Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukan Sembarang Salah

Ny. meneria marpaung tampubolon yang dituduh sebagai bankir gelap & terbukti di pengadilan, dibebaskan dari semua tuntutan hukum oleh hakim bismar siregar karena perbuatan tertuduh masih dapat dibenarkan. (hk)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA tidak setiap pelaku kesalahan, walaupun itu terbukti dalam sebuah pemeriksaan pengadilan, dapat dijebloskan ke tempat penghukuman. Persoalannya dapat disimpulkan dalam sebuah kalimat tanya demikian: "Apakah perbuatan tertuduh, yang telah terbukti, secara hakikinya patut dipersalahkan dan diancam hukuman . . ?" Ini bukan soal baru, tapi kembali dikemukakan oleh Hakim Bismar Siregar dalam sebuah keputusan pengadilan pidana minggu terakhir bulan Pebruari. Seorang nyonya, Meneria Marpaung Tampubolon (45), diajukan jaksa sebagai bankir gelap. Tuduhan dikuatkan beberapa orang saksi dan diakui tertuduh sendiri sehingga perkaranya jadi gamblang: ia terbukti bersalah dan dituntut hukuman penjara setahun dan denda Rp 500 ribu. Namun sang hakim ketika itu berlapang dada. Nyonya Meneria dilepaskan dari semua tuntutan hukuman apapun. Alasannya sungguh manusiawi, nyonya Meneria isteri seorang pensiunan direktur sebuah perusahaan negara. Dengan enam orang anaknya, mereka dinilai oleh hakim sebagai kalangan keluarga terhormat. Dari uang pesangon suaminya, nyonya ini berusaha untuk hidup layak termasuk membiayai salah seorang anaknya di perguruan tinggi. Caranya, uang pesangon itu diputarkan, dipinjamkan kepada orang lain secara berbunga. Rakus dan Tamak Dari keadaan ini hakim berkesimpulan: "Pengadilan tidak melihat suatu alasan apapun, yang menyebabkan tertuduh telah melakukan usaha bank gelap itu didorong oleh rasa rakus dan tamak, tapi semata-mata karena tertuduh berbuat sebagai seorang ibu yang bertanggungjawab terhadap keluarganya". Dan sikap pengadilan seperti itu memang dibenarkan oleh sebuah keputusan lama Mahkamah Agung, yang mempertimbangkan: perbuatan yang resmi merupakan delik, "tapi karena tidak merupakan bahaya bagi kepentingan umum dan menjadi kewajiban hakim untuk menetapkan demikian -- perbuatan itu tidak harus dinyatakan perbuatan yang harus dihukum". Nyonya Meneria, antara tahun 1974 sampai 1975, telah menarik sejumlah uang dari orang lain, sebagai pinjaman, dengan bunga 5% sebulan. Dari uang yang terkumpul, kembali ia meminjamkannya kepada orang lain lagi dengan bunga 7% sebulan. Misalnya: pada bulan Maret 1974 kepada saksi H. Sutan Daulay, ia meminjamkan Rp 2 juta. Beberapa bulan kemudian Daulay menambah pinjamannya Rp 1,5 juta. Juga bulan Januari berikutnya, sehingga berikut bunganya, hutang H Daulay berjumlah Rp 5 juta. Hubungan utang-piutang ini dicatatkan di kantor notaris, dengan jaminan rumah dan tanah di Rawamangun. Dari fakta di atas tak luput lagi, sang nyonya telah memenuhi larangan "perorangan yang melakukan usaha bank", menurut peraturan perundang-undangan mengenai perbankan. Dan menurut ketentuan tersebut (UU No. 14 tahun 1967) perbuatan seperti ini diancam hukuman tertinggi 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 juta. Kasino-kasino Semua jalinan peristiwa itu seperti yang dituduhkan jaksa, betul adanya. Namun Pengadilan Jakarta Utara-Timur mempertimbangkan: "Harus diteliti lebih dulu maksud dan tujuan usaha tertuduh itu, tidak semata-mata ada atau tidaknya izin resmi dari Departemen Keuangan". Dengan mempertimbangkan latar-belakang keluarga, "itu baru namanya adil menurut hukum keadilan, bukan keadilan menurut hukum peraturan". Sebab yang pasti, usaha tertuduh jelas bukan semacam bank gelap yang beroperasi di kasino-kasino, yang "biasa dengan bunga 30% selama 24 jam'. Beberapa saksi, yang juga langganan pengutang uang tertuduh, menyatakan tertolong dengan usaha nyonya Meneria. Kalau tidak, mereka akan mengalami kesulitan uang. Pinjam kepada bank resmi? Itu ternyata tidak mudah. Bukankah sekarang ini ada istilah 'pengetatan pemberian kredit oleh pemerintah'? Dan "juga ada faktor irasionil lainnya, yang tidak perlu dipertimbangkan secara lebih mendalam", begitu pertimbangan Bismar. Lain dengan sikap para saksi yang sudah merasa tertolong dengan usaha tertuduh --lain pula sikap saksi H. Daulay. Mula-mula orang ini merasa tertolong dengan usaha nyonya Meneria. Namun tampaknya ia enggan memenuhi kewajibannya membayar kembali utangnya, "sehingga menimbulkan perkara perdata dan pidana ini", kata hakim. Penguluran Waktu Rupanya, sebelum ada perkara 'bank gelap' yang dibuatnya lewat jaksa, H. Daulay telah memperkarakan utangnya ke pengadilan perdata. Namun oleh pengadilan perdata tahun lalu, ia tetap dinyatakan harus membayar kembali utangnya. Hanya bunganya -- yang dulu disetujuinya akan dibayarnya 7% sebulan -- ditentukan oleh hakim agar dibayar 3% saja. Toh orang ini tampaknya masih enggan memenuhi kewajibannya dan menimbulkan perkara baru yang kriminil ini. Tapi hakim yang terakhir ini cukup awas. "Dengan perkara pidana ini saksi berharap agar pelaksanaan keputusan perdata (yang mengharuskan ia membayar utang berikut bunganya) tertunda dan berarti penguluran waktu yang menguntungkan dirinya walaupun itu akan berakibat mematikan usaha orang lain", kata Bismar. Atau malah, "kalau tertuduh terbukti bersalah dalam perkara pidana ini, maka perjanjian utang-piutang dengan tertuduh akan berarti batal demi hukum?" Untung bagi nyonya Meneria: hakim berfihak padanya. "Kalau saksi menyangka demikian, itu keliru", kata pengadilan. Taroklah si nyonya dinyatakan 'salah dan dihukum', "ia tidak harus menjadi korban kekurangjujuran permainan saksi dan sepanjang hak-haknya malah harus mendapat perlindungan hukum". Keputusan di atas, tentu tidak menluaskan penuntut umum. Jaksa M. Yusuf Ali segera menyatakan naik banding karena vonis di atas hanya membebaskan tertuduh dari segala tuntutan, bukan bebas murni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus