20 Desember 2019. Di hari yang sama, Agus Rahardjo menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada Firli dan empat pimpinan lainnya di Gedung KPK.
Meski telah menjabat Ketua KPK, Firli masih berstatus polisi aktif. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono meminta Firli mundur dari struktural kepolisian. “Saya sudah tak ada jabatan apa-apa, mau mundur apa lagi?” jawab Firli, 26 Desember 2019. Pada 19 Desember 2019, Firli dipindahkan menjadi Analis Kebijakan Utama Badan Pemeliharaan Keamanan Polri. Sebelumnya dia menjabat Kepala Kabarhakam. Firli menganggap Analis Utama Kabarhakam bukan jabatan. “Itu bukan jabatan,” kata dia.
Ketua KPK, Firli Bahuri. TEMPO/Imam Sukamto
Majalah Tempo edisi 21 Desember 2019, menurunkan laporan utama mengenai dimulainya KPK era Firli Bahuri. “Jenderal polisi aktif mulai bertugas sebagai Ketua KPK, inilah akhir kisah Cicak versus Buaya.”
Dalam wawancara dengan Tempo, Firli mengatakan independensi tak diukur dari apakah ia melepas statusnya di kepolisian atau tidak. Ia menjamin tak akan pandang bulu dalam menuntaskan perkara di KPK. "Siapapun pasti akan ditindak," katanya. Baca wawancara lengkap dengan Firli di Majalah Tempo.