Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Arifin, amak, dan lain-lain

Dalam karya-karyanya, arifin c nur tampak tak mau menyepelekan aktor. hal ini terlihat pada karya- karyanya yang antara lain berjudul umang-umang dan kapai-kapai. (ter)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORKES MADUN ATAWA UMANG UMANG, Naskah: Arifin C. Noer sutradara: Arifin C. Noer produksi: Teter Kecil *** SUTRADARA boleh terus di atas, tapi aktor belum punah. Seorang yang menyimpulkan bahwa dewasa ini teater Indonesia secara umum bisa disebut 'teater sutradara" -- artinya sang sutradara adalah sang maestro, pemegang peran adalah pion -- boleh kecele dengan lakon ini. Arifin C. Noer bahkan nampaknya dengan Umang-Umang mau menggaris-bawahi bahwa ia tak pernah menyepelekan aktor. Ia tak boleh dibilang dusta dalam soal itu: berhasil atau tidak, upayanya sejak lama memang menunjukkan secara konsisten demikian. Kapai-Kapai beberapa tahun yang lalu memberikan kesempatan buat sang aktor (Ikranegara sebagai Abu) untuk bermain bagus. Interpretasinya atas Macbett dari Ionesco juga begitu. Dan Umang-Umang idem. Di permukaan adalah Amak Baljun, yang memainkan sekaligus Semar dan Waska -- pemimpin jaringan penjahat di Jakarta. Bagaikan Don Corleone dalam Godfather, ia dihormati-anakbuahnya. Bahkan kesetiaan para anakbuah, gundik dan lain-lain merupakan bagian yang penting dalam cerita yang seakan-akan merupakan pleidooi buat kalangan penjahat ini. Mereka, seperti banyak cerita Arifin yang lain, adalah orang yang terhempas. Tapi tak sampai di situ: kejahatan bukan lagi sekedar balas dendam terhadap nasib buruk, tapi hampir jadi sejenis agama pembebas dengan Waska sebagai Nabi. Dan seperti dalam dongeng agama yang galib, Waska dan dua anak buahnya yang paling setia dimainkan oleh Berlin serta Charles Sahetappy -- pada akhirnya mencapai apa yang mustahil: keterlepasan dari Maut. Caranya: dengan minum jamu hasil ramuan jantung bayi. Tapi sebagaimana Hanuman dalam dongeng wayang yang tak juga mati-mati, mereka bosan .. Sudah tentu, bagian kedua dari "seri" orkes Madun ini tak cuma selurus sederhana itu. Bila dibanding dengan Kapai-Kapai, alur (plot) lakon ini terasa melesat ke sana ke mari, suatu gejala yang sudah nampak dalam Tengul. Arifin melihat "bentuk" tidak lagi sebagai sesuatu yang memerlukan konsentrasi ataupun sikap hemat. Ia mempergunakan teknik yang dalam film konon disebut flashes -- lukisan ringkas yang menampakkan ikhtisar suatu peristiwa atau kegiatan yang panjang terkadang secara berulang-ulang yang bisa menjemukan. Dengan semua itu, toh gigih juga kecakapan Arifin untuk tetap tidak kehilangan fokus cerita. Ia tertolong karena Amak memerankan Waska Semar secara konsisten. Lakon yang sangat verbal ini (banyak percakapan-termasuk diskusi tentang peranan seni) ternyata merupakan lakon seorang aktor. Sayangnya, cuma seorang aktor. Bukan karena pemain lain tak cukup kuat. Tapi lakonnya sendiri tampak tak terlalu mengizinkan perimbangan antara peran yang satu dengan peran yang lain. Dalam menyusun lakon dan pementasannya sekaligus Arifin (yang menulis "seperti menulis puisi") bersandar kepada spontanitas -- cerita tumbuh ke mana saja ia wajar harus tumbuh -- dan mungkin karena itu kontrol, keseimbangan, kepaduan tak cukup nampak. Untung saja Arifin (berbeda dari waktu mementaskan Kucak-Kacik) belum kehilangan kecekatannya menyajikan variasi-variasi. Dan juga bahan ketawa. Mungkin itulah yang menyelamatkannya, dan menyelamatkan kita, dari pandangan yang tetap tidak cerah tentang nasib manusia ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus