ORKES MADUN ATAWA UMANG UMANG,
Naskah: Arifin C. Noer
sutradara: Arifin C. Noer
produksi: Teter Kecil
***
SUTRADARA boleh terus di atas, tapi aktor belum punah. Seorang
yang menyimpulkan bahwa dewasa ini teater Indonesia secara umum
bisa disebut 'teater sutradara" -- artinya sang sutradara adalah
sang maestro, pemegang peran adalah pion -- boleh kecele dengan
lakon ini. Arifin C. Noer bahkan nampaknya dengan Umang-Umang
mau menggaris-bawahi bahwa ia tak pernah menyepelekan aktor. Ia
tak boleh dibilang dusta dalam soal itu: berhasil atau tidak,
upayanya sejak lama memang menunjukkan secara konsisten
demikian. Kapai-Kapai beberapa tahun yang lalu memberikan
kesempatan buat sang aktor (Ikranegara sebagai Abu) untuk
bermain bagus. Interpretasinya atas Macbett dari Ionesco juga
begitu. Dan Umang-Umang idem.
Di permukaan adalah Amak Baljun, yang memainkan sekaligus Semar
dan Waska -- pemimpin jaringan penjahat di Jakarta. Bagaikan Don
Corleone dalam Godfather, ia dihormati-anakbuahnya. Bahkan
kesetiaan para anakbuah, gundik dan lain-lain merupakan bagian
yang penting dalam cerita yang seakan-akan merupakan pleidooi
buat kalangan penjahat ini. Mereka, seperti banyak cerita Arifin
yang lain, adalah orang yang terhempas. Tapi tak sampai di situ:
kejahatan bukan lagi sekedar balas dendam terhadap nasib buruk,
tapi hampir jadi sejenis agama pembebas dengan Waska sebagai
Nabi. Dan seperti dalam dongeng agama yang galib, Waska dan dua
anak buahnya yang paling setia dimainkan oleh Berlin serta
Charles Sahetappy -- pada akhirnya mencapai apa yang mustahil:
keterlepasan dari Maut. Caranya: dengan minum jamu hasil
ramuan jantung bayi. Tapi sebagaimana Hanuman dalam dongeng
wayang yang tak juga mati-mati, mereka bosan ..
Sudah tentu, bagian kedua dari "seri" orkes Madun ini tak cuma
selurus sederhana itu. Bila dibanding dengan Kapai-Kapai,
alur (plot) lakon ini terasa melesat ke sana ke mari, suatu
gejala yang sudah nampak dalam Tengul. Arifin melihat "bentuk"
tidak lagi sebagai sesuatu yang memerlukan konsentrasi ataupun
sikap hemat. Ia mempergunakan teknik yang dalam film konon
disebut flashes -- lukisan ringkas yang menampakkan ikhtisar
suatu peristiwa atau kegiatan yang panjang terkadang secara
berulang-ulang yang bisa menjemukan. Dengan semua itu, toh gigih
juga kecakapan Arifin untuk tetap tidak kehilangan fokus cerita.
Ia tertolong karena Amak memerankan Waska Semar secara
konsisten. Lakon yang sangat verbal ini (banyak
percakapan-termasuk diskusi tentang peranan seni) ternyata
merupakan lakon seorang aktor.
Sayangnya, cuma seorang aktor. Bukan karena pemain lain tak
cukup kuat. Tapi lakonnya sendiri tampak tak terlalu mengizinkan
perimbangan antara peran yang satu dengan peran yang lain. Dalam
menyusun lakon dan pementasannya sekaligus Arifin (yang menulis
"seperti menulis puisi") bersandar kepada spontanitas -- cerita
tumbuh ke mana saja ia wajar harus tumbuh -- dan mungkin karena
itu kontrol, keseimbangan, kepaduan tak cukup nampak. Untung
saja Arifin (berbeda dari waktu mementaskan Kucak-Kacik) belum
kehilangan kecekatannya menyajikan variasi-variasi. Dan juga
bahan ketawa. Mungkin itulah yang menyelamatkannya, dan
menyelamatkan kita, dari pandangan yang tetap tidak cerah
tentang nasib manusia ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini