BUKAN hanya karena ramai-rama~i penyelundupan, laut jadi amat
penti~ng bagi Indonesia. Peta buminya yang terdiri dari lingkaran
lautan, dengan pulau-pulau yang ada di antaranya, mengharuskan
negara nusantara itu berusaha keras agar kesatuan wilayah
tersebut tidak hanya tinggal dalam kata-kata lagu perjuangan saja.
Maka adalah gagasan yuridis, yang bernama konsepsi nusantara.
Secara populer orang mengenalnya sebagai Wawasan Nusantara
berkat diangkatnya faham kewilayahan tersebut kedalam Tap MPR 1973
tentang ~GBHN. Sementara itu Konperensi Hukum Laut III, yang bagian
pertama dan kedua masing-masing sudah dimulai di Karakas dan Jenewa,
masih harus meneruskan masa sidang bagian ketiga di New York mulai
15 Maret.
Ketua Delegasi Indonesia ke konperensi tersebut -- siapa lagi kalau
bukan Prof. Mochtar Kusumaatmadja sehari sebelum keberangkatannya
ke New York, menyempatkan diri mengajak wartawan berbicara tentang
topik tersebut. Dalam sebuah ruangan sejuk di gedung baru Departemen
Kehakiman, Mochtar menyerahkan kepada para tamunya untuk memulai
persoalan.
Belum Me~ngempis
Atas pertanyaan TEMPO, Mochtar kembali mengulangi pentingnya
Konperensi Hukum Laut ini disukseskan. Sebab bila tidak, maka
"pengaturan hukum laut akan tergantung pada siapa yang kuat".
Berhasilnya konperensi akan menolong negara-negara berkembang.
Karena "sistim yang ada, yaitu sistim Jenewa, yang didasarkan
atas Konvensi-Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 masih terlalu
menguntungkan negara yang telah maju". Misalnya tentang
pengertian landas kontinen. Yaitu suatu daerah di dasar laut,
dan tanah di bawahnya, di luar laut teritorial. Batas kedalaman
diukur dengan dua cara. Pertama sampai kedalaman 200 meter.
Kedua, lebih dalam dari itu, asalkan kedalaman tersebut masih
memungkinkan diusahakannya kekayaan alam yang terdapat di tempat
tersebut. Ukuran kedua, yang banyak mengundang debat itu, jelas
makanan empuk bagi negara berteknologi maju. Situasi demikian
antara lain jadi motif utama diadakannya Konperensi Hukum Laut
sekarang ini.
Belum lagi berkenaan kedudukan selat-selat internasional, yang
amat vital bagi kapal (perang) negara-negara besar. Lain dengan
situasi Jenewa 1958 dan 1960, sekarang hampir tak ada yang
keberatan terhadap lebar laut teritorial 12 mil. Tetapi AS dan Uni
Soviet misalnya menambahkan syarat: pada selat yang biasa dilalui
kapal-kapal asing, yang sebagai akibat ditrapkannya ukuran lebar
laut teritorial 12 mil lalu menjadi bagian perairan nasional suatu
negara, tetap dijamin hak lalu lintas bebas ~free-(passage) bagi
kapal-kapal asing itu seperti semula. Pada waktu menjelang
pertemuan Karakas dan Jenewa pun Menteri Mochtar sudah
menggambarkan pandangan-pandangan yan~g "cukup berat" untuk diterima
Indonesia itu. Pada pertemuan New York i~nipun isyu tersebut belum
juga mengempis.
Tidak Te~rga~ntung
~~ Bagi Indonesia sendiri, konsepsi nusantara tidak tergantung pada
berhasil tidaknya konperensi menyetujui gagasan tersebut. Sebab,
kata Mochtar, "kita sudah memperjuangkan konsepsi itu dengan
cara-cara lain yang sudah jauh berjalan -- dan boleh dikatakan
berhasil". Yaitu melalui penyelesaian secara bilateral dan
regional. Misalnya Indonesia dengan negara-negara te~tangga:
masalah perikanan dengan Muangthai, hak lintas antara Malaysia
Barat dan Timur dengan Malaysia, dan beberapa urusan "teknis
lainnya" dengan Singapura. Kemudian secara tidak langsung
perjanjian garis batas landas kontinen dan dasar laut (sudah ada
dengan Malaysia, Muangthai, India dan Australia) ikut membantu
pengakuan konsepsi nusantara.
Belum T~ahu
Tak kalah penting adalah pengisian secara nyata dalam
perundang-undangan nasional. Mochtar menyebut tentang Peraturan
Pemerintah yang mengawasi pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi
minyak di lepas pantai. Bahkan sudah ada peraturan imigrasi,
yang mengatur dipenuhinya ketentuan imigrasi oleh pekerja-pekerja
instalasi yang diangkut oleh kapal yang men~hubungi alat penambangan
lepas pantai itu. Tidak disebutkan apakah fihak bea cukai, sudah
pula menyiapkan orang-orangnya untuk memeriksa barang-barang
pekerja asing di instalasi-instalasi tersebut. Termasuk mereka yang
berada di luar laut teritorial, tapi yang tetap tunduk pada hukum
Indonesia itu.
Namun begitu, jalannya konperensi -- setelah Karakas dan Jenewa --
hingga sekarang cukup menggembirakan buat konsepsi nusantara.
Sebab dalam bagian ke~a dari single negotiati~on text mengenai
pengertian laut teritorial, sudah disisipkan istilah "perairan
nusantara". Kemudian di dalam rancangan pasal konsepsi nusantara ~
(archipelago principles), dari pasal 117 s/d 131 dimuat mengenai
archipelago. Berhasil tidaknya, belum tahu. Indonesia mungkin
gagal dalam soal lain, misalnya berkenaan negara-negara tak
berpantai, zone ekonomi atau pun di Sub Komite yang mengurus
masalah pengelolaan pengusahaan ~sum~ber ~kakayaan alam di dasar
laut dan~ tanah di bawahn~ya. ~
Indonesia, menurut ~Mochtar menginginkan terciptanya suatu
konvensi secara keseluruhan. Jadi tidak terpecah~-pecah dalam
berbagai konvensi seperti pada Konperensi Jenewa 1958 dan 1960.
Apakah pertemuan New York ini akan berhasil menciptakan
kemenangan bagi negara-negara baru berkembang? ~Tunggu sampai Mei.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini