TERNYATA tidak setiap pelaku kesalahan, walaupun itu terbukti
dalam sebuah pemeriksaan pengadilan, dapat dijebloskan ke tempat
penghukuman. Persoalannya dapat disimpulkan dalam sebuah
kalimat tanya demikian: "Apakah perbuatan tertuduh, yang telah
terbukti, secara hakikinya patut dipersalahkan dan diancam
hukuman . . ?" Ini bukan soal baru, tapi kembali dikemukakan
oleh Hakim Bismar Siregar dalam sebuah keputusan pengadilan
pidana minggu terakhir bulan Pebruari.
Seorang nyonya, Meneria Marpaung Tampubolon (45), diajukan jaksa
sebagai bankir gelap. Tuduhan dikuatkan beberapa orang saksi dan
diakui tertuduh sendiri sehingga perkaranya jadi gamblang: ia
terbukti bersalah dan dituntut hukuman penjara setahun dan denda
Rp 500 ribu. Namun sang hakim ketika itu berlapang dada. Nyonya
Meneria dilepaskan dari semua tuntutan hukuman apapun. Alasannya
sungguh manusiawi, nyonya Meneria isteri seorang pensiunan
direktur sebuah perusahaan negara. Dengan enam orang anaknya,
mereka dinilai oleh hakim sebagai kalangan keluarga terhormat.
Dari uang pesangon suaminya, nyonya ini berusaha untuk hidup
layak termasuk membiayai salah seorang anaknya di perguruan
tinggi. Caranya, uang pesangon itu diputarkan, dipinjamkan
kepada orang lain secara berbunga.
Rakus dan Tamak
Dari keadaan ini hakim berkesimpulan: "Pengadilan tidak melihat
suatu alasan apapun, yang menyebabkan tertuduh telah melakukan
usaha bank gelap itu didorong oleh rasa rakus dan tamak, tapi
semata-mata karena tertuduh berbuat sebagai seorang ibu yang
bertanggungjawab terhadap keluarganya". Dan sikap pengadilan
seperti itu memang dibenarkan oleh sebuah keputusan lama
Mahkamah Agung, yang mempertimbangkan: perbuatan yang resmi
merupakan delik, "tapi karena tidak merupakan bahaya bagi
kepentingan umum dan menjadi kewajiban hakim untuk menetapkan
demikian -- perbuatan itu tidak harus dinyatakan perbuatan yang
harus dihukum".
Nyonya Meneria, antara tahun 1974 sampai 1975, telah menarik
sejumlah uang dari orang lain, sebagai pinjaman, dengan bunga 5%
sebulan. Dari uang yang terkumpul, kembali ia meminjamkannya
kepada orang lain lagi dengan bunga 7% sebulan. Misalnya: pada
bulan Maret 1974 kepada saksi H. Sutan Daulay, ia meminjamkan Rp
2 juta. Beberapa bulan kemudian Daulay menambah pinjamannya Rp
1,5 juta. Juga bulan Januari berikutnya, sehingga berikut
bunganya, hutang H Daulay berjumlah Rp 5 juta. Hubungan
utang-piutang ini dicatatkan di kantor notaris, dengan jaminan
rumah dan tanah di Rawamangun. Dari fakta di atas tak luput
lagi, sang nyonya telah memenuhi larangan "perorangan yang
melakukan usaha bank", menurut peraturan perundang-undangan
mengenai perbankan. Dan menurut ketentuan tersebut (UU No. 14
tahun 1967) perbuatan seperti ini diancam hukuman tertinggi 5
tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 juta.
Kasino-kasino
Semua jalinan peristiwa itu seperti yang dituduhkan jaksa, betul
adanya. Namun Pengadilan Jakarta Utara-Timur mempertimbangkan:
"Harus diteliti lebih dulu maksud dan tujuan usaha tertuduh itu,
tidak semata-mata ada atau tidaknya izin resmi dari Departemen
Keuangan". Dengan mempertimbangkan latar-belakang keluarga, "itu
baru namanya adil menurut hukum keadilan, bukan keadilan menurut
hukum peraturan". Sebab yang pasti, usaha tertuduh jelas bukan
semacam bank gelap yang beroperasi di kasino-kasino, yang "biasa
dengan bunga 30% selama 24 jam'.
Beberapa saksi, yang juga langganan pengutang uang tertuduh,
menyatakan tertolong dengan usaha nyonya Meneria. Kalau tidak,
mereka akan mengalami kesulitan uang. Pinjam kepada bank resmi?
Itu ternyata tidak mudah. Bukankah sekarang ini ada istilah
'pengetatan pemberian kredit oleh pemerintah'? Dan "juga ada
faktor irasionil lainnya, yang tidak perlu dipertimbangkan
secara lebih mendalam", begitu pertimbangan Bismar. Lain dengan
sikap para saksi yang sudah merasa tertolong dengan usaha
tertuduh --lain pula sikap saksi H. Daulay. Mula-mula orang ini
merasa tertolong dengan usaha nyonya Meneria. Namun tampaknya
ia enggan memenuhi kewajibannya membayar kembali utangnya,
"sehingga menimbulkan perkara perdata dan pidana ini", kata
hakim.
Penguluran Waktu
Rupanya, sebelum ada perkara 'bank gelap' yang dibuatnya lewat
jaksa, H. Daulay telah memperkarakan utangnya ke pengadilan
perdata. Namun oleh pengadilan perdata tahun lalu, ia tetap
dinyatakan harus membayar kembali utangnya. Hanya bunganya --
yang dulu disetujuinya akan dibayarnya 7% sebulan -- ditentukan
oleh hakim agar dibayar 3% saja. Toh orang ini tampaknya masih
enggan memenuhi kewajibannya dan menimbulkan perkara baru yang
kriminil ini.
Tapi hakim yang terakhir ini cukup awas. "Dengan perkara pidana
ini saksi berharap agar pelaksanaan keputusan perdata (yang
mengharuskan ia membayar utang berikut bunganya) tertunda dan
berarti penguluran waktu yang menguntungkan dirinya walaupun itu
akan berakibat mematikan usaha orang lain", kata Bismar. Atau
malah, "kalau tertuduh terbukti bersalah dalam perkara pidana
ini, maka perjanjian utang-piutang dengan tertuduh akan berarti
batal demi hukum?" Untung bagi nyonya Meneria: hakim berfihak
padanya. "Kalau saksi menyangka demikian, itu keliru", kata
pengadilan. Taroklah si nyonya dinyatakan 'salah dan dihukum',
"ia tidak harus menjadi korban kekurangjujuran permainan saksi
dan sepanjang hak-haknya malah harus mendapat perlindungan
hukum".
Keputusan di atas, tentu tidak menluaskan penuntut umum. Jaksa
M. Yusuf Ali segera menyatakan naik banding karena vonis di atas
hanya membebaskan tertuduh dari segala tuntutan, bukan bebas
murni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini